"Feli, kau di sini?" Bu Veronica baru saja menginjakkan kaki di lantai rumahnya. Beliau seketika bercengkrama dengan sang cucu. "Hm, aku tadi niatnya ke sini mau nitip Dafi sebentar, baby sisternya lagi sakit, tapi ternyata Ibu nggak lagi di rumah.""Yah, kenapa nggak bilang dulu. Kan, Ibu bisa batalin acara ini. Ya udah biarin Dafi di sini, kau pergilah."Feli bersiap akan beranjak, tak apa ia datang sangat terlambat, masih ada yang bisa ia kerjakan di jam selesai istirahat seperti ini. Belum ia benar-benar beranjak dari tempatnya saat ini, datang Rafan dengan wajah lesunya. Kedatangannya pun terbaca oleh Feli, "Ibu, Rafan," ucapnya lirih seraya mengarahkan dagunya ke arah Rafan yang berjalan dengan lemas. Rasa sakit kepala karena masalah dan kecelakaannya membuat ia sedikit terhuyung saat berjalan. Bu Feli yang mendapati anaknya pulang dengan tempelan kapas dan plester seketika berdiri dan menghampiri, "Raf, kau kenapa? Apa yang terjadi?" tangannya khawatir. Yuan yang tadinya d
Yuan duduk di tepian ranjang seorang diri lantaran Rafan yang tengah berada di kamar mandi. Ia sedang berpikir yang terjadi hari ini sungguh diluar nalar baginya. Ia seakan dibuat terus berpikir apa yang mendasari seseorang melakukan ini. Dalam pikirannya ia ingin berusaha acuh, tapi ternyata ada saja kejadian-kejadian yang membuat dirinya kembali berpikir untuk tidak mengacuhkan persoalan ini. "Apa yang kau pikirkan? Aku sudah katakan aku tidak apa-apa. Jangan membuat kejadian-kejadian aneh ini mengisi kepalamu. Aku tidak mau kalau kau banyak pikiran seperti itu. Kau yang menggebu soal anak, kau juga yang menyulitkannya." Rafan duduk di bagian tempat tidur yang kosong. Ia menarik tubuh sang istri untuk berbaring juga. Ia tahu ini bukan kebiasaan keduanya, tidur di siang hari? Ah sesekali rasanya tak jadi soal. Lagi pula kepala Rafan terlalu berat hari ini, banyak hal yang menyita isi kepalanya, semua seakan ingin berjejal masuk dan berdesakan dalam otak pria matang itu. Yuan hanya
Rafan menggenggam ponsel dengan tegang, matanya menelusuri setiap kata dalam pesan tersebut. Isinya menggetarkan hatinya dengan kilatan-kilatan memori yang kelam. Pesan tersebut mengungkapkan sesuatu yang terkait dengan masa lalunya yang gelap, sesuatu yang mungkin sudah lama ia sembunyikan."Sialan," bisiknya pelan, merasa dunianya hancur berkeping-keping. Rafan mencoba untuk menahan gelombang emosi yang melanda dirinya.Rafan merasa sial dengan nasibnya yang tampaknya tak pernah berpihak padanya untuk meraih kebahagiaan. Seiring berjalannya waktu, setiap langkahnya terasa seperti langkah menuju kegelapan yang tak berujung. Entah itu karena ia kurang bersyukur akan apa yang dimilikinya, atau mungkin kenyataan hidup yang begitu keras bagiannya. Rentetan kejadian yang terus menghampirinya membuatnya merasa sebagai manusia yang paling tertimpa sial di dunia ini.Mengingat masa lalunya, Rafan sering kali terjebak dalam siklus pikiran negatif. Ia merenung tentang semua kesalahannya, semua
"Masa lalu apa? Tidak ada masa lalu yang belum selesai. Selain licik apa kau juga punya bakat mengarang cerita? Jangan terlalu cepat menyimpulkan sesuatu jika kau sendiri tidak tahu duduk permasalahannya.""Kalau begitu jelaskan pada kami, Rafan! Kalau kau merasa tahu duduk permasalahnya, jelaskan!" sahut Pak Jo. Rafan menghela napas panjang. Ia merasa seperti sedang berada di ruang persidangan dan dijadikan tersangka satu-satunya tanpa adanya pengacara. "Ayah, aku tidak tahu dan aku juga tidak ingin mempermasalahkan persoalan ini, karena buat aku mungkin itu unsur ketidak sengajaan. Tolonglah, masalah ini jangan dibesar-besarkan. Apalagi aku juga tidak apa-apa, aku hanya terluka sedikit, tidak ada yang berkurang dari tubuhku. Bukankah semua orang berpotensi mengalami kecelakaan? Semua orang punya peluang untuk celaka termasuk aku.""Semua orang memang berpotensi kecelakaan, tapi tidak semua orang yang kecelakaan keluarganya mendapatkan pengancaman." Ucapkan dari Pak Jo membuat Rafa
