*Happy Reading*
"Woy! Ngapa pagi-pagi muka lo udah kecut banget kek gitu? Ketumpahan cuka atau gimana?"Aku langsung menghadiahkan delikan kesal, saat mendengar celetukkan Lika pagi itu. Sialan! Emang aku kuah mpek-mpek dikasih cuka segala."Jangan resek deh, Lik. Lagi mumet gue," keluhku akhirnya. Kembali menopang dagu dengan tangan yang berlipat di atas meja."Mumet kenapa? Bukannya lo harusnya seneng, ya? Lo kan lagi panen job, Dev. Secara, siapa sih, yang gak kepo sekarang sama seorang Devia? Artis baru yang di gadang-gadang bakal menjadi menantu di keluarga Alexander. Ugh ... harusnya muka lo berseri-seri kali, Dev. Bukan malah keruh ke rendeman kaos kaki tiga abad begini." Lika makin menyebalkan.Membuang napas kasar, aku memilih mengabaikan Lika dan malah menjatuhkan kepala pada lipatan tangan di atas meja."Mbuh, lah, Lik. Gue males mikirinnya.""Lah, kok, gitu? Hei! Sebenarnya kenapa, Dev? Aneh banget sumpah!*Happy Reading*"Pernikahan apa? Bapak jangan ngadi-ngadi, deh! Emang kapan saya bilang mau nikah sama Bapak?" Aku mencoba membantah pernyataan Pak Vino dengan segera, demi menyelamatkan wajahku di depan para teman sejawat. Gila ya nih duda! Masa main asal jeplak di forum internal kayak gini? Di depan semua penghuni agensi lagi. Kan, jadinya semua bisa makin kacau. Padahal selama ini aku selalu konsisten menjawab jika gosip itu hanya hoax semata. Eh ... si duda malah bongkar aib. Bangsul banget!"Kamu memang gak pernah dengan lantang bilang 'iya' pada lamaran saya. Tapi, ciuman kita waktu di rumah sakit saya rasa sudah lebih dari cukup sebagai jawaban."Uhuk! Uhuk!Para peserta meeting pagi itu pun makin radang, bengek, dan mungkin sebentar lagi typus mendengar celotehan Pak Vino yang ... asli bocor banget. Pun aku tentu saja. Yang kini rasanya mendadak ayan gara-gara mulut embernya. "Ternyata mere
*Happy Reading*Berusaha menebalkan wajah, yang sebenarnya sudah tebal dengan foundation dan kawan-kawannya hari ini. Aku pun menjauhkan tangan laknat yang nyasar ke tempat enak tadi dengan acuh, lalu sengaja segera melipatnya di bawah dada. Biar gak nyasar season dua, gaes!"Jangan ngadi-ngadi, Pak. Reaksi tubuh itu gak bisa dijadikan patokan soal hati. Karena di luar sana. Banyak kok, orang yang bisa ngeseks tanpa cinta. Lagi pula, reaksi tubuh saya tadi bisa di bilang wajar, kok. Soalnya, saya kan masih wanita normal." Aku berusaha tetap elegan menanggapi si Papah, meski aslinya malu pisan, euy. Bisa-bisanya aku kecolongan lagi. Pesona si papah memang mengkhawatirkan!"Memang betul. Tapi, lebih wajar lagi kalau kamu mendorong saya atau menolak. Kan, katanya kamu gak suka sama saya," balas si papah dengan senyum miringnya.Sialan! Pinter banget bapaknya si Tita nyautinnya. Kan aing harus muter otak lagi. Tapi ... be
*Happy Reading*Ini bohong, kan?Ini tidak mungkin!Aku tidak percaya dan tak ingin percaya sama sekali dengan ucapan Pak Vino barusan. Tita anak Kak Diana? Itu berarti, Tita adalah keponakan aku. Begitu, kan? Bagaimana bisa? Ya. Aku tahu, dulu saat Kak Diana pergi. Dia memang tengah mengandung. Selanjutnya aku tidak tahu bagaimana kabarnya. Karena keberadaan Kak Diana hilang begitu saja bak di telan bumi.Aku sudah mencoba mencari ke semua tempat. Bahkan sejujurnya, alasan aku bekerja jadi Artis pun, itu demi mencari keberadaan Kak Diana. Sekian tahun aku mencari, hasilnya selalu nihil. Aku tak bisa menemukan keberadaan, bahkan sekedar kabar kakakku sendiri. Pokoknya Kak Diana itu seperti raib.Itulah kenapa, tadi aku sempat menjadikan keberadaan Kak Diana sebagai syarat pernikahan pada Pak Vino. Meski aku tidak berharap banyak akan persetujuan darinya. Tetapi, jika memang benar dia serius akan perasaannya,
