 เข้าสู่ระบบ
เข้าสู่ระบบ“Giselle.” panggil Sofia.
Sofia memang sengaja menunggu kedatangan Giselle di depan teras rumah sahabatnya. Semalam, setelah dari rumah sakit, Sofia menyempatkan diri untuk menengok Giselle di rumah sahabatnya. Tetapi sahabatnya itu tak kunjung pulang. Pagi ini, Sofia dikejutkan dengan kepulangan Giselle yang diantar oleh sebuah mobil mewah. “Semalam aku sengaja ke rumahmu. Tetapi ku lihat kau tidak pulang sama sekali, lampu di rumahmu masih tidak menyala. Giselle, ada apa denganmu? Apa ada suatu hal yang buruk terjadi padamu?” tanya Sofia sambil melirik mobil mewah yang mulai pergi menjauh. Giselle tersenyum kecil. Ia menggeleng sambil membuka pintu rumahnya. “Tidak terjadi hal buruk padaku, Sofia. Aku baik-baik saja, semalam memang ada kendala, untungnya ada orang baik yang menolongku.” Jawab Giselle, ia menjelaskan sambil masuk ke dalam rumah minimalisnya. “Memang kejadian apa yang menimpa padamu?” tanya Sofia penasaran. “Aku mengantarkan minuman sesuai dengan ruangan yang kau beritahukan padaku. Karena aku yang tak terbiasa, minuman yang hendak ku sajikan akhirnya tumpah mengenai baju salah satu pria yang ada disana,” ucap Giselle, ia mengambil jeda satu tarikan nafas saat mengingat kejadian tak mengenakkan semalam. Kemudian Giselle melanjutkan, “Mereka marah, lalu memintaku untuk menghabiskan satu botol alkohol. Jika aku tidak mau menuruti permintaan mereka maka, aku harus membuka kemeja dan menari di depan mereka semua.” Terhenyak, mata Sofia melebar mendengar cerita dari Giselle. “Separah itu, astaga.” Sofia membekap mulutnya sendiri terkejut. “Ya, begitulah, yang penting aku baik-baik saja hingga saat ini. Tapi ….” Giselle menjeda ujarannya, ia berganti menatap lekat pada Sofia. Ditatap sedemikian oleh Giselle. Entah kenapa Sofia menjadi salah tingkah, dalam lubuk hati Sofia ada kecemasan namun, dia tak bisa mengatakan secara gamblang. “Tapi kenapa?” sambung Sofia menuntun, ingin mendengar apa yang akan dikatakan oleh Giselle selanjutnya. “Aku harus berhutang budi pada pria yang tak ku kenal sama sekali. Aku tidak tahu harus bagaimana membalas hutang baik ini. Dan lagi ….” tubuh Giselle tampak lesu, “Aku baru sadar jika semalam aku berbohong pada Marley. Gimana kalau Marley dengar aku datang ke klub, dia pasti akan kecewa.” Sofia diam, pandangannya menatap ke arah depan. Walau tatapan itu hanya kekosongan belaka. “Marley tidak akan tahu, lagi pula kau masih baik-baik saja!” jawab Sofia terdengar ketus. Giselle menyipitkan mata mendengar nada bicara Sofia yang semula khawatir berubah tak bersahabat. Giselle tahu jika selama ini Sofia tak begitu menyukai Marley. Entahlah, Sofia mengatakan jika Marley bukan sosok lelaki yang baik. Tak jarang juga Sofia memperingati agar dirinya tidak terlalu terlena pada kebaikan Marley. Drt, drt, drt. Getar ponsel Giselle membuyarkan lamunannya, ia menatap ponsel miliknya lalu melihat nama ‘Marley yang tertera di sana. “Siapa?” Sofia tetap bertanya walau dia sudah melihat nama Marley terpampang jelas di layar ponsel Giselle. “Marley. Aku akan berbicara padanya sebentar.” ucap Giselle, kemudian menggeser tombol hijau lalu menempelkan benda pintar itu pada daun