"Iya, dong. Kamu kan mantu kesayangan ibu," sahutnya. Ada yang aneh dari sikap ibu, mertuaku itu sama sekali tak menganggap jika ada Ratih di sini.
****
Aku mengajak ibu masuk ke rumah, sambil menenteng beberapa bungkusan kresek.
"Ini tadi aku yang membersihkan, Bu. Mbak Mila tadi gak sempet beres-beres, keburu kerja," celetuk Ratih tiba-tiba.
"Ya bagus, dong! Kamu kan numpang di sini, jadi wajar kalau kamu sekedar bersih-bersih." Tak kusangka ucapan ibu sungguh menohok pas tepat sasaran.
Bukankah mereka baru saja bertemu, tapi mengapa sepertinya ibu begitu tidak menyukai Ratih ya? Harusnya ibu itu menaruh simpati karena melihat kondisi Agus. Aneh!?
***
Ibu benar-benar mengacuhkan Ratih, sedari tadi wanita kesayangan mas Aryo ini tak merespon pertanyaan yang sesekali Ratih ucapkan, bahkan beliau juga tidak mau meminum apa yang sudah Ratih buatkan.
"Mil, ibu haus banget, tolong ambilkan ibu air ya," pintanya padaku.
"Oh, iya, Bu," sahutku.
"Kan sudah kubuatkan, Bu. Apa aku bawa masuk teh dan air yang ada di teras?" Tiba-tiba Ratih menawarkan diri. Ya seperti tidak tahu malu dia pun ikut nimbrung ketika aku dan ibu ngobrol di ruang tengah.
"Maaf ya, Mbak. Aku itu mau ngobrol sama mantuku, kenapa dari tadi kamu nyahut terus sih? Mending kamu temani suamimu yang sedang di kamar. Dia lebih membutuhkanmu bukan aku." Lagi ucapan ibu mematahkan hatiku eh salah Ratih.
Kali ini Ratih tak menyahut, wanita yang memakai rok panjang dan kaos ketat itu bangkit kemudian bergegas ke ruang belakang. Saat melewati diriku yang sedang membawa gelas, terlihat jelas kalau dia sedang menahan amarahnya.
"Ni, Bu. Silakan diminum." Wanita paruh baya itu menerima gelas kaca yang kuberikan padanya.
"Mil ... apapun yang terjadi, kamu jangan ninggalin Aryo ya ... ibu mohon banget sama kamu, untuk lebih bersabar jika suatu saat nanti ada sesuatu yang ... membuatmu ingin pergi meninggalkannya."
Aku bingung harus menjawab apa, dan kenapa tiba-tiba ibu berbicara seperti itu.
"InsyaAllah," jawabku, ya hanya itu yang bisa kuucapkan.
"Aryo kapan pulangnya," lagi ibu bertanya.
"Kalau gak lembur, biasanya sebentar lagi juga sampai."
Panjang umur baru juga diomongin, orangnya sudah muncul. Seperti halnya diriku, mas Aryo juga sangat kaget mendapati ibu ada di rumah.
****
"Mas, kamu beli makanan di warung saja ya, aku belum sempat masak tadi," pintaku pada mas Aryo ketika berada di kamar.
"Ok," jawabnya singkat. "Dek, kamu tanya dulu ibu mau makan apa," imbuhnya. Mataku memandangnya sekilas sebelum beranjak dari kamar. Namun ketika hendak mencapai pintu aku teringat sesuatu.
"Mas, nanti ibu tidur di mana?"
Lelakiku itu tak langsung menjawab, pandangannya entah traveling ke mana untuk sepersekian detik.
"Ibu di kamar sama kamu, nanti aku tidur di sofa depan kamar, beres," katanya sambil menaik-turunkan alisnya. Aku hanya mengangguk lalu keluar kamar.
Biasanya ibu akan tidur di kamar yang di tempati Agus. Walau setelah ibu pulang akan kembali fungsi menjadi tempat penyimpanan barang.