*Happy Reading*"Pak, ayolah! Jangan berbelit-belit kayak gini bisa, gak? Kepala saya sudah vertigo dadakan ini ngadepin kenyataan yang Bapak bawa hari ini. Jangan tambah lagi dengan kenarsisan Bapak. Saya cuma butuh penjelasan tentang kenyataan yang kalian sembunyikan selama ini. Tolonglah, Pak. Jangan bikin saya makin vertigo hari ini, ya?" Akhirnya aku pun memohon dengan sangat belas kasihan pria itu. Karena jujur, aku sudah kepo setengah mampus ini tentang Tita dan lainnya."Janji dulu, kamu akan menerima lamaran saya, jika saya menceritakan semuanya."Allahhurobbi pria ini! Masih aja sempat-sempatnya mancing di air keruh, ya? Gue kruwes juga dah tuh muka ganteng. Biar codet sekalian. "Bapak--""Tolong, Devia. Saya mohon. Saya benar-benar gak bisa jauh lagi dari kamu." Kini, malah Pak Vino yang memohon, dengan tatapan intens yang serius sekali. Aku harus gimana sekarang?Aku harus apa? Aku harus
*Happy Reading*"Devia, tunggu!""Hei! Hei! Devia?!"Lepasin!" "Devia? Saya mohon. Jangan seperti ini!"Pak Vino masih terus mencoba membujuk, saat mengejarku yang akhirnya memilih untuk segera pergi dari sana. "Devia?""Lepasin gue, Aksa Malvino Alexander!"Nah, kan. Tahu dong, kalau cewek sudah menyebut nama cowok dengan jelas dan lengkap seperti itu. Berarti marahnya bukan kaleng-kaleng. Dan ya! Aku memang sedang sangat marah sekali saat ini. Bagaimana tidak? Kalian bayangin sendiri saja gimana gemasnya aku dengan sikap pria tukang tarik ulur ini. Sudah keceplosan pun, masih saja tidak mau jujur. Kan, aku kesel, ya?"Okeh, Okeh. Sorry!" Pria itu mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Tapi, tolong jangan seperti ini, ya?""Lalu saya harus seperti apa? Diam saja Bapak permainkan sedari tadi? Diam saja, Bapak tarik ulur terus! Bapak kira saya apa? Layangan? Atau apa?" Aku memil
*Happy Reading*Demi apa?!Aku kira, Pak Vino akan membawaku ke tempat penting, atau gimana gitu. Kan, katanya mau menyelesaikan masalah kami. Yee kan?Seenggaknya, aku kira akan di bawa ke sebuah kuburan, bertuliskan nama Kak Diana. Orang yang memang sedang kami bahas sedari tadi. Ya ... seperti di film dan novel yang pernah aku baca. Nyatanya, dia malah membawaku ke tempat yang ... ugh! Nih, duda emang minta aku kepangin ususnya."Yakin kamu gak mau, ini enak, loh." Selain itu, bisa-bisanya dia menawariku selugas itu. Tanpa merasa berdosa sedikit pun. Apa kurang jelas muka jutekku?"Gak usah banyak bacot, deh! Udah abisin sana aja buruan. Sebelum saya lempar tuh mangkok ke jalanan," sahutku ketus. Tak menutupi sedikitpun kekesalanku.Gimana gak kesel. Kalian tahu gak aku dibawanya ke mana? Ke WARKOP pinggir jalan.Iya, betul! Alih-alih membawaku ke resto mewah dan privasi. Si duda sableng ini malah
*Happy Monday*"Sebenarnya Tita itu juga keponakan saya."Perlu beberapa detik untukku bisa mencerna ucapan si Papah. Entah karena otakku terlalu lemot, atau memang gaya si papah menjelaskan yang berbelit-belit. Menurut kalian, bagaimana?"Lalu, kenapa Tita malah di kenal sebagai anak Bapak oleh semua orang?" Akhirnya, aku menemukan fokusku lagi. "Hanya itu satu-satunya cara. Agar Tita bisa masuk ke dalam keluarga kami dan memakai nama Alexander.""Maksudnya?" tanya itu pun meluncur cepat. Seiring rasa penasaran yang masih menyelimuti. Bukannya langsung menjawab. Pak Vino malah bernapas dalam dan menatap aku lamat-lamat. "Devia. Kakak kamu, Diana itu selingkuhan Kak Alvin. Mereka menjalin hubungan di saat Kakak saya sudah punya istri."Aku tahu. Sangat tahu. Itulah kenapa, awalnya aku marah dengan Kakak dan berusaha menegur agar tidak melanjutkan perasaan gilanya pada bos di kantornya. Tetapi, karen
*Happy Reading*"Apa?!" Mendengar nyawa kakakku terancam. Seketika emosiku pun tersulut kembali. Wanita brengsek!Medusa!Mak lampir!Setan!Sialan!Dan berbagai titel lainnya, yang menggambarkan wanita jahat bermunculan di otakku, seiring emosi yang kembali naik. Jika kalian ingin menambahkan. Silahkan! Aku persilahkan dengan senang hati."Jadi wanita itu belum kapok? Kenapa? Memangnya Pak Aksa tidak memberi hukuman waktu itu, agar mereka jera?" Selanjutkan, aku pun mencecar Pak Vino. Mengejar penjelasan lebih lanjut. "Tentu saja sudah." Pak Vino menjawab cepat demi menenangkan aku. "Papa mencabut jabatan Kak Alvin di kantor pusat, dan mengirimnya ke cabang perusahaan kecil di luar kota. Itulah kenapa, Diana bisa menjalani kehamilannya lebih tenang bersama saya dan Joyce di Luar Negeri." Pak Vino menambahkan. "Lalu, kenapa mereka bisa berulah lagi? Itu berarti hukuman da