Yuan yang kini sedang berada di kamar Feli sedang menunggu Dafi tertidur. Baru Yuan sadari bahwa anak kecil yang seringkali berlalu lalang disekitarnya itu nampak lucu ketika matanya hampir terlelap, ia nampak tampan seperti ayahnya. Wajahnya pun sangat mewarisi Danish, Feli hampir tidak kebagian. Entah kenapa sekarang Yuan tak merasakan lagi sakit hati saat mengingat Danish, entah itu karena faktor masalah baru dalam hidupnya atau memang ia sudah benar-benar sembuh dari sakit yang ia rasa. Ah tak jelas sekali rasanya memikirkan itu. Tak penting lagi baginya memikirkan hal-hal yang sudah berlalu. Semua yang terjadi sudah kehendak Tuhan, dan yang ia jalani adalah sebaik-baiknya jalan. Yuan melihat Dafi yang hampir tertidur di sampingnya, matanya terpejam dengan tenang. Wajah kecilnya yang lucu menimbulkan senyum di bibir Yuan. Ia merasakan kehangatan dalam momen tersebut, melihat betapa tenangnya anak kecil itu saat tertidur. Kapan ia akan memilikinya? "Aku harap kau tidak mengikut
[Kenapa tidak kunjung mengirim kekayaanmu padaku? Aku tunggu sepuluh menit lagi, jika belum ada saldo masuk di rekeningku. Itu artinya kau siap bermain denganku]Sebuah pesan masuk membuat Rafan seketika membanting ponselnya. Sudah sangat lama ia tidak semarah ini pada keadaan. Sudah lama darahnya semendidih sekarang. Semua terasa begitu memuakkan dan membuat ia gila dengan keadaan. Semua orang pasti akan merasakan hal yang sama jika berada di posisi Rafan. "Ada apa? Bukankah sudah aku katakan untuk tetap tenang? Semarah apa pun dirimu sekarang, tidak akan merubah keadaan. Yang ada kau hanya akan kehilangan tenaga. Kenapa tidak kau simpan saja tenagamu untuk bertemu dengannya?" Rafan mengusap wajahnya kasar, ia terlampau serius menanggapinya hingga lupa cara mengontrol emosi yang biasanya mudah baginya. Rafan yang sekarang tak ubahnya seperti Danish yang muda tersulut percikan api dan pastinya akan mudah terbakar jika di siram gas sedikit saja. "Lihat ini!" kata Rafan menyerahkan g
Rafan hendak membuka mulutnya untuk kembali menjawab pertanyaan dari Frans. Hanya saja, getaran di ponselnya membuat ia mengalihkan perhatian. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal terpampang di layar. Baginya sekarang tak mengherankan lagi ada banyak nomor yang menghubunginya. Si peneror seringkali mengganti nomornya saat menghubungi. Wajah yang semula biasa saja kini mendadak membuat raut tegang, wajahnya pucat, dan ia mulai di serang panik. "Sial! Frans, aku harus pulang." Hanya kalimat itu yang mampu Rafan keluarkan. Ia tergesa membawa dirinya keluar dari apartemen. Pesan dari peneoror ini membuat ia kembali kalang kabut. Rafan meluncur di jalan dengan kecepatan tinggi, hatinya berdegup kencang. Pemandangan di sekitarnya menjadi blur, hanya fokus pada satu tujuan, pulang. Ketegangan memenuhi udara di dalam mobil saat ia meraba-raba kantong saku, mengeluarkan ponselnya dengan gemetar. Layar ponsel terangkat menampilkan foto ancaman yang menakutkan. Rafan merasa napasnya se
"Mas, kau pulang?" Satu pertanyaan ringkas ia dengar, suara yang serak, lembut, dan halus itu membuat sakit di kepalanya seketika hilang, tapi hanya untuk beberapa detik saja. Ia berpikir ini hanya halusinasinya semata. Namun, sekali lagi semesta menegaskan bahwa apa yang ia dengar tadi bukanlah sebuah ilusi. Tapi memang ada sesuatu yang hidup di dalam kamarnya, di atas ranjang lebih tepatnya. Hal itu ia yakini setelah sepanjang punggungnya merasakan pelukan hangat dan juga desakan tubuh yang semakin mendekat. Semakin lama semakin mendekat dan seperti tengah memaksa untuk ia dekap. "Kenapa kau diam saja? Peluk aku supaya aku kembali terlelap. Kau tahu aku susah tidur lagi jika ada yang membangunkan. Ini belum pagi, kan?" Yuan meraba-raba mencari tangan Rafan. Setelah mendapatkan tangan itu, segera ia lingkarkan ke pinggang. Sedikit aneh saat hidung Yuan tertempel di dada bidang Rafan. Keningnya sedikit mengernyit lantaran bau alkohol yang cukup menyengat. Ia sampai sedikit ter