"Memang Alexander tidak pernah menceritakan apa pun padamu?" tanya Ella balik, berbalik menatap Alice."Tidak. Kami itu tidak dekat. Maka dari itu, kau saja yang cerita."Ella menghela napas, beranjak melewati Alice. "Kalau dia tidak bercerita, aku juga tidak.""Ayolah, sedikit saja," bujuk Alice sambil mengikuti langkah Ella.Tapi Ella tetap bergeming. Ia duduk di sofa, mengganti saluran televisi, berusaha mengalihkan suasana."Kalau kau mau cerita, aku pun akan cerita," kata Alice."Mengenai apa?" Ella meliriknya.Alice mencondongkan tubuh. "Ayah sebenarnya mengancam Alexander. Karena jika dia masih berani menemuimu, keluarga Chloe akan membatalkan proyek pelabuhan internasional di Gioia Tauro. Proyek itu sangat menguntungkan, dan Ayah sangat terobsesi mendapatnya dari dulu."Raut wajah Ella mengeras. "Dan selain itu?""Ancaman lain, warisan. Ayah bilang kalau Alexander membangkang, semua harta akan dialihkan penuh ke kakak pertama. Kau tahu kan? Mereka berdua haus kekuasaan, saling
"Tentu, aku ingat. Kita sudah beberapa kali bertemu tanpa sengaja," ucap Ella, bibirnya terangkat membentuk senyum tipis."Benar. Rasanya terlalu kebetulan, sampai-sampai sulit dipercaya.""Apa kamu sendirian?" "Iya. Hanya ingin melihat langit.""Aku juga. Kalau begitu, duduklah. Kursi ini masih kosong.""Terima kasih." Francesco menarik kursi di hadapan Ella, lalu duduk. "Kamu sering ke sini?""Iya. Tempat ini selalu terasa pas untuk menenangkan diri. Bagaimana denganmu?""Ini baru kali kedua. Tapi aku mengerti kenapa kamu menyukainya."Ella melirik secangkir kopi hitam di tangannya. Cairan pekat itu terlihat begitu pahit, tanpa setetes pun gula. "Pertemuan pertama kita juga di kafe. Apa kamu memang penggemar kopi? Atau seorang peneliti yang menjadikannya bahan riset?"Francesco tertawa ringan. "Tidak. Aku hanya penikmat kopi. Seorang pecandu aroma dan rasa pahitnya."Mereka menyeruput kopi masing-masing. Hening sebentar, hanya suara lalu lintas kota Milan yang terdengar jauh di baw
"Itu sudah keputusan akhir," kata Gianna tegas.Ella diam beberapa detik, sebelum bibirnya dipaksakan terangkat. "Iya, tidak apa-apa. Aku turut senang siapa pun yang menggantikanku. Semoga pementasannya berjalan lancar." "Terima kasih. Ah, sebenarnya ini sangat disayangkan. Aku menyukai kemampuanmu, tapi ... tidak ada yang bisa kulakukan.""Iya, sungguh tidak apa-apa," balas Ella lagi, tetap tersenyum seolah semua baik-baik saja."Kalau begitu silakan latihan. Permisi," pamit Gianna meninggalkan Ella. Begitu pelatihnya menjauh, senyum itu seketika runtuh dari wajahnya. Ella menunduk, jari-jarinya saling menggenggam guna menahan perasaan yang bergejolak. Ia tak berdaya selain menerima, meski jawaban itu menghantam perih dadanya.***Pukul 05:00 AM.Satu per satu ballerina yang tidak masuk ke dalam casting pementasan berkemas dan pulang. Suasana ruang latihan mulai sepi. Ella melangkah pelan ke luar, hatinya kosong,
"Ini tempat yang buruk! Kau tidak boleh berada di sini," ujar Alexander menekan."Tidak," balas Ella. "Ini tempat yang tepat untukku karena pekerjaannya mudah. Aku hanya perlu menjual wajah dan tubuhku agar mendapatkan tip besar."Alexander menyeringai. "Jadi kau suka pekerjaan semacam itu?""Iya. Bahkan sebenarnya, kalau saja kau tidak membuat keributan, mungkin pelanggan itu sudah memberiku banyak uang. Sayang sekali, tidak jadi."Ucapannya menusuk. Ombak cemburu dan amarah mendadak menghantam Alexander, melahap sisa kendalinya."Aku bisa memberimu lebih banyak uang," desisnya. "Kenapa kau tidak tidur lagi saja denganku?"Tanpa memberi waktu bernapas, bibir Ella direbut dengan ciuman brutal. Kasar, tanpa belas kasih. Api di dalam diri Alexander tak lagi bisa dipadamkan. Tangannya mendarat di dada Ella, meremas seakan ingin meninggalkan tanda kepemilikan.Ella menangis. Air mata mengalir, tangannya gemetar mendorong tubuh pria itu, namun sia-sia. Alexander tidak peduli. Dalam pikiran
"Apa kau pegawai baru di sini?" tanya seorang pria, matanya mengikuti setiap gerak Ella."Iya," jawab Ella, meletakkan bir di atas meja yang dihuni empat pria. "Selamat menikmati." Ia berniat pergi setelah tugasnya selesai."Hei, tunggu dulu," cegat salah satu dari mereka. Tangannya menggenggam tangan Ella. Jari-jari itu menyentuh lembut namun menyebalkan bagi yang menerima sentuhan. "Duduklah di sini, kita akan memberimu tip banyak.""Tidak perlu, Tuan," jawab Ella dengan suara bergetar, mencoba melepaskan cengkraman itu. Ketakutan mulai merayap, tatapan mereka membuat tubuhnya membeku. "Aku harus kembali bekerja.""Melayani kami juga tugasmu, bukan? Jadi tinggallah di sini.""Tidak! Tolong lepaskan!"Tiba-tiba, pria lain menarik pinggangnya, membuat tubuh Ella mendarat di paha orang asing itu. Tawa kasar mereka mulai bergema, mengejek. "Kau seksi sekali, Nona. Bermainlah sebentar dengan kami.""Tidak!" Ella memberontak, akan tetapi, tangan pria tak sopan itu mengunci tubuhnya. Pani
Casino Royale adalah simbol kemewahan, keserakahan, dan rahasia gelap yang dimiliki keluarga Hoffa. Malam ini, putra kedua Reagan hadir, setelan jas tuxedo melengkapi penampilannya dengan sempurna.Setiap langkah Alexander penuh percaya diri, tak ada ketakutan, tak ada keraguan. Mata panjangnya menelisik setiap sudut, menangkap para pengunjung yang larut dalam kesenangan mereka, serta klien-klien yang berlebihan dalam memamerkan kekayaan. Ia tidak tergoda, meski tindakan beberapa pria menjijikkan itu memaksa alisnya sedikit terangkat.Lift membawanya ke lantai paling atas, ke dunia manusia-manusia yang haus kekuasaan, tempat yang bahkan tidak layak disebut manusia. Di sana, wanita-wanita berpakaian minim menghibur enam pria tua dan gemuk yang tertawa lepas di meja poker."Tuan kecil, akhirnya sampai juga," ledek Bartolomei, seorang pria tua berambut putih, suaranya dipenuhi ejekan, disertai tawa kasar teman-temannya."Tuan kecil? Dia bahkan berani mempermalukan Ayahnya karena melangga