telinganya. [“Sayang, sedang apa?”] suara lembut terdengar dari seberang sana. Giselle memperlihatkan senyum manisnya. Entah kenapa ia selalu merasa tenang jika mendengar suara Marley. Sebuah perhatian yang tak pernah ia dapatkan selama hidupnya. Perlu diketahui, Ibu Giselle telah lama meninggal karena penyakit yang menggerogoti. Sedangkan ayah Giselle telah menikah kembali, seorang ayah yang tidak pernah bertanggung jawab mengenai kehidupan putrinya. “A-aku hanya diam di rumah saja.” [“Aku telah memesan makanan untuk diantar ke rumahmu. Mungkin lima belas lagi akan sampai.”] Ya! Kekasihnya itu selalu memperhatikan walau pada hal kecil sekali pun. “Marley, tidak perlu seperti itu. Aku bisa masak.” rengek Giselle yang selalu merasa tidak enak hati. Walaupun hubungan mereka sudah tertalin begitu lama. [“Biar kamu tidak terlalu lelah, sayang. Hari ini bekerja seperti biasa kan?”] tanya Marley. “Mungkin aku akan meminta izin lebih dulu.” Hembusan nafas Marley terdengar kasar sebab cemas. [“Sakit?”] “Tidak, hanya lelah saja.” [“Perlu aku temani?”] “Tidak perlu, aku mengerti jika kamu sedang sibuk saat ini.” dalih Giselle melarang. Ia masih ragu untuk bertemu dengan Marley saat ini. Apa lagi ingatkan tentang semalam masih belum menghilang sepenuhnya dari benaknya. Lagi pula, Giselle juga masih pusing akibat sisa alkohol semalam, jika bertemu Marley hanya akan merasa bersalah. [“Aku memang sedang di rumah Ayahku saat ini. Aku telah memberitahukan niatku untuk segera bertunangan denganmu. Besok malam, aku akan menjemputmu, kita makan malam bersama ayah.”] Giselle diam, dia menggigit bibir bawah. Ia memang ingin sekali menikah dengan Marley. Tetapi bertemu dengan keluarga Marley entah kenapa rasanya masih terdengar menegangkan. Bagaimana jika keluarga Marley tak setuju dengan hubungan mereka. Apa lagi, Giselle bukan berasal dari keluarga terpandang. Ayah Giselle bahkan menikah lagi, sekarang jadi gila judi. Giselle memiliki ketakutan sendiri. [“Sayang, kamu masih ada disana?”] tanya Marley sebab tak mendapatkan jawaban sama sekali dari Giselle. “Ya,” lirih Giselle menjawab. [“Tenang saja, ayah orang yang baik. Ayah tidak pernah memandang kasta seseorang. Jangan terlalu memikirkannya.”] tenangkan Marley agar kekasihnya itu tak terlalu banyak berpikir dan bisa membuat gadis itu jatuh sakit. “Aku hanya—” “Boy!” Terkesiap, suara panggilan di seberang sana … entah kenapa seperti suara pria yang menyelamatkan hidupnya semalam. Giselle terhenyak beberapa saat, terjatuh dalam lamunan. [“Sayang, ayah telah memanggilku. Ada bisnis yang harus aku bicarakan dengannya. Jangan lupa menghabiskan makanan yang telah ku pesan. Aku tutup teleponnya.”] pamit Marley. Giselle tersadar lagi saat mendengar suara Marley. Dia memegang ponsel dengan erat saat panggilan di antara mereka telah terputus. Sejenak, Giselle memikirkan. ‘Ah, mungkin hanya perasaanku saja. Ku lihat, pria tadi terlalu muda jika menjadi ayah Marley. Ya, mungkin hanya halusinasiku saja yang merasa tidak enak berhutang budi,’ batin Giselle menyimpulkan. “Kenapa?” tanya Sofia. Giselle nyaris saja melupakan Sofia yang masih di rumahnya. “Marley ingin membawaku bertemu dengan ayahnya besok