Isabella tercekat. Tangannya gemetar tak terkendali saat meneliti dokumen itu lebih detail. Matahari senja yang menyelinap dari jendela gudang menyorot deretan angka nol yang tak terhitung - deposito, saham, properti mewah di berbagai kota, bahkan koleksi seni ibunya yang legendaris."Ini... tidak mungkin..." desisnya, suara serak karena shock. Jantungnya berdebar kencang sampai-sampai dia bisa mendengarnya di telinga sendiri. "Selama ini... Riccardo... pantas saja dia..."Kilasan ingatan muncul - Riccardo yang selalu bersikeras Matteo harus tetap dekat dengan Isabella, sikap overprotective mertuanya yang tiba-tiba masuk akal dan pertemuan sampai pernikahan itu semua skenario Riccardo. "Dia bukan melindungiku," bisik Isabella dalam hati, mulutnya terasa kering. "Dia melindungi hartanya."Matteo mengamati reaksinya dengan senyum predator. "Akhirnya kau mengerti," godanya sambil menyentuh lembaran dokumen dengan jari telunjuknya. "Selama ini kau hanya domba berbalut bulu emas yang dijag
Isabella menatap pesan balasan Matteo hingga layar ponselnya menggelap. Jari-jarinya yang biasanya mantap kini gemetar ringan."Aku akan menemanimu sampai depan," ujar Leonardo, menekan pundak Isabella dengan kuat. "Aku sudah atur tim terbaik di sekeliling gedung. Jika ada yang tidak beres—""Kau akan masuk," Isabella menyelesaikan kalimatnya sambil menarik napas dalam. "Tapi kuharap tidak sampai perlu."Leonardo mengangguk, matanya gelap. "Ingat, jangan terpancing. Kau hanya perlu membuatnya bicara."Di gudang tua di pinggiran kota — tempat yang sengaja dipilih Matteo untuk memastikan tidak ada gangguan.Begitu mobil Isabella berhenti, dua lelaki bertubuh kekar langsung mendekat."Tas dan ponsel. Tinggalkan di sini," perintah salah satu mereka dengan suara datar.Isabella mengerutkan kening. "Aku butuh ponselku—""Peraturan Matteo," borgol tubuhnya dengan tatapan kosong.Dengan enggan, Isabella menyerahkan tas kecilnya. Salah satu penjaga segera memeriksa isinya dengan kasar, sementa
Paginya, Isabella kembali ke kamar utama dengan rambut masih lembab dari keringat setelah jogging pagi di taman. Udara segar dan sinar matahari biasanya mampu menenangkan pikirannya, tapi pagi ini kegelisahan tetap menggelayuti seperti bayangan yang tak mau pergi. Merasa otot-ototnya masih kaku dan pikiran penuh tekanan, dia melepas pakaian olahraganya dan mengisi bak Jacuzzi dengan air hangat.Saat tubuhnya perlahan terendam, dia mendesah legas ketika kehangatan air mulai melumerkan ketegangan di pundak dan punggungnya. Uap air membentuk kabut tipis di permukaan, seolah ikut menyelubungi kegelisahan yang mencoba dia tenggelamkan. Di sudut kamar, Leonardo yang sudah selesai mandi sejak tadi sedang bersandar di kepala tempat tidur dengan tablet di tangan, tapi matanya lebih sering tertuju pada Isabella daripada layar di depannya.Matanya sesekali mengalihkan pandangan dari layar ke Isabella, memerhatikan bagaimana tubuhnya perlahan melemas di bawah semburan air hangat. Namun, ketenanga
Leonardo berjalan mengendap setelah memastikan Isabella tertidur pulas. Tangannya yang besar sempat menata kembali selimut yang menutupi tubuh Isabella, sebelum bibirnya menempel di keningnya - sebuah ciuman yang penuh janji dan perlindungan.Ponsel di sakunya bergetar tak henti. Begitu keluar dari kamar, layar ponsel menyala dengan deretan notifikasi email. Cahaya birunya menerangi rahang tegasnya yang mengeras saat membaca isi pesan.Leonardo berdiri di balkon kamar kerjanya, dinginnya udara malam menusuk melalui kemeja tipis yang ia kenakan. Ponsel di tangannya terus bergetar, memancarkan cahaya biru pucat yang menyinari garis-garis tegas di wajahnya. Satu per satu email masuk, masing-masing membawa potongan informasi berharga tentang buruan mereka.Email Pertama membuka tabir lokasi Damiano:The Mark Hotel, New York. Suite termahal di lantai penthouse. Foto lampiran menunjukkan kamar mewah dengan pemandangan Central Park, sebotal champagne Dom Pérignon tahun 1988—vintage favorit D
Langit senja menyirami kamar melalui jendela lebar, mengecat dinding-dinding putih dengan warna jingga keemasan. Isabella berdiri di tengah ruangan, matanya perlahan menyapu tiga box bayi besar yang menempati sepertiga ruangan.Box-box itu terbuat dari kayu oak berkualitas tinggi, diukir dengan motif daun zaitun—sama seperti yang pernah ia gambar di sketsa rancangannya beberapa tahun lalu. Leonardo ternyata mengingatnya.Jarinya yang halus menyentuh pinggiran box pertama. Kayu yang diampelas halus terasa dingin di bawah sentuhannya. Perlahan, tangan itu bergerak ke perutnya yang kini kosong."Maafkan Mama, Sayang..." bisiknya, suara hancur oleh air mata yang tak lagi bisa ditahan. "Kamu belum sempat melihat dunia."Butiran air mata jatuh ke lantai kayu, meninggalkan noda kecil yang langsung diserap. Tubuhnya lunglai, kaki yang biasanya tegap melangkah dengan optimis kini gemetar. Tanpa sadar, ia merangkak ke ranjang kecil di sudut—ranjang yang pernah ditiduri Leonardo.Aroma pria itu
"Aku harus menghadap Tuan Riccardo terlebih dahulu. Dia ingin bertemu," jawab Leonardo dengan suara datar yang menyembunyikan gejolak di dalamnya.Sebelum Isabella sempat membuka mulut untuk protes, Leonardo sudah menyelipkan sebuah kunci kecil ke telapak tangannya. "Villa itu aman," bisiknya cepat, sebelum tubuhnya yang tinggi menghilang di antara kerumunan eksekutif yang sibuk dengan ponsel mereka.Pintu kayu oak besar terbanting sebelum Leonardo sempat mengetuk."Kau sembunyikan perempuan itu?" Riccardo berdiri di ambang pintu, wajahnya memerah oleh kemarahan yang tak terbendung. Napasnya berat, mengeluarkan bau alkohol mahal yang biasa diminumnya saat stres.Leonardo tidak terkejut. Dengan tenang yang mengerikan, ia melangkah masuk, mengibaskan debu perjalanan dari jas hitamnya. "Aku tidak menyembunyikan siapa-siapa," ujarnya, setiap kata diucapkan dengan presisi pisau bedah."Jangan main-main denganku!" Riccardo menggebrak meja marmer dengan tinjunya hingga gelas kristal bergetar