Nero dan para polisi berlari kencang ke sana dan Nero pun menemukan tubuh ibunya sudah tergeletak di sana dengan kepala yang terluka parah. Darah di mana-mana. Entah bagian mana yang tepatnya berdarah karena darah itu terus keluar dari perut Cintya sampai baju Cintya berubah menjadi warna merah. "Ibu ... Ibu ...." Nero langsung berjongkok di jalan dan membawa Cintya ke dalam pelukannya. Mata Cintya sudah membelalak dan tatapannya kosong, sisa napasnya pun tinggal satu-satunya. Nero terus memeluk Cintya sambil menangis keras dikelilingi beberapa polisi sementara polisi yang lain langsung menghampiri mobil Cintya dan melihat tubuh Brata yang sebagian tubuhnya terkena ledakan dan keseluruhannya sudah tidak layak untuk dilihat lagi. Dengan cepat polisi pun melakukan tugasnya untuk mengamankan lokasi kecelakaan. Para polisi yang lain pun meringkus anak buah yang tersisa sedangkan Juan, Axel, Patra, dan Patrick ikut berlari menghampiri Cintya dan mengelilinginya di sana. "Ibu! Ibu!
Broom ....Suara mesin mobil meluncur di tengah-tengah area perkelahian membuat semua orang sontak mengalihkan tatapannya. Semua orang pun mendadak terdiam kaget melihat mobil Cintya yang sudah melaju dengan kencang. Nero sendiri membelalak kaget melihat ibunya dari jendela mobil. Itu benar-benar Cintya yang sedang menyetir mobilnya sendirian dengan bekas tusukan parah. "Ibu, apa yang Ibu lakukan?" teriak Nero sambil langsung saja berlari mengejar mobil Cintya. "Ibu! Nero!" teriak Nerisa juga begitu histeris melihat mobil ibunya melaju dan melihat Nero yang berlari mengikuti mobil itu. Nerisa terus menggeleng sambil berteriak sampai Patra yang juga syok hanya bisa memeluk Nerisa tanpa bisa mengatakan apa-apa lagi. Nerisa pun hanya bisa menangis histeris di pelukan Patra. Para polisi pun masih begitu panik dan berlari mengikuti Nero. Hanya saja kalau tujuan Nero adalah menghentikan Cintya sedangkan tujuan polisi adalah menghentikan Nero. Cintya berada dalam kondisi terluka para
Dan Nero pun mengenali suara itu. Suara wanita yang sangat dicintainya di sana, suara Patra. Patra sudah keluar dari mobil bersama Patrick dan ikut berlari saat melihat Cintya tertusuk. Patra terus menangis melihat kesedihan semua orang namun tangisannya makin meledak melihat Nero yang memukuli Brata dengan membabi buta. "Aku mohon, Nero! Aku mohon jangan lakukan itu! Jangan membiarkan kebencian dan dendam membuatmu menjadi orang jahat! Hidupmu jauh lebih berarti daripada itu! Kembalilah! Kembalilah karena kita harus membawa ibumu ke rumah sakit!""Kembali kemari, Nero ...," lirih Patra sambil terisak. Nero yang mendengarnya pun mulai tenang dan mendadak melepaskan pisaunya begitu saja hingga terpelanting kembali ke tanah. Brata sendiri yang mendengarnya hanya menyeringai. "Dasar pecundang! Bahkan menusukku saja kau tidak berani! Pria tidak berguna! Hahaha! Pantas saja kau hanya selalu menjadi boneka ibumu, karena kau memang tidak berguna!" Brata terus memanas-manasi Nero. Nero
Sejak dulu Cintya selalu meyakini ia bisa memberikan kehidupan yang paling baik untuk anak-anaknya. Ya, selama ini Cintya berpikir seperti itu dan selalu melakukan semua hal seperti apa yang ia yakini. Terserah orang menganggapnya kejam atau tidak berperasaan, ia tidak peduli karena ia mengajari anaknya dengan caranya sendiri, memberikan semua yang anaknya butuhkan, termasuk menanamkan pikiran bahwa mereka berkuasa atas orang lain dan mereka tidak membutuhkan orang lain. Tapi setelah mendengar pandangan Nero tentang perbedaan antara keluarga mereka dengan keluarga Patra, rasanya sebuah kesadaran kembali menyentak Cintya. Entah sudah berapa kali perasaan Cintya tertusuk malam ini. Semua hal yang selama ini tidak pernah ia pedulikan mendadak terasa begitu penting di hatinya. Semua hal yang selama ini tidak pernah berpengaruh apapun padanya tapi malam ini mendadak memenuhi otaknya sampai ia sama sekali tidak bisa beranjak dari posisinya. Tubuhnya mengeras seperti patung hingga Ner
Patra berdiri mematung dengan batu di tangannya. Ia tidak tahu apa yang ia lakukan, tapi ia hanya mengikuti nalurinya untuk menyelamatkan Cintya. Dan tatapan Patra pun goyah saat ia bertatapan dengan Cintya. Cintya sendiri membelalak kaget melihat siapa yang menyelamatkannya. Sungguh, barang sedetik saja Cintya tidak pernah berpikir akan meminta bantuan dari Patra.Cintya adalah wanita kaya raya dan bisa melakukan apapun, Cintya tidak butuh bantuan orang lain, bahkan Cintya merasa mampu mengendalikan hidup semua orang. Namun detik ini, bukannya Cintya tidak sadar kalau seorang Patra, wanita miskin yang selalu ia hina dan ia hancurkan hidupnya, ternyata menjadi orang yang baru saja menyelamatkannya dari kematian. Bukan hanya menyelamatkannya tapi juga Patra sejak tadi bersama Nerisa, anak kesayangan Cintya. Cintya pun hanya bisa membelalak lebar. Ia tidak bisa berpikir sekarang, bahkan untuk bernapas lega saja tidak bisa, apalagi untuk sekedar mengucapkan terima kasih atau sejeni
Cintya terus menggeram sambil menyetir mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Bahkan Cintya tidak peduli kalau ia akan menabrak, yang ia pedulikan hanyalah ia harus sampai ke sana sebelum Brata sempat melakukan apapun pada Nerisa. "Kau akan mati di tanganku, Brata! Aku bersumpah kau akan mati di tanganku!"Cintya pun terus melajukan mobilnya. Walaupun jalannya bercabang tapi seolah ia mempunyai naluri yang kuat dan mengambil jalur yang benar menuju ke tempat di mana Brata berada. Sedangkan Juan sendiri hanya menyetir mengikuti mobil Cintya. Sementara Axel masih menyempatkan diri menelepon Patra dan ia begitu panik saat Patra mengatakan akan menolong Patrick dan Nerisa sendiri. Juan pun mulai menyetir seperti kesetanan. Hingga saat akhirnya mobil Cintya sampai ke sana. Cintya pun melihat begitu banyak mobil yang sudah diparkir asal. Tanpa peduli lagi, Cintya pun menabrak semua mobil itu agar mobilnya bisa terus melaju ke depan.Brak! Brak!Sontak semua orang yang sedang be