Pagi itu, mentari memancarkan sinarnya dengan lembut, menembus celah tirai apartemen penthouse keluarga Maheswara. Di ruang makan, aroma telur dadar dan roti panggang memenuhi udara. Tapi suasana tak sehangat biasanya.Rania berjalan pelan ke dapur, mengenakan blouse putih bersih dengan pita kecil di kerahnya, dipadukan dengan rok midi warna biru lembut. Rambut panjangnya tak lagi digerai asal-asalan seperti biasanya, melainkan diikat rapi setengah ke belakang. Sentuhan lipstik tipis berwarna coral dan pipi yang merona alami membuatnya tampak segar sekaligus... menawan.Bara memperhatikannya dari meja makan. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ada sesuatu dalam penampilan Rania hari ini yang... berbeda. Wanita itu terlihat dewasa, anggun, dan memesona.Tapi Rania tak menyapanya. Bahkan tak menatapnya.Sejak kejadian semalam, Rania hanya menjawab seperlunya. Ia tak membantah, tak bertanya, tak memulai obrolan, seolah ia sedang dalam mode “diam profesional”. Bukan karena ingin memp
Rania mengajak Reyhan berjalan-jalan di taman kota. Bukan tempat yang mewah, tapi mereka bisa menghabiskan waktu bersama berdua. Mereka mengobrol tentang segala hal sambil membeli makanan dan jajanan di pinggir jalan. Bahkan mereka mengingat masa kecil dengan bermain ayunan bersama. Reyhan tertawa senang, begitupun Rania. Tak ada yang lebih membahagiakan di dunia ini selain melihat adiknya tersenyum bahagia."Kamu mau makan apa siang ini?" tanya Rania saat ia dan Reyhan duduk di bangku kayu sambil makan es krim."Makan lagi? Kita jajan terus lho dari tadi," tanya Reyhan tak percaya."Tak apa. Kakak pengen nraktir kamu sepuasnya hari ini."Reyhan melirik ke atas, mencoba membayangkan makanan apa yang sepertinya enak disantap, "Apa ya?"Tapi tiba-tiba wajah Reyhan berubah. Ia menatap Rania tanpa ekspresi, "Emangnya Kakak habis gajian?" tanyanya.Rania tertawa kecil, "Sudah, tenang saja. Kakak kan juga sudah menikah. Dan kebetulan suami Kakak itu kaya raya. Jadi Kakak dapat jatah uang be
"Tidurkan saja dia di ranjang," perintah Becca kepada petugas hotel yang membopong Bara. Pria itu mengangguk dan melakukan apa yang Becca minta."Biar aku urus sisanya. Ini tip mu," tambah Becca sambil memberikan selembar uang. Pria itu tampak senang mendapatkannya. Ia pun segera mengucapkan terima kasih dan pergi dari sana.Becca mengunci pintu kamar sambil melirik ke arah Bara yang sudah tak sadarkan diri di atas ranjang. Ia tersenyum penuh kemenangan. Malam ini Bara adalah miliknya, dan mereka bisa bernostalgia mengingat kenangan indah mereka saat dulu masih bersama.Dengan perlahan Becca menghampiri Bara dan duduk di tepi ranjang. Ia menatap wajah tampan mantan kekasihnya itu, lalu mengelus pipinya pelan. Dulu dia merasa sangat beruntung bisa menjadi kekasih pria pewaris ini. Tapi, semuanya hancur hanya gara-gara pernikahan konyol itu."Tapi aku yakin kamu masih mencintaiku, Bara. Takkan ada wanita lain yang bisa menggantikan tempatku di hatimu bukan?" kata Becca sambil tersenyum
Bara menutup laptopnya dengan gerakan tegas. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul lima sore lebih sepuluh menit. Meski masih ada tumpukan laporan yang menunggu, pikirannya sudah melayang ke satu tempat, janji yang telah ia buat pada Rebecca.Dia berdiri, merapikan jas hitamnya yang elegan, dan mengambil kunci mobil dari meja. Saat hendak berjalan keluar, Tama, asisten sekaligus sahabatnya sejak lama, menghadangnya di pintu dengan senyum menggoda."Mau pulang cepat? Istrinya sudah menunggu, ya?" goda Tama sambil menyelipkan kedua tangannya ke saku celana.Bara menghela napas panjang. "Jangan mulai lagi, Tam.""Halah, santai, Bar. Cuma bercanda," ujar Tama, lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Bara. "Tapi kepo juga. Memangnya kalian mau ngapain? Atau sudah ada benih-benih cinta diantara kalian?"Bara menghentikan langkahnya. Matanya menatap Tama tajam. "Jangan becanda. Aku dan Rania masih memiliki batas."Tama menyipitkan mata. "Kamu itu sudah menikah, Bara. Mau kontrak atau tidak, kam
Siang itu sepulang dari mengajar, Rania memiliki ide baru di kepalanya. Ia berniat untuk menyortir beberapa pakaiannya di rumah. Mungkin blus gombrong, rok polos, dan kaos lama yang sudah kucel dan tak menarik lagi. Ia memang tak berniat untuk berubah menjadi selebriti dadakan, tapi ini dia lakukan untuk dirinya sendiri. Dia harus mencintai dirinya sendiri sebelum dia ingin dicintai oleh orang lain. Sebagai langkah awal, Rania berjalan ke toko pakaian kecil di sudut jalan. Tempat sederhana tapi penuh pilihan. “Aku butuh baju kerja... dan beberapa pakaian untuk di rumah juga,” katanya kepada penjaga toko yang ramah. Gadis penjaga toko itu, mungkin beberapa tahun lebih muda darinya, mengangguk dan mulai memilihkan. Rania mencoba satu per satu. Dress selutut warna krem yang membentuk pinggangnya. Kemeja putih pas badan. Atasan pastel berlengan balon yang membuat kulitnya tampak lebih cerah, dan beberapa bawahan. Saat melihat dirinya di cermin toko, Rania nyaris tak mengenali bayan
Pagi itu Rania bangun lebih awal dari biasanya, semangat yang jarang ia rasakan kini menyelinap ke dalam hatinya. Komunikasi hangat yang sudah terjadi semalam antara Rania dan keluarga Bara membuatnya merasa ingin mencoba lagi, mencoba menjembatani jarak yang masih terasa dingin dan jauh antara dirinya dan Bara.Ia mengenakan apron dan mulai menyiapkan sarapan sederhana: nasi goreng telur dan teh hangat. Meja makan kecil itu tampak lebih hangat dan hidup untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu terakhir.Langkah Bara terdengar dari koridor menuju ruang makan. Ia tampak segar dalam kemeja biru tua dan celana bahan abu-abu. Rania sempat menahan napas, menatap suaminya yang sangat tampan. Namun sayang ia tak pernah melihat wajah Bara berekspresi selain datar atau marah. Tapi pagi ini berbeda. Bara mengangguk pelan untuk menyapa Rania ketika duduk."Selamat pagi," ucap Rania dengan nada hati-hati.Bara menatap makanan di meja, lalu mengalihkan pandangan ke arah Rania, "Terima kasih, bau