"Fan, jangan, nanti Aleta bangun!" Alya masih berusaha menolak saat Arfan terus menyentuhnya."Enggak," bantah Arfan dengan suara parau."Bukannya udah dikasih sama Meira?"Mendengar itu, Arfan langsung membalik tubuh Alya yang sebelumnya menghadap ke arah Aleta sehingga kini menghadapnya. Lelaki itu menatap mata istrinya dalam-dalam."Apa kamu pikir aku ... seserakah itu?"Alya mengedikkan bahu sembari tersenyum sinis. Api cemburu membuat pikirannya kacau. "Meira istrimu.""Kalau kamu ingin aku enggak nyentuh Meira, aku pastiin enggak akan nyentuh dia, Al."Alya menatap kedua bola mata suaminya. Terlihat Arfan sungguh-sungguh mengatakan itu. Jika Alya menuruti egonya, tentu ia ingin melarang Arfan menyentuh Meira. Hanya saja, bagaimanapun nyerinya hati Alya, kini Meira juga istri Arfan. Dia bukan lagi wanita satu-satunya untuk Arfan."Kamu mau itu?" tanya Arfan saat melihat Alya hanya terdiam menatapnya."Aku ... ingin kamu jadi suami yang baik.""Termasuk pada Meira?"Alya tersenyum
Aroma olahan seafood menguar memenuhi indra penciuman begitu Alya memasuki dapur. Wanita bermata sayu itu tersenyum simpul. Ia ingat betul kalau dulu dirinya dan Arfan memang penyuka makanan ini dan dapur mereka sering dipenuhi aroma ini. Hanya saja, dulu Alya yang memasaknya sendiri. Bukan ART seperti sekarang ini."Eh, Ibu. Selamat pagi," sapa ART dengan rambut dicepol asal tersebut."Pagi, Mbak," sapa Alya. "Masak apa?" tanya Alya basa-basi meski ia bisa melihat ART tersebut sedang memasak udang."Udang, Bu. Tapi Pak Arfan minta dimasakin seafood buat sarapan.""Oh.""Padahal selama ini, Pak Arfan hampir enggak pernah minta dimasakin seafood, loh, Bu. Apa ini makanan kesukaan Ibu?"Alya jadi serba salah mau menjawab apa. Karena ia yakin kalau ART itu pasti punya pikiran buruk terhadap dirinya. Apalagi ART yang belum Alya tahu namanya itu tidak mengetahui kisahnya dengan Arfan dan Meira. Pasti yang ada dalam pikiran ART itu, Alya adalah orang ketiga di antara Arfan dan Meira.ART te
Suasana di ruang makan begitu hening. Hanya terdengar dentingan sendok beradu dengan piring. Arfan, Meira, dan Alya tak satu pun yang berbicara. Ketiganya merasa canggung dan tidak nyaman. Padahal dulu sebelum kondisi seperti ini, mereka bertiga sering makan bersama dengan asyiknya. Namun, sekarang dunia seperti terbalik untuk ketiganya.Dulu mereka akan bercerita apapun saat makan bersama. Terkadang berkeluh-kesah, bercanda, dan apapun yang sedang ada di kepala mereka. Bahkan Alya tidak pernah memedulikan nasehat beberapa teman tentang kedekatan dirinya dan Arfan dengan Meira.Saat ada yang berkata, "Al, enggak ada pertemanan yang benar-benar tulus antara laki-laki dan perempuan. Salah satunya pasti punya perasaan lebih." Alya selalu membantah itu dengan mengatakan Meira dan Arfan berbeda. Sayangnya, ucapan teman-temannya terbukti. Kini Alya sadar bahwa dulu ia terlalu percaya diri. Ia lupa bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Terlebih hati manusia. Terkadang sekarang se
Getaran ponsel di saku Arfan membuatnya terpaksa melepas tubuh Alya. Dilihatnya layar ponsel yang menyala, ternyata Meira yang menelepon."Meira," ucap Arfan sembari menunjukkan layar ponselnya pada Alya.Alya mengangguk, mempersilakan Arfan mengangkat telepon tersebut. Meski senyum dan wajah Alya terlihat baik-baik saja, tetapi tetap saja jantungnya serasa teremas dengan kuat saat melihat perhatian Arfan harus terbagi dengan Meira."Iya, Mei." "Ya."Cuma tiga kata itu yang terucap dari bibir Arfan. Alya menghela napas sembari menatap wajah Arfan yang kembali mendekatinya."Udah, sana! Kasian Meira."Arfan menatap Alya dengan sendu. Rasanya sungguh ia tidak ingin keluar dari rumah ini untuk menemui Meira. Ia hanya ingin berlama-lama menghabiskan waktu dengan wanita yang teramat dicintainya ini.Saat Arfan hendak kembali merengkuhnya, Arfan langsung mendorong lembut dada Arfan. "Jangan buat Meira marah. Dia istri kamu juga."Akhirnya dengan berat hati Arfan pergi ke rumah Meira.Alya
