"Hai, Maysarah!" What? Itu suara Nabila! Dia di balik pintu kamarku!!Aku merasa tenggorokan ini tercekat seketika. Apa yang akan dilakukan perempuan ini sekarang? "Apa kamu ingin keluar? Buat apa? Aku jadi penasaran," ujarnya dengan suara lembut menghanyutkan itu. Psikopat!"Buka pintunya Nabila!" teriakku. "Hmm... Kamu mau ngapain keluar? Semua orang sudah pergi. Aku juga akan segera pergi. Kenapa kamu masih bertahan di rumah ini?" tanya Nabila. "Itu bukan urusanmu! Sekarang buka pintunya!""Kamu sangat mencintai Bang Hafiz? Laki-laki yang hanya bisa menuruti ibunya itu?"Aku terdiam. Percuma meladeninya. Nabila sepertinya sedang depresi berat. Tapi kenapa bisa ia sampai meracuni Kak Sina?"Kenapa kamu menyakiti Kak Sina? Apa kesalahannya padamu?!" tanyaku dengan nada yang meninggi."Tidak. Tujuanku bukan untuk menyakitinya. Aku hanya ingin bertahan di rumah ini. Mungkin orang lain akan sok suci dengan mengatasnamakan cinta. Tapi aku tak munafik, aku menginginkan harta dan marta
Bab 20"Nabila!" Aku tersentak bangun. Kembali terdengar teriakan di rumah ini. Hh... Tak pernah aman. Aku hanya bisa mengelus dada mendengarnya. Sabar... Esok pagi insyaallah semua akan berakhir.Ku lirik jam dinding, pukul 3 dini hari. Nina masih tidur nyenyak dalam pelukanku. Tadi itu suara Bang Hafiz. Sepertinya ia sengaja pulang untuk memarahi Nabila."Nabila! Di mana kamu?!" teriaknya lagi.Oh, ternyata Nabila telah sadar. Ya sudah pasti dia telah sadar setelah 2 jam berlalu. Lantas kemana perempuan itu sekarang pergi?"Hey! Buat apa kamu di kamar Abi?!"Di kamar Abi? Sedang apa dia di sana? Ah... Aku jadi penasaran. Ini memang sifat buruk yang belum bisa aku rubah. Kepo, dan selalu kepo.Tidak! Aku tak ingin lagi mencampuri urusan rumah ini. Mata ini segera aku pejamkan kembali."Itu apa?! Apa di dalam tas besar itu?!" Suara kencang Bang Hafiz kembali terdengar dan membangkitkan rasa penasaran ini lagi. Ku lirik kembali jam dinding, ini waktunya shalat tahajud, biarlah aku
Bab 21POV HafizAku berdiri mematung di hadapan pintu kamar kami, kamarku bersama 2 perempuan yang paling ku cintai di dunia ini. Maysarah dan putriku Nina.Ku atur nafas sejenak, menghilangkan kedongkolan terhadap Nabila yang kini telah ku serahkan pada Pak Hasan dan Bara untuk dibawa ke kantor Polisi. Maysarah pasti semakin ilfill padaku saat ini. Mungkin dalam pandangannya aku adalah laki-laki pemarah yang tak berperasaan dan selalu tunduk pada ibunya. Yah.... karena memang itulah yang ku tunjukkan selama ini. Aku ingin Maysarah menjauhiku. Biarlah aku mencintainya di tengah jarak yang memisahkan kami. Aku tak bisa melihatnya sakit karena diriku. Tapi dirinya itu candu bagiku. Kehadirannya, wajahnya, aromanya, semua hal yang ada padanya selalu mampu membangkitkan gairahku. Aku ingin menyentuhnya, menyelami kehangatannya, tapi air mata yang ia sembunyikan membuat diri ini merasa menjadi penjahat paling zalim sedunia. Seandainya ia tau, bahwa aku selalu ingin masuk ke kamar ini,
POV Hafiz"Nabila sudah Hafiz serahkan ke Polisi," tegasku.Ummi menghela nafasnya. Lalu menghenyakkan tubuh besarnya di sofa, tepatnya di samping Abi."Hh... Kita yang bersalah di dalam hal ini. Harusnya kita memberinya keringanan asalkan ia mau bertaubat," ujar Ummi kemudian. Aku langsung mengernyit kesal. Bagaimana Ummi bisa berniat meringankan hukuman untuk pembunuh seperti Nabila?"Kenapa saat Nabila yang melakukan kesalahan, Ummi mau memaafkannya? Tapi kenapa tidak untuk Maysarah? Apa karena Maysarah mengetahui sesuatu yang Ummi rahasiakan selama ini?" sentakku dengan emosi yang mulai meluap."Apa maksudmu, Hafiz?" duduk Ummi langsung tegak. Wanita yang selama ini ku pikir adalah ibu kandung ku menatap was-was."Ummi menemukan sebuah video dari lemari Maysarah, bukan?" pancing ku sembari menatap Ummi dengan seksama.Raut wajah Ummi langsung menegang."Video itu Hafiz yang simpan. Hafiz yang menemukannya, bukan Maysarah!""Video apa Hafiz?" Kali ini Abi yang bertanya."Video reka
