*Happy Reading*
"Devia?! Kamu dengar saya tidak? Pelankan mobil--""Iya bawel!"Cukup sudah! Aku kesal sekali dengan situasi ini. Aku pun bukan hanya memelankan mobilku, tapi sekalian menepi dan berhenti. Lebih dari itu, aku bahkan langsung keluar dari mobil dan menghampiri mobil yang turut berhenti di belakangku.Awas ya kamu duda tukang nguntit!Tok! Tok! Tok!Aku mengetuk pintu mobil yang terlihat gelap dengan tidak sabaran. Si pemilik mobil pun menurunkan kaca jendelanya sebelum berdecak kesal dan akhirnya ikut turun dari singgasananya."Kamu ini!" Pria itu menggeram sambil membungkus tubuhku dengan jas yang sudah dia lepaskan. "Angin malam itu tidak bagus. Jangan cari penyakit, bisa tidak?" Kini ia malah mengomel.Saat ini aku memang tengah memakai dress model kemben, yang panjangnya hanya setengah paha. Kalau kata nyonya Ammar sih, kayak pakai handuk, cuma ada gliternya saja. Makanya Si Gemoy itu biasa men*Happy reading*Aku terus melangkah mundur, seiring mendekatnya langkah pelaku penusukan Pak Aksa padaku. Tatapan tajamnya membuat aku menelan saliva kelat, dengan tubuh bergetar dan jantung yang benar-benar bertalu cepat. Aku tidak tahu harus berbuat apa, dan bagaimana saat ini?Jika aku lari, bagaimana dengan Pak Aksa? Tapi tetap di sini pun, bukan pilihan yang bagus. Aku bisa mati konyol di tangan orang itu!Sialan! Kenapa sih, aku harus terjebak di situasi seperti ini? Kan, aku jadi serba salah. Rasanya kayak ada di film warkop jaman dulu. Maju, kena. Mundur, mentok!Aduh ... Pak Aksa, kenapa sih, situ bikin aku serba salah mulu?!"Devia, lari!" seru Pak Aksa yang terlihat berusaha berdiri lagi dengan susah payah di tempatnya. Setelah sempat tersungkur beberapa saat lalu. Lari? Aku juga maunya gitu. Tapi ... boro-boro lari. Jalan aja aku susah ini. Bukan hanya karena aku sedang pakai heels tingg
*Happy Reading*Gengs, kayaknya aku kena karmanya Intan, deh!Dulu, kalau tidak salah aku pernah menertawakan Intan saat dia cerita dijebak Bella, hingga akhirnya mau menikah dengan Pak Dika. Nah, sekarang aku merasakan hal yang sama. Bedanya, kalau dulu Intan dijebak Bella untuk menjadi Mama barunya. Kalau aku merasa dijebak Pak Aksa untuk menjadi Mama baru anak-anaknya. Sama-sama untuk Mama baru, sih. Cuma oknumnya berbeda. Duh, Gusti ... jangan iseng, dong!"Minum dulu, Nur." Intan menyodorkan sebuah minuman kaleng dingin, seraya duduk di sampingku yang masih setia menunggu pintu besar di hadapanku terbuka.Pintu besar bertuliskan 'Ruang Operasi'. Di mana Pak Aksa sedang mendapat tindakan medis. Aku sangat berharap dia bisa bertahan."Bir bintang gak ada, Tan? Gue butuh doping, nih."Pletak!Intan pun dengan senang hati menjitak kepalaku, membuat aku langsung mendelik garang pada emaknya
*Happy Reading*"Oh, ya, Dev. Tante juga udah follow IG kamu, loh. Follback, dong!" rengek si Tante, aka Mamanya Pak Aksa yang kini menatapku penuh harap. "I-iya, Tan. Nanti saya Follback. Tapi ... itu ... Tante gak mau tanya soal kondisi Pak Aksa." Sebisa mungkin, aku ingin mengembalikan kewarasan di tempat ini. Soalnya ... Asli! Aku bingung menghadapi orang tua Pak Aksa ini.Demi apa? Ini beneran orang tuanya Pak Aksa bukan, sih? Anaknya abis ditusuk orang dan sedang mendapat tindakan medis loh, di ruang operasi. Setidaknya khawatir atau apa gitu. Lah ini malah meributkan tanda tangan, photo bareng, dan kini follback IG. Gagal paham aku!"Saya kenapa? Saya sehat-sehat aja kok!" Eh?Aku pun makin mengerjap bingung, saat malah Ayahnya Pak Aksa yang menyahut dengan ringan."Bukan kamu, Pah! Maksud Devia itu Vino. Anak kita. Kamu sih, siapa suruh punya nama sama kayak anak kamu?"Hah?! Gimana maksudnya
