-Adrian:-[Damian, di mana kamu?]Pesan itu muncul tak lama setelah Nayla kembali ke kamarnya. Belum sampai Damian mengetikkan pesan balasan, Adrian sudah terlebih dahulu menyambungkan panggilan suara.“Di mana kamu? Aku di rumahmu.”Damian mengangkat alisnya, lalu beranjak ke jendela dapur untuk menyalakan rokok. “Dan kamu masuk ke rumah seseorang tanpa izin?” Nada suaranya sengaja dibuat sedikit jenaka.“Bukan waktunya bercanda, Damian.” Suara Adrian terdengar gelisah. “Kamu di mana?”“Ada apa?” sahut Damian pendek. “Kalau kamu bertanya hanya untuk memeriksa apakah aku memata-matai adikmu, maka iya. Aku ada di dekatnya. Dan dia baik-baik saja.”“Aku bukan sedang ingin menjadi posesif, Damian.” Adrian terdengar menahan napas. “Ada yang perlu kita bicarakan. Ini tentang Nathan.”Damian tersenyum tipis. Dia tahu betul bagaimana Adrian. Cepat atau lambat, sahabatnya itu memang pasti akan mencium kecurigaan. Adrian nyaris sama sepertinya, seorang pengamat yang hebat.“Ada apa dengan Nath
Malam itu, Damian sama sekali tidak menyentuh pintu kamar Nayla. Tak sekalipun dia mengganggu sunyi yang melingkupi ruangan tempat wanita itu berlindung dari dunia. Dia berdiri di depan jendela ruang tengah, gelas kosong di tangannya, matanya tajam menatap kegelapan di balik tirai tipis.Tak ada satu pun dari gerakan Nathan yang luput dari pantauannya. Damian sudah tahu siapa orang-orang yang sekarang sedang mondar-mandir di persimpangan jalan, nomor-nomor yang dihubungi Nathan, bahkan kamera mana yang sengaja Nathan rusak demi membuat rencananya berlangsung tanpa jejak. Namun, semua itu dibiarkannya terjadi.Dengan satu perintah ke Andy, Damian memberi izin untuk membiarkan Nathan merasa unggul. Dia justru ingin Nathan merasa berhasil. Membiarkan musuh merayakan kemenangan semu, sebelum akhirnya dihancurkan tepat di titik tertingginya.Memasuki dini hari, telepon Damian bergetar pelan di atas meja. Dengan gerakan lambat, dia mengangkatnya tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela.
“Aku akan menunggu di luar, Amore.”Tak ada reaksi. Tak ada gerakan yang menunjukkan keinginan untuk bicara. Nayla hanya membalikkan badan, lalu berjalan ke arah koridor kamar.Nayla tidak menolak, tapi juga tidak setuju. Membiarkan Damian tetap ada di atap yang sama dengannya bukan berarti dia benar-benar memperbolehkan, melainkan Nayla hanya tak punya tenaga untuk sekadar bicara. Keputusannya lahir bukan karena mengizinkan, tapi dari kelelahan yang sudah membatu.“Kalau kamu butuh sesuatu, aku di sini,” ucap Damian lagi.Untuk kesekian kalinya, Nayla tidak membuka mulutnya. Kedua rungu Damian hanya dapat mendengar suara pintu yang terbuka. Tak lama, tubuh Nayla mulai masuk ke dalam gelap. Dilihat dari ayunan tangannya, Nayla sudah berusaha menutup pintu kamarnya kembali rapat-rapat. Namun, energinya bahkan tidak cukup kuat. Kiranya dia juga mengetahui kalau pintu itu masih bercelah beberapa senti, tapi Nayla sudah terlalu enggan untuk peduli dan membenahi.Dari luar, Damian masih bi
Nayla berdiri menantang pria yang tingginya cukup jauh di atasnya. Dia tahu betul, selama ini, Damian pasti sudah sering berdiri di luar jendela ketika malam datang. Menyimak denyut lampu. Menghitung langkah. Merekam suara napas. Mengintai dalam diam.Kini, hari ini, di hari pertama dia resmi bebas dari ikatan pernikahan, Damian tak lagi berdiri di luar. Dia masuk dengan cara dan waktu yang dia pilih sendiri. Terang-terangan, seperti seseorang yang memang selalu merasa punya hak.“Amore.”Damian berucap selirih bisikan. Kali ini, tampak sekali kalau setiap langkahnya bukan datang untuk menerkam. Begitu dia berdiri tepat di hadapan Nayla, wajahnya langsung menunduk.“Aku tahu kamu butuh sendiri,” bisik Damian. “Tapi aku tidak bisa membi
Rumah itu sunyi. Sunyi yang sengaja dipilih. Bukan karena kesepian, tapi karena Nayla memang membutuhkannya.Adrian telah kembali ke rumahnya sendiri setelah sempat makan malam bersama, setelah memastikan Nayla baik-baik saja. Carina, meski sempat menemaninya, memutuskan untuk pulang ke apartemen untuk mengurus pekerjaan yang sempat tertunda. Dan urusan hukum dengan Hartono pun sudah rampung. Tidak ada lagi yang perlu dia tanda tangani. Tidak ada lagi dokumen yang harus dibaca atau didebatkan.Malam ini, Nayla hanya butuh diam.Dia melepas sepatunya perlahan. Menaruh tas di atas meja kecil dekat pintu, lalu mengusap tengkuknya yang pegal. Isi kepalanya masih asing oleh fakta bahwa dirinya telah resmi menjadi wanita bebas. Kosong, tapi tidak hampa. Gelap, tapi bukan muram.
Gadis yang kini muncul di layar tampak lebih polos dari sekadar kata polos. Polosnya bukan dalam pengertian naif semata. Namun, seperti selembar kertas yang belum sempat diisi dan belum sempat memilih warna hidupnya sendiri.Dia belum lulus sekolah menengah atas. Belum genap tujuh belas tahun. Belum cukup umur untuk memahami perbedaan kenikmatan dan kejahatan. Belum benar-benar paham makna percintaan. Belum cukup pintar untuk menjadi pusat dari rekaman sehina itu.Dan kini, di layar yang menyala dengan cahayanya yang kejam, tubuhnya terpampang tanpa penutup. Kulitnya, sorot matanya, bahkan napasnya terekam dengan terlalu jelas. Semua yang menyaksikan pastinya tahu kalau ini bukan lagi sekadar skandal. Ini adalah bentuk lain dari sebuah kejahatan.“Shandy Liana, putri kandung Saudara Farraz. Terhitung masih di