Aku menatap takjub suami yang kupikir selama ini tak pernah mencintaiku. Ia baru saja turun dari podium diiringi jawaban salam dari para wali santri. Hari ini, laki-laki bertubuh jangkung itu berdiri menggantikan abinya untuk memimpin pesantren. Langkahnya yang panjang bergerak ke arahku dan Nina yang duduk di barisan kursi terdepan. Senyuman yang kharismatik menghiasi bibirnya yang merah muda tak tersentuh nikotin. Ia benar-benar terlihat sempurna, bak pangeran. Dan yang lebih menakjubkan lagi, ternyata laki-laki tampan itu telah jatuh cinta padaku sejak awal ijab-kabul pernikahan kami. Teringat kembali kata-katanya beberapa malam yang lalu, saat aku mengintrogasi perihal perasaannya."Kata Abang kemarin Abang cinta sama Maysa, tapi kenapa waktu ta'aruf Abang maksa Bang Bara yang gantiin?"Bang Hafiz menatapku kaget. "Kok kamu tau? Bara yang ngasih tau ya? Wah, benar-benar Bara ini. Nyari kesempatan dalam kesempitan!""Nggak kok. Maysa denger sendiri waktu Abang ngobrol sama Bang B
Bab 1"Ouh, shit!" Suara umpatan terdengar dari kamar berpenerangan remang-remang itu. Di tengah suara rintik gerimis yang meningkahi sunyinya malam.Seorang gadis cantik berambut awut-awutan bangkit dari kasurnya dengan celana basah. Bibir mungilnya berdecak kesal sembari melangkah cepat ke arah kamar kecil yang berada di sisi kiri kamarnya. Bau pesing mulai tercium di kamar itu. Sampai gadis itu kembali dari kamar kecil dengan handuk kimono, rambutnya yang basah menguarkan harum shampo di tengah bau pesing. Tubuh kurusnya tampak bergetar kedinginan. Ia buru-buru mencari piyama bersih dari dalam lemari.Selesai menghangatkan tubuhnya dengan piyama ditambah outer wol, mata bulatnya melirik ke arah tempat tidur. Bibir merah gadis itu mendesah lega. Ah, untunglah ada perlak dan kain yang sengaja ia gelar di atas kasur. Kalau tidak, mungkin ompol-nya saat ini telah melebar kemana-mana.Namanya Amanda, gadis cantik yang memiliki masalah unik dan lain dari yang lain di usianya yang ke 29
Bab 2"Aargh!" Amanda menekan bantal di telinganya dengan frustasi. Tapi suara bising itu tetap masih menyusup ke pendengaran. Ia sama sekali tak bisa memejamkan mata. "Ini Ibu-ibu ngapain sih, masih di rumah orang?!" gerutunya sembari bangun dan melempar bantal bersarung abu-abu itu ke lantai. "Nungguin orang pindahan kok sampai seheboh itu?!"Gadis yang masih memakai piyama itu bangkit dari tempat tidurnya dengan wajah kesal. Lalu berjalan lemah menghampiri meja, tempat ia biasa mengetik naskah untuk novelnya."Ah, mending nulis dari pada pusing dengerin gosip ibu-ibu," gumamnya sembari membuka laptop, lalu memasang earphone ke telinga. Alunan lagu Bruno Mars mulai mendayu. Gadis itu memejamkan matanya. Meresapi irama yang selalu mampu menetralkan perasaannya.Jari-jemari lentiknya kemudian mulai menari di atas keyboard laptop. Menyalurkan imajinasinya ke dalam tulisan.Tok tok... Suara ketukan di pintu kamarnya. Namun Amanda sama sekali tak mendengar.Tok tok tok...! Ketukan pad
Bab 3Amanda melihat ruang tamunya yang tak terlalu luas itu telah dipenuhi orang. Semua laki-laki. Kecuali ibu mereka tentunya. Beliau jadi seperti permaisuri yang dikelilingi pangeran. Atau, seperti desainer bersama para modelnya. Bukan tanpa alasan Amanda jadi membayangkan seperti itu, karena ketiga laki-laki yang kini sedang menatapnya itu tampan semua. Ah.... Hati Amanda jadi ketar-ketir!"Assalamualaikum... Maaf Papa telat," ucap seseorang dengan nada buru-buru dari arah pintu masuk rumahnya. Amanda menoleh. Dan matanya seketika terbelalak.Seorang laki-laki paruh baya berkepala setengah botak dan berkacamata berdiri di ambang pintu dengan nafas memburu.Bukankah... Laki-laki itu yang menyeberang sembarangan tadi pagi? Wajah dengan raut lembut itu masih jelas tercetak dalam ingatannya. "Nggak apa-apa, Pa. Kami juga baru datang bertamu," jawab ibu mereka seraya bangkit dan menyalami laki-laki itu. "Silahkan masuk, Pak! Oh, jadi ini suaminya Ibu Lidia?" sambut Mirna ramah. "I