malam,” ujar Giselle, ia memang tidak pernah menyembunyikan apa pun dari Sofia. Raut wajah Sofia kian tertekan, ada tatapan yang sulit di artikan namun tatapan cemasnya lebih dominan. “Giselle, kau yakin?” “Apa?” “Bertunangan dengan Marley.” Ia diam sejenak, menatap Sofia memberi pengertian, “Kamu masih belum bisa menerima Marley?” Sofia tampak berpikir, ekspresinya berubah masam. “Entahlah, entah kenapa firasatku selalu merasa tidak baik tentang pacarmu. Aku hanya merasa dia tidak cukup baik untuk berada di sisimu.” Sofia mengatakan ketidaknyamanan di dalam hatinya. “Kurang apa?” tanya Giselle menelisik. Sofia tak memiliki jawaban tepat untuk diberikan pada Giselle. Marley memang sangat perhatian pada Giselle. Lelaki itu memang tidak pernah terlihat cacat dalam tingkah laku serta perlakuannya terhadap Giselle. “Aku hanya takut dia mengecewakanmu di masa depan.” lontar Sofia, hanya kalimat tersebut yang bisa dia ucapkan pada Giselle Giselle tersenyum kecil. Ia pikir, mungkin karena perbedaan status sosial diantaranya dengan Marley. Membuat Sofia takut ia tak bisa beradaptasi dengan kehidupan Marley di masa mendatang. Giselle memahami tentang kecemasan Sofia. Bagaimana juga, jika dipikir-pikir, seperti yang dipikirkan olehnya saat mendengar Marley akan membawanya menemui ayahnya. Giselle memiliki ketakutan sendiri, begitu juga dengan Sofia. “Tenang saja, aku yakin bisa menjaga diri.”
Malam telah datang. Di luar sana, bulir-bulir hujan membasahi jalanan, angin bertiup cukup kencang sementara kilatan petir sesekali menyambar, menorehkan cahaya di langit yang menghitam. Udara malam itu terasa semakin dingin dari biasanya, membawa aroma tanah basah yang samar tercium dari balik kaca jendela.Dan disanalah Giselle berada saat ini, duduk di sebuah restoran ternama dengan papan nama berlogo elegan di depan pintunya. Ia duduk di samping Marley, menanti kedatangan ayah kekasihnya.“Gugup, hmm?” goda Marley sambil mencubit gemas pipi Giselle yang padat. “Wajahmu sangat pucat, sayang.” Ia mengedipkan sebelah mata dengan jahil. Persis saat menatap Giselle yang tak berhenti duduk gelisah sambil menggenggam kedua tangannya sendiri sejak datang. “Jangan menggodaku terus-menerus, Marley. Perkenalan keluarga membuatku gugup, itu hal yang lumrah,” gumamnya pelan membela diriMarley terkekeh pelan, lalu semakin bersuara ketika melihat bibir Giselle yang mengerucut, ditambah pipi
“Giselle.” panggil Sofia. Sofia memang sengaja menunggu kedatangan Giselle di depan teras rumah sahabatnya. Semalam, setelah dari rumah sakit, Sofia menyempatkan diri untuk menengok Giselle di rumah sahabatnya. Tetapi sahabatnya itu tak kunjung pulang. Pagi ini, Sofia dikejutkan dengan kepulangan Giselle yang diantar oleh sebuah mobil mewah. “Semalam aku sengaja ke rumahmu. Tetapi ku lihat kau tidak pulang sama sekali, lampu di rumahmu masih tidak menyala. Giselle, ada apa denganmu? Apa ada suatu hal yang buruk terjadi padamu?” tanya Sofia sambil melirik mobil mewah yang mulai pergi menjauh. Giselle tersenyum kecil. Ia menggeleng sambil membuka pintu rumahnya.“Tidak terjadi hal buruk padaku, Sofia. Aku baik-baik saja, semalam memang ada kendala, untungnya ada orang baik yang menolongku.” Jawab Giselle, ia menjelaskan sambil masuk ke dalam rumah minimalisnya. “Memang kejadian apa yang menimpa padamu?” tanya Sofia penasaran. “Aku mengantarkan minuman sesuai dengan ruangan yang ka
