Setelah mandi dan bersiap, mereka menghabiskan sarapan di balkon dengan pemandangan laut biru yang menakjubkan. Sarapan kali ini terasa berbeda. Tak ada lagi kecanggungan. Yang ada hanya obrolan ringan, tawa yang lepas, dan tatapan-tatapan lembut yang tak lagi disembunyikan."Hari ini kita mau ke mana?" tanya Rania, menyeruput kopi hangatnya.Bara tersenyum dengan mata berbinar seperti menemukan ide baru. "Bagaimana kalau kita keluar dari zona nyaman ini? Mencari tempat yang tidak ada di brosur-brosur turis."Mata Rania membulat. Ia menyukai ide itu. "Terdengar seru. Aku lebih menyukainya dari pada melihat orang-orang berpose di setiap sudut jalan."Akhirnya setelah sarapan selesai, mereka segera bersiap dan pergi menyewa sebuah skuter matik berwarna putih. Bara duduk di depan, dan Rania memeluknya dari belakang. Angin laut menerpa wajah mereka, membawa aroma asin dan kebebasan. Mereka tak memiliki tujuan pasti, hanya mengikuti jalan-jalan kecil berbatu yang berkelok-kelok. Di sepanj
Bara menggenggam tangan Rania dengan erat siang itu, membimbingnya menuruni jalanan yang dipenuhi toko-toko kecil dan kafe yang ramai dengan pasangan-pasangan yang tengah berlibur.Udara Santorini terasa lebih hangat daripada biasanya. Angin laut yang lembut berhembus pelan, membawa aroma asin dari laut Aegea dan bunga-bunga segar yang bermekaran di sepanjang jalan kecil berbatu."Kemarilah," ujar Bara lembut, menarik Rania ke sebuah teras kafe kecil yang menghadap langsung ke lautan biru. Mereka duduk berdua di sudut, dengan segelas wine lokal dan sepiring kecil kudapan khas Yunani.Rania menatap pemandangan di depannya dengan mata berbinar. "Ini... seperti mimpi," gumamnya."Kalau begitu... jangan bangun dulu," jawab Bara sambil tersenyum. Tatapannya lembut, dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka dimulai, Rania merasa benar-benar menjadi bagian dari hidup pria itu.Mereka menghabiskan hari itu dengan berjalan di sepanjang pantai, tertawa, mengambil foto, dan bahkan sempat
Rania menggenggam erat tiket pesawat yang diberikan Bara. Jantungnya berdetak kencang sejak tadi pagi, seakan ingin melompat keluar dari dadanya. Ia masih tidak percaya bahwa hari ini adalah hari keberangkatan mereka. Perjalanan bulan madu ke Santorini, tempat yang selama ini hanya ia lihat lewat layar televisi atau media sosial.Bara tampak tenang. Lelaki itu mengenakan kemeja linen berwarna biru muda yang membuatnya terlihat santai namun tetap berwibawa. Ia menoleh ke arah Rania yang duduk di sampingnya, memandangi suasana bandara dengan mata berbinar.“Gugup?” tanya Bara sambil menyenggol lengan Rania pelan.Rania mengangguk pelan. “Gugup sekali. Ini pertama kalinya aku naik pesawat. Dan... pertama kalinya ke luar negeri.”Bara tersenyum. “Tenang aja. Aku di sini. Pegang tanganku kalau kamu panik.”Rania menoleh. Matanya menatap tangan Bara yang terulur, dan dengan ragu, ia meraih tangan itu. Hangat. Kuat. Dan entah kenapa, tenang. Perasaan yang membuat jantung Rania berdetak lebih
Pagi itu, mentari tampak cerah, seolah turut menyambut langkah baru yang sedang ditempuh Rania dan Bara. Semalam mereka tidur dengan hati hangat, dan kini bangun dengan semangat yang sama. Kebahagiaan kecil yang mulai tumbuh di antara mereka.Rania mengenakan blouse putih bersih dengan celana jeans panjang dan jaket denim yang membuatnya tampak kasual tapi anggun. Rambutnya dikuncir rendah, dan ia tak memakai banyak riasan hari itu. Ia baru saja selesai berdandan dan hendak keluar kamar ketika Bara masuk sambil membawa dua cangkir kopi dan senyuman.“Kita harus ke imigrasi dulu untuk urus paspor kamu,” ucapnya sambil menyerahkan secangkir kopi hangat.Rania menyambutnya dengan senyum. “Kamu yakin mau menemaniku? Aku bisa melakukannya sendiri.”Bara duduk di sampingnya, satu tangan meraih tangannya. “Kita mau pergi bersama. Jadi semuanya juga harus dilakukan bersama.”Kata-katanya sederhana, tapi cara Bara mengatakannya dengan tenang dan penuh perhatian, membuat dada Rania hangat. Lela
Hari itu, Rania segera mengurus izin cutinya di sekolah seperti permintaan Bara. Ia langsung menghadap ke ruangan kepala sekolah untuk menyerahkan surat izin yang sudah ia siapkan sejak pagi, beberapa menit saat bu Dyas, sang kepala sekolah, baru tiba. Rasanya Rania sudah tak sabar menantikan momen liburan bersama Bara. Setelah sekian lama berada dalam pusaran konflik, keduanya akhirnya menemukan waktu untuk bernapas sejenak, dan menikmati hubungan mereka sebagai suami istri yang sebenarnya."Cuti?" ulang Bu Dyas sedikit terkejut, karena Rania memang guru yang jarang sekali mengambil cuti kecuali saat ada keperluan penting. Seperti saat dulu ayahnya meninggal dan saat Rania menikah.Rania mengangguk tegas. Matanya menyiratkan kebahagiaan, dan senyum ceria tak pernah sirna dari wajahnya."Bulan madu? Bukannya kalian sudah cukup lama menikah?" tanya Bu Dyas lagi."Memang Bu, tapi suami saya baru sekarang ada sedikit jadwal kosong. Kemarin-kemarin kami tidak sempat cuti karena pekerjaann
Pembicaraan Rania dan Bara berlanjut di dalam kamar. Mereka terus saling menceritakan kisah masing-masing karena banyak yang memang belum diceritakan.Dari obrolan itu, Rania akhirnya mengetahui sisi lain Bara yang belum pernah ia lihat. Bara yang lembut dan merasa takut kehilangan. Sementara Bara juga tahu sisi Rania yang kuat dan mandiri, yang cukup berbeda dari pribadi lemah yang selama ini ia lihat."Aku tak bisa membayangkan setiap malam kamu menangis sendirian di kamarmu, memikirkan tagihan-tagihan itu sendirian," kata Bara sambil memainkan ujung rambut Rania dengan jarinya.Rania terkekeh, "Jangan dibayangkan. Aku melakukannya setiap hari. Dan puncaknya, adalah saat aku dengan bodohnya berjalan ke tengah jalan saat mobilmu lewat."Bara tersenyum mengingat kejadian itu, saat pertama kali mereka bertemu, "Aku juga sedang melamun saat itu. Aku tak melihat ada lampu merah."Rania dan Bara saling menatap. Kejadian yang waktu itu terlihat menyebalkan bagi mereka, sekarang justru tamp