"Ibu, ibu mau makan pakai apa? Maaf tadi aku gak sempat masak," ucapku setelah duduk di sisinya.
"Apa aja, Mil. Eh, gini aja kita makan aja di luar," usulnya.
"Wah boleh juga, kayaknya udah lama deh, kita gak makan di luar, iya kan, Dek," sahut mas Aryo yang baru saja keluar kamar.
"Kita pesan taxi online aja, ya," kata mas Aryo lagi.
"Gak usah, Yo. Nanti aku dibonceng sama Mila, kayak biasanya itu loh Yo," kata ibu menimpali.
****
Aku dan ibu keluar lebih dulu dan sudah bersiap untuk pergi.
"Dek, kamu pergi dulu ya, tiba-tiba perutku mules. Di kedai bakso biasa kan?" kata mas Aryo mendadak.
"Ya udah, cepetan ya ...." Aku pun melajukan sepeda dengan pelan sambil sesekali berbincang dengan ibu.
****
Pesanan sudah datang dan mas Aryo belum juga terlihat batang hidungnya.
"Bu, makan dulu yuk, nanti keburu dingin. Sebentar lagi mas Aryo juga sampai." Aku berusaha menghibur ibu yang kelihatan gusar karena menunggu anaknya yang tak kunjung datang.
"Aryo kemana sih, lama amat? Kamu sudah meneleponnya, Mil?" tanya ibu akhirnya.
"Sudah, Bu, tapi gak diangkat. Mungkin, sedang dalam perjalanan," sahutku berusaha menghiburnya.
Ini memang hampir tak masuk akal, sudah dua jam mas Aryo belum juga sampai. Bahkan perjalanan dari rumah ke sini gak sampai lima belas menit.
Akhirnya aku dan ibu memutuskan untuk pulang dan membungkus bagian mas Aryo. Belum juga berdiri, yang ditunggu-tunggu datang juga. Namun, sayang seribu sayang mas Aryo tak datang sendiri dia membawa serta Agus dan Ratih.
Kekecewaan tak hanya kurasakan, bahkan ibu terlihat lebih dari itu. Ketika mas Aryo membantu Agus duduk, seketika ibu bangkit.
"Ibu, mau kemana?" tanya mas Aryo tanpa beban, seolah apa yang dilakukannya itu wajar-wajar saja.
Entah apa yang dipikirkan ibu, wanita itu kembali duduk tanpa banyak bicara. Aku dan ibu hanya memperhatikan mereka bertiga. Mas Aryo makan bakso yang di campur dengan lontong dengan lahapnya, sementara Ratih sedang menyuapi suaminya.
Melihat semua itu ada sedikit rasa trenyuh di hatiku, Ya Allah ... Bagaimana jika aku berada di posisi mereka? Apa aku yang terlalu buruk dan jahat?
Yang semakin membuatku tercengang, ketika Mas Aryo selesai makan. Dia langsung mengambil alih mangkuk yang dipegang Ratih, menggantikannya menyuapi Agus.
"Mbak Ratih, makan dulu. Biar Agus aku yang nyuapin," pintanya pada Ratih. Wanita itu tersenyum lalu mengangguk.
Sekilas aku melirik ibu yang dari tadi cuma diam memperhatikan. Bahkan sampai detik ini beliau tetap saja diam.
****
"Dek, nanti kamu naik motor sendiri ya? Biar ibu ikut sama aku," kata mas Aryo ketika mereka sudah selesai makan.
"Boleh ya, Mil. Gak pa-pa kan kalau kamu pulang sendiri?" Ibu menyahut. Namun, aku tak mengira kalau dia akan berkata begitu. Sekarang aku benar-benar sendiri. Karena ibu sudah bilang seperti itu, maka dengan terpaksa aku mengiyakan, tak lupa kupersembahkan senyum terbaik untuk ibunya mas Aryo itu.
