Pagi itu, dunia kembali bicara tentang Nayla Moretti. Bukan karena pakaiannya. Bukan pula karena klien barunya. Namun, karena sosok yang berjalan di sebelahnya.
Damian Bellucci.Pria yang sejak lama dikenal publik sebagai ‘kakak pelindung’ Nayla. Sejak dia masih menjadi stylist pemula yang bekerja dari balik layar hingga kini namanya bergema ke mana-mana, selain Adrian, Damian memang selalu ada. Diam, tapi nyata.Ketika foto mereka di lobby hotel tersebar, internet langsung meledak. Tak ada sentuhan di antara mereka, pun wajah mereka tanpa senyuman. Namun, energi keduanya cukup untuk membuat dunia maya berguncang.Foto itu hanya satu frame. Damian berdiri setengah langkah di belakang Nayla. Sosoknya tinggi, gelap, dan nyaris seperti bayangan yang selalu membuntuti. Matanya tajam, rahangnya tegas, dan tubuhnya seperti sedang bersiaga, seolah dia akan mematahkan rahang siapa pun yang berani menyentuh perempuan di depannya.Nayla menatap fotGadis yang kini muncul di layar tampak lebih polos dari sekadar kata polos. Polosnya bukan dalam pengertian naif semata. Namun, seperti selembar kertas yang belum sempat diisi dan belum sempat memilih warna hidupnya sendiri.Dia belum lulus sekolah menengah atas. Belum genap tujuh belas tahun. Belum cukup umur untuk memahami perbedaan kenikmatan dan kejahatan. Belum benar-benar paham makna percintaan. Belum cukup pintar untuk menjadi pusat dari rekaman sehina itu.Dan kini, di layar yang menyala dengan cahayanya yang kejam, tubuhnya terpampang tanpa penutup. Kulitnya, sorot matanya, bahkan napasnya terekam dengan terlalu jelas. Semua yang menyaksikan pastinya tahu kalau ini bukan lagi sekadar skandal. Ini adalah bentuk lain dari sebuah kejahatan.“Shandy Liana, putri kandung Saudara Farraz. Terhitung masih di
Adrian bukan pria yang kali ini akan Damian bunuh. Sama sekali bukan. Namun, melihat bagaimana gerak-gerik Damian, sekujur urat seperti menegang seolah dirinya yang akan menjadi korban.Kedua kakinya melangkah lebih dekat ke arah meja. Dengan sebelah tangan yang bertumpu pada kursi, Adrian menajamkan pandangan. Sorot matanya berubah saat melihat folder itu. Dia masih mengingatnya. Masih ingat bagaimana folder itu pernah disebut Damian sebagai satu senjata yang akan mengakhiri semuanya dengan sekali sayat.Tanpa ragu, Damian mengklik ikon merah itu. Folder terbuka serupa menampakkan isi peti kutukan. Di dalamnya, ada satu paket berkas. Tak pernah disentuh, tak pernah dibagikan. Disimpan jauh dari sorotan. Dibiarkan tidur sampai waktunya tepat.Begitu video muncul di layar, Ad
“Tentu saja,” ucap Adrian tiba-tiba..Damian hanya menaikkan sebelah alis. “Apa maksudmu?”Adrian menatap Damian tanpa langsung menjawab. Matanya menelisik, seolah mencari celah kemanusiaan di balik sorot yang terlalu iblis untuk disebut manusia biasa.Dua detik lantas terlewat. Hening merambat, lalu Adrian akhirnya bersandar ke kursi dengan gerakan lambat. Napasnya berembus panjang seperti seseorang yang baru saja menemukan kesimpulan.“Aku bilang, tentu saja,” ucap Adian kemudian. “Tentu saja kamu begitu. Aku hampir lupa kalau kamu bahkan pernah mengalahkan beberapa petinggi di beberapa negara. Jadi, tentu saja kamu masih punya sesuatu untuk ikut menghabisi pengacara dari pria yang akan terus kamu habisi.”Damian tersenyum
Nathan menghilang. Tak ada kabar, tak ada unggahan. Bahkan, kini, dia tak hadir di ruang sidang. Kursinya kosong, seperti bentuk pengakuan diam-diam atas semua yang sudah terjadi. Dunia mencari, media berspekulasi, tapi Nathan memilih sunyi.Mata-mata wartawan berdiri di luar pagar, sementara kamera-kamera diarahkan ke pintu masuk seperti senjata yang siap ditembakkan. Namun, ruang sidang tetap hening. Tertutup rapat, jauh dari sorotan publik.Nayla duduk di sisi kiri ruang sidang. Wajahnya tenang, seperti sudah tahu siapa yang akan tenggelam. Di sampingnya, Hartono berdiri dengan postur tegap ala seseorang yang paham arah dan medan. Satu tangannya menyentuh meja, satu lagi memegang berkas.Sementara itu, di seberang, Farraz tampak tidak terguncang. Setelan armaninya licin,
Udara luar masih membawa sisa embun. Tidak ada suara apapun selain suara langkah yang menginjak kerikil. Damian berhenti di bawah pohon zaitun dengan tangan dimasukkan santai ke saku celana. Begitu kakinya berhenti, dia lantas berbalik menatap Adrian.Adrian membalas tatapannya. Lama. Menimbang."Berani juga kamu masuk ke kamarnya," ucap Adrian pelan, tapi penuh amarah yang terkontrol. "Meski ini rumahmu, kamu tentu tahu batasannya."Damian tidak langsung menjawab. Hanya memberi senyum tipis yang mengintip dari sudut bibirnya."Aku benci mengatakan ini, tapi, okay, maafkan aku, Adrian," ucap Damian akhirnya.Hening sejenak.
“Apa yang kamu lakukan di kamarnya?” tanya Adrian tanpa basa-basi.Damian terkekeh pelan. “Sayangnya, aku tidak melakukan apa-apa,” jawabnya sambil menepuk bahu Adrian perlahan. “Padahal aku ingin sekali memberikan dia... kesenangan.”Adrian menyipitkan mata. “Apa maksudmu?”Sebelum Damian sempat menjawab lagi, suara Nayla terdengar dari dalam kamar. Jernih, dingin, dan tegas tak terbantah.“Stop membuat keadaan menjadi semakin keruh, Damian.”Damian berhenti di ambang pintu, lalu menoleh sedikit ke arah Nayla. Sudut bibirnya melengkung sedikit, tapi entah apa maksudnya. Detik selanjutnya, dia kembali berjalan meninggalkan sahabatnya yang masih menuntut penjelasan.Nayla lalu menatap Adrian. Suaranya lebih tenang saat bicara kepadanya, “Dia hanya mengantarkan sarapan.”Damian tidak membantah, tidak juga mengiyakan. Dia hanya duduk di ruang tengah sambil masih memperhatikan kakak beradik yang masih tertangkap oleh jangkauan matanya.“Kamu bangun pagi untuk menyiapkan dia sarapan?” Adri