*Happy Reading*Bruk!Aku menghempaskan diri dengan keras ke atas tempat tidur, sesampainya di apartemen."Finaly, rebahan juga gue!" Aku bermonolog seraya menghela napas lega.Ya. Akhirnya, setelah drama cukup alot di rumah sakit. Keluarga si papah pun membiarkan aku pulang dan istirahat dengan layak di apartemen sendiri.Lagian, mau ngapain juga aku di sana lama-lama? Dokter juga bilang si papah belum akan sadar dalam waktu dekat, karena masih dalam pengaruh obat bius paska operasi. Nah, dari pada ngejogrog gak ada kerjaan, mending balik ya kan? Mon maap aja, aku belum alih profesi jadi penunggu pojokan rumah sakit.Lebih dari itu, badanku juga udah lengket banget, ketek juga udah uasem tenan, maklum belum mandi dari kemaren. Penting dari itu semua, aku mau ganti semvak yang udah lembab. Nanti dorayaki di balik semvakku jamuran, repot aku. Gak bisa terima iklan sabun pembersih plus pemutih silingkingin. Belu
*Happy Reading*"Mama sama Papa ngapain? Kok, saling maen bibir??"Degh!Seketika aku pun tersentak, refleks mendorong dada bidang si papah dan menjauh, saat suara cempreng nan polos itu terdengar Mampus! Gue tercyduk, pemirsah!"Ti-Tita?" gumamku dengan kikuk, saat akhirnya melihat keberadaan Tita di sana. Aku malu!Demi apa? Bisa-bisanya aku menanggapi kegilaan si papah dan keenakan. Sampai tercyduk seperti ini pula. Kan, aku jadi pengen pulang kampung kalau begini."Eh ... Tita ... itu ... itu ...""Papa abis makan permen, ya, Makanya bibirnya diemutin Mama? Kok, Tita gak dibagi?"Ya salam! Harus bagaimana ini jelasinnya? Kan, gak mungkin aku jelasin detail. Belum waktunya buat Tita. Cukup Bella aja yang dewasa sebelum waktunya. Tita gak usah!"Bu--""Bukan Papa yang abis makan permen, tapi Mama. Makanya Papa minta dikit."Penjelasan macam apa itu, Misk
*Happy Reading*"Woy! Ngapa pagi-pagi muka lo udah kecut banget kek gitu? Ketumpahan cuka atau gimana?"Aku langsung menghadiahkan delikan kesal, saat mendengar celetukkan Lika pagi itu. Sialan! Emang aku kuah mpek-mpek dikasih cuka segala. "Jangan resek deh, Lik. Lagi mumet gue," keluhku akhirnya. Kembali menopang dagu dengan tangan yang berlipat di atas meja. "Mumet kenapa? Bukannya lo harusnya seneng, ya? Lo kan lagi panen job, Dev. Secara, siapa sih, yang gak kepo sekarang sama seorang Devia? Artis baru yang di gadang-gadang bakal menjadi menantu di keluarga Alexander. Ugh ... harusnya muka lo berseri-seri kali, Dev. Bukan malah keruh ke rendeman kaos kaki tiga abad begini." Lika makin menyebalkan. Membuang napas kasar, aku memilih mengabaikan Lika dan malah menjatuhkan kepala pada lipatan tangan di atas meja."Mbuh, lah, Lik. Gue males mikirinnya.""Lah, kok, gitu? Hei! Sebenarnya kenapa, Dev? Aneh banget sumpah!
*Happy Reading*"Pernikahan apa? Bapak jangan ngadi-ngadi, deh! Emang kapan saya bilang mau nikah sama Bapak?" Aku mencoba membantah pernyataan Pak Vino dengan segera, demi menyelamatkan wajahku di depan para teman sejawat. Gila ya nih duda! Masa main asal jeplak di forum internal kayak gini? Di depan semua penghuni agensi lagi. Kan, jadinya semua bisa makin kacau. Padahal selama ini aku selalu konsisten menjawab jika gosip itu hanya hoax semata. Eh ... si duda malah bongkar aib. Bangsul banget!"Kamu memang gak pernah dengan lantang bilang 'iya' pada lamaran saya. Tapi, ciuman kita waktu di rumah sakit saya rasa sudah lebih dari cukup sebagai jawaban."Uhuk! Uhuk!Para peserta meeting pagi itu pun makin radang, bengek, dan mungkin sebentar lagi typus mendengar celotehan Pak Vino yang ... asli bocor banget. Pun aku tentu saja. Yang kini rasanya mendadak ayan gara-gara mulut embernya. "Ternyata mere
*Happy Reading*Berusaha menebalkan wajah, yang sebenarnya sudah tebal dengan foundation dan kawan-kawannya hari ini. Aku pun menjauhkan tangan laknat yang nyasar ke tempat enak tadi dengan acuh, lalu sengaja segera melipatnya di bawah dada. Biar gak nyasar season dua, gaes!"Jangan ngadi-ngadi, Pak. Reaksi tubuh itu gak bisa dijadikan patokan soal hati. Karena di luar sana. Banyak kok, orang yang bisa ngeseks tanpa cinta. Lagi pula, reaksi tubuh saya tadi bisa di bilang wajar, kok. Soalnya, saya kan masih wanita normal." Aku berusaha tetap elegan menanggapi si Papah, meski aslinya malu pisan, euy. Bisa-bisanya aku kecolongan lagi. Pesona si papah memang mengkhawatirkan!"Memang betul. Tapi, lebih wajar lagi kalau kamu mendorong saya atau menolak. Kan, katanya kamu gak suka sama saya," balas si papah dengan senyum miringnya.Sialan! Pinter banget bapaknya si Tita nyautinnya. Kan aing harus muter otak lagi. Tapi ... be