Kedua orang tua Meira terkejut melihat kedatangan putri semata wayangnya. Mereka yang sedang sarapan sampai menaruh sendok dan garpunya. Apalagi mama Meira, wanita itu sampai berdiri dan berjalan menyambut putrinya."Sudah sarapan, Mei?" tanya wanita yang pagi itu mengenakan blouse berwarna hitam. Meski sebenarnya ia sangat ingin bertanya mengapa putrinya datang sepagi ini, tetapi mama Meira berusaha menahan diri. Ia ingin putrinya sarapan terlebih dahulu baru bertanya-tanya."Udah, Ma." Meira berusaha bersikap tegar. Meski hatinya serasa hendak meledak, menyampaikan semua kesedihannya pada sang mama."Sarapan lagi, ya? Mumpung di sini!" ajak mama Meira.Meira mengangguk lemah. Ia hanya ingin bersama kedua orang tuanya saat ini. Orang-orang yang masih mendukungnya, menyayanginya bagaimanapun kondisinya.Mama Meira kemudian meminta ART mereka untuk mengambilkan piring untuk Meira. Setelahnya wanita itu mengambilkan nasi putih untuk putrinya."Mau lauk apa?" tawar mama Meira."Biar Meir
Alya termenung menatap permukaan kolam renang yang tenang. Pantulan cahayanya berkilauan membuat Alya betah berlama-lama duduk di situ. Alya masih ingat betul, dulu sering sekali ia habisnya waktu bersama Arfan di tempat itu. Bercerita apapun sampai mereka lupa waktu.Sesederhana itu bahagia bagi mereka dulu. Meski kehadiran Alya tidak diterima dengan baik oleh keluarga Arfan.Alya tersenyum miris. Terkadang hidup memang selucu itu. Sekarang di saat seluruh keluarga besar Arfan bisa menerimanya dengan tangan terbuka justru saat ini ia tidak bahagia. Apalagi sebabnya kalau bukan karena dirinya kini harus berbagi cinta.Sudah tiga malam Arfan menginap di rumah Meira. Sebenarnya Alya ingin sekali menghubungi laki-laki itu karena besok jadwal mereka cek ke dokter untuk program bayi tabung. Hanya saja, ia tidak mau mengganggu waktu Arfan bersama Meira.Entah sudah berapa kali Alya mengecek ponselnya untuk melihat apakah ada pesan dari Arfan, tetapi tidak ada aktivitas apapun pada benda di
Kabar kehamilan Meira disambut hangat oleh keluarga besar Arfan dan juga keluarga besar Meira. Mereka mengadakan pesta dalam rangka tasyakuran atas kehamilan yang sudah dinanti lima tahun lamanya. Hal itu tentu membuat Alya ingin menghilang untuk sementara waktu.Alya belum punya nyali untuk menghadapi keluarga besar Arfan dan Meira dengan status istri kedua. Saat menjadi istri satu-satunya Arfan saja Alya tidak dianggap, apalagi saat ini."Fan, boleh enggak besok aku ... di rumah aja?" tanya Alya saat ia dan Arfan selesai makan malam.Dahi Arfan mengernyit. Awalnya ia tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Alya. Namun, sejurus kemudian ia paham.Disingkirkannya piring bekas makan yang ada dihadapannya. Kemudian, diambilnya jemari Alya yang sedang menangkup gelas panjang berisi air putih."Kalau kamu enggak siap, enggak usah datang enggak apa-apa," jawab Arfan dengan lembut. Ia pun masih trauma mengingat peristiwa lima tahun yang lalu saat Alya dituduh mencuri. Ia tidak ingin hal
[Sayang, mau aku bawain makanan apa?] Arfan mengirim pesan tersebut sekaligus pada dua nomor di daftar kontak ponselnya. Nomor Alya dan Meira. Bagaimanapun perasaan Arfan saat ini, ia tidak bisa lagi mengelak untuk tidak memberikan perhatian pada Meira. Sama seperti Alya. Selisih kehamilan Alya dan Meira kurang lebih tiga bulan karena program bayi tabung Alya dan Arfan terhitung cukup lancar. Dua istri hamil bersamaan tentu membuat Arfan harus sering bolak-balik ke rumah kedua istrinya itu. Hanya saja yang membuat Arfan sedikit lega, Meira tak semanja dan semerepotkan dugaannya. Perempuan yang sebelumnya selalu banyak menuntut dan manja itu justru berubah lebih kalem dan tak banyak menuntut. Arfan pikir itu pengaruh bayi yang ada dalam rahim Meira.[Enggak usah, aku udah makan sama Mama.] Meira terlebih dahulu membalas pesan Arfan. Di awal-awal perubahan sikap Meira yang terkesan menghindar, sebagai laki-laki yang bertekad untuk memperbaiki sikap, Arfan cukup tersinggung. Namun, me