Share

Part 2

Untuk sedikit melegakan fikirannya, Salma melangkah gontai menuju kamarnya di lantai dua. Berharap, ada kabar baik jika kondisi hatinya sedang tenang.

Di tengah-tengah lamunan Salma di balkon, terdengar lantunan adzan dari masjid yang tidak jauh dari rumah. Menandakan, waktu maghrib telah tiba. Salma yang masih terasa lesu, memaksa diri menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Lalu, segera ia melaksanakan sholat.

Berbagai macam keinginan dalam benaknya, Salma panjatkan dalam doa. Meminta pada yang Kuasa, agar segera dikabulkan. Salah satu impian kecil Salma adalah diberkahi pernikahannya dengan kucuran rahmat dan kebahagiaan.

Jarum jam sudah menunjuk di angka tujuh lewat beberapa menit. Namun, belum juga ada tanda-tanda kabar dari Rofiq—suaminya. Ponsel yang sudah melekat di tangan juga sudah berkali-kali ditengoknya. Dan semua masih nihil. Rasa khawatir Salma semakin bertambah. Ia tidak bisa merasa tenang dalam beraktifitas. Fikirannya hanya tertuju pada suami saja.

Setelah penantian beberapa menit, ponsel ditangan Salma bergetar. Pandangannya yang mengarah ke jalanan dari balkon kamarnya mendadak buyar. Segera ia menengok layar ponselnya yang masih bergetar cukup lama. Seketika, bibir Salma mengembang saat yang ia lihat adalah nama Sang suami. Wajahnya berseri, hingga tercipta lesung yang samar di pipinya.

Dengan cepat, Salma menggeser panggilan ke arah warna hijau. “Assalaamu’alaikum ... Mas Rofiq,” sapanya dengan wajah sumringah. “Lagi dimana, Mas?” lanjutnya lagi bertanya.

“W*’alaikumussalaam ... Iya, Dik Salma. Maaf, ya. Mas baru kasih kabar sekarang.”

Suara pria dari seberang telepon benar-benar meluluhkan kegundahan hati Salma seketika. Raut wajah berseri itu menandakan jika hati Salma sudah lebih merasa tenang. “Iya, Mas. Gak papa. Yang penting, kamu baik-baik ajah. Mas masih lama kah di kantor?”

“Dik Salma, sepertinya Mas tidak bisa pulang malam ini. Di sini hujan lebat, mungkin baru bisa pulang besok pagi. Kamu gak papa, kan, Cuma sama Mbok Marni saja?”

Setelah baru merasakan ketenangan, wajah Salma kembali lesu saat mendengar jawaban dari suaminya. Malam yang sebelumnya ia bayangkan akan menjadi malam bahagia, kini gagal sudah. Ia tidak langsung menjawab penuturan Sang suami.

Setelah hembusan nafas pelan, ada jeda sedikit untuk menghempaskan rasa sesak yang kembali melanda. Lalu, Salma menjawab dengan rasa terpaksa, “Iya, Mas. Gak papa.”

“Ya, sudah, Dik. Kamu tidur saja, sudah malam. Jangan lupa ma—”

Mendadak, panggilan itu terputus sebelum pria di seberang telepon menyelesaikan kalimat terakhirnya. Namun, tidak berpengaruh juga. Salma tetap merasakan galau. Ponsel yang sebelumnya selalu melekat di tangan, kini ia lemparkan ke atas kasur. Seakan barang itu sudah tidak lagi berguna.

Salma kembali melangkah menuju balkon. Melihat langit yang nampak dihiasi bintang berkilauan begitu indah . Membuatnya sedikit heran. Langit saja cerah, kenapa Mas Rofiq bilang jika sedang hujan. Memangnya, dia dimana?

Cukup lama Salma memandangi jalanan komplek. Aktifitas melamunnya hanya ditemani bayang-bayang masa lalu, saat ia pernah berjalan bersama dengan pria yang kini menjadi suaminya. Saat itu, Salma berteduh karena hujan. Ia meneduhkan kepalanya di warung kosong tak jauh dari sekolah. Saat itu pula, Salma melihat sebuah payung dengan seseorang di bawahnya. Setelah jarak sudah dekat, ternyata itu adalah Kak Rofiq. Panggilan Salma pada Sang suami saat masih sekolah.

Tadinya, Salma hanya diam saja saat Kak Rofiq ternyata melihat dirinya berdiri sendiri di warung itu. Ia juga tidak berharap tawaran payung darinya. Namun siapa sangka, Kak Rofiq menghampiri Salma, lalu mengajaknya pulang bersama. Keduanya lalu berjalan beriringan di bawa rintikan hujan yang sudah mulai deras.

Tanpa terasa, waktu sudah berjalan satu jam lamanya. Kisah terakhir yang membayangi fikiran Salma membuatnya tersenyum. Ia seakan lupa dengan kegundahan hati yang kini melanda.

Namun tetap saja, malam ini Salma terpaksa harus melewatkan malam pertama yang ia nantikan seumur hidupnya itu, sendirian saja. Ya, malam pengantin yang seharusnya membahagiakan bagi setiap pengantin baru. Tapi tidak untuk dirinya. Ia justru melewatkan malam ini tanpa kehadiran Sang suami.

Entah dimana suaminya sekarang. Entah sedang apa. Entah sedang bersama siapa. Benarkah yang diucapkan Sang suami itu? Bahwa dia sedang sibuk karena pekerjaan di kantornya? Kantor mana yang buka di malam seperti ini. Terlebih lagi, ini malam minggu. Malam dimana seluruh karyawan biasa pun diliburkan. Fikiran dan hati Salma lagi-lagi berhalusinasi tidak jelas.

Untuk menemani kesendiriannya yang mulai berfikir ngelantur, Salma memutuskan untuk berselancar di sosial medianya. Hingga tanpa terasa, rasa kantuknya mulai melanda.

***

“Mbok ... Mbok Marni ...!”

“Iya, Den.”

Sebuah percakapan yang menggema seisi ruangan itu mendadak membangunkan mata Salma dari tidur malamnya. Karena mengira, jika yang ia dengarkan hanya mimpi semata, Salma kembali menutup matanya untuk melanjutkan tidur.

“Siapkan air hangat, Mbok! Saya akan mandi segera.”

Salma kembali mendengar suara seorang pria dengan nada lantang. Suara itu seperti bersumber dari lantai bawah. Nadanya suaranya sangat Salma kenal. Benarkah itu Rofiq—suaminya yang pulang di malam seperti ini. Salma menyalakan layar ponselnya, menengok waktu yang masih terlihat gelap itu.

“Baru jam 04.00 pagi,” gumamnya lirih. Lalu ia membangunkan tubuhnya dengan segera, dan pergi menuju lantai bawah. Memastikan, jika apa yang ia dengarkan tidak salah. (*)

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status