Keesokan harinya, Giselle duduk di meja makan. Sepotong roti dengan susu hangat telah tersedia di meja makan. Di depannya duduk Arnon yang sedang menikmati secangkir kopi yang menyeruak kan aroma khas. Giselle tak berani bicara, dia hanya diam sembari menundukkan kepala dalam-dalam. Tak ada juga obrolan di antara mereka. Ia tak cukup berani membuka topik obrolan lebih dulu. “Tuan.” Noel mendekat, berdiri di sisi Arnon saat menerima panggilan dari Tuannya pagi ini. Dia melirik pada Giselle sebentar, lalu kembali fokus pada Arnon. “Atur satu sopir untuk mengantarnya pulang.”Noel mengangguk, mulut yang terbuka ingin bicara urung saat Giselle lebih dulu menyambar berbicara. “Tuan,” panggil Giselle memberanikan diri. Arnon mengangkat dagu, tapi mulutnya tetap terkatup rapat. Giselle mengusap belakang lehernya canggung, “Ehm … saya ingin mengatakan terima kasih karena Anda telah menolong saya.”Sudut alis Arnon yang hitam tebal tertarik ke atas. “Terima kasih?” ulang Arnon. Sebua
Dunia malam yang penuh dengan aksi l!ar. Mungkin, bagi manusia yang tak pernah bersinggungan dengan gemerlapnya hiburan malam, mereka akan mengatakan tempat itu kotor, kejam dan tak berperasaan. Tetapi para orang kaya, mereka mengatakan tempat itu merupakan kebebasan dalam mendeskripsikan kesenangan. “Imbalan apa yang bisa kudapatkan dari menyelamatkanmu. Hm?”“Apa pun.”Ya! Mungkin Giselle sudah tidak waras hingga berani memberikan janji walau tak diucapkan secara gamblang. Gadis itu hanya ketakutan, minuman alkohol yang memabukkan juga membuatnya tak bisa berpikir jernih. Giselle hanya ingin lolos dari mereka semua yang menargetkannya. ***Brugh! Secara singkat Giselle telah di bopong oleh Arnon ke kediaman Theodore. Pria itu melempar tubuh Giselle ke atas ranjang. Menatap Giselle yang seolah tak nyaman dengan tubuhnya sendiri. Giselle menggeliat, kemeja yang dipakai oleh gadis itu basah sisa air alkohol yang tumpah, hingga mencetak bongkahan padat dadanya yang terlihat matan
[“Giselle, aku mohon gantikan aku untuk bekerja malam ini. Kalau tidak, aku harus membayar denda kepada mereka karena telah melanggar kontrak yang telah disepakati. Di Klub Magister, ruang A02 VIP, kau hanya perlu menemani tamu minum sebentar. Setelah itu kau bisa pulang.”] Giselle menghela nafas, suara Sofia yang diiringi nada panik dan memohon masih terngiang di atas kepalanya. Permintaan itu terus menghantui sejak sore hari. Ia sudah menolak berkali-kali, mengatakan kepada Sofia kalau ia takkan mampu menggantikan bekerja. Tempat itu tak terlalu aman baginya. Seumur hidup, Giselle belum pernah menginjakkan kaki di klub.Tempat hiburan yang penuh pria hidung belang serta aroma alkohol yang selama ini hanya di dengar dari cerita orang. [“Kau tidak akan menolak kan? Ibuku sakit parah, aku membutuhkan gaji malam ini untuk biaya pengobatan jantung ibuku. Giselle, kalau sakit ibuku tidak kumat tiba-tiba, aku tak mungkin merepotkanmu. Aku janji separuh upahku akan menjadi milikmu.”]L