"Ok, aku duluan ya, Mas, Bu," pamitku pada mereka.
Perasaanku benar-benar kacau. Apa sebenarnya rencana ibu, tadi dia begitu nampak tidak menyukai Ratih. Namun kini beliau malah mau semobil dengannya. Saat pikiran ini melayang kemana-mana, motor yang kukendarai tiba-tiba ngadat dan perlahan mesinnya mati.
Benar dugaanku, bensinnya habis tadi pas berangkat lupa ngecek. Mau tak mau aku mulai menuntun, berharap lekas bertemu dengan penjual bensin.
"Motornya kenapa, Mbak?" Seseorang yang sedang mengendarai motor besar berjalan perlahan di sisiku.
"Kehabisan bensin, Mas," sahutku yang sebenarnya agak takut. Hanya itu saja, pengendara itu kembali melajukan motornya dengan kencang.
"Ya elah ... kirain mau nolong, apa gitu ... cuma nanya doang," gerutuku.
Aku berhenti sejenak, mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Mas Aryo. Namun, sungguh sial, disaat seperti ini ponsel mas Aryo malah gak bisa dihubungi. Arg!
****
Aku masih selonjoran di tepi trotoar ketika sebuah moge mendekati.
"Bukannya ini moge tadi?" batinku.
"Ini, Mbak." Tiba-tiba saja lelaki yang turun dari moge menyerahkan botol air minum kemasan yang berisi bensin.
Dengan sumringah aku menerimanya, sebelum aku mengisikan bensin ke motor, aku berniat membayarnya. Namun lelaki itu sudah kembali naik ke motornya lalu langsung saja kembali melaju.
"Terima kasih, Mas!" teriakku sambil melambaikan tangan. Entah dia dengar atau tidak yang jelas pengendara misterius itu mengangkat satu tangannya.
"Alhamdulillah Ya Allah Engkau masih pertemukan dengan orang-orang yang baik," ucapku bersyukur.
****
"Milaaa ...." Ibu menyambut kedatanganku dengan sebuah senyuman.
"Kok lama sekali, kamu gak pa-pa?" Kembali beliau bertanya.
"Aku gak pa-pa, Bu. Tadi cuma kehabisan bensin," jawabku sambil nyengir, "untung tadi orang baik, mau membelikan juga memberi bensin," imbuhku.
"Memberi?" tanyanya tak percaya. Aku hanya mengangguk, setelah menaruh sepeda ke dalam, aku kembali keluar, mencuci kaki di kran depan.
"Aryo masih belum kembali, setelah sampai di rumah dia langsung mengembalikan mobil bosnya." Ibu menjelaskan walau tanpa kutanya. Kembali aku hanya mengangguk.
Untuk kalian yang ada diluar sana, jadilah manusia yang bijak. Jangan melukai orang lain, jika kamu tak ingin terluka.Terima kasih untuk semua yang sudah membaca cerita ini, semoga bisa diambil hikmahnya. Aamiin Aamiin Aamiin ...***Malam ini aku kembali merenung, memilih berdiri di ambang jendela yang terbuka. Dari sini aku bisa melihat terangnya cahaya bulan purnama. Pikiran ini benar-benar tak tenang semenjak kunjungan mas Aryo ke sini."Lagi mikirin apa?" tanya Mas Bayu yang tiba-tiba sudah memeluk tubuh ini dari belakang. Lelaki itu berbicara tepat di telingaku, seketika membuat bulu romaku berdiri."Aku kepikiran sama dia, Mas. Bagaimana kalau lelaki itu berniat mengambil Lintang dariku?" Aku mengutarakan isi hatiku pada mas Bayu."Kamu gak usah khawatir, Sayang. Percayalah aku akan selalu melindungi kalian berdua." Mas Bayu menjeda kalimatnya, untuk mengecup pipiku sekilas."Bagaimanapun juga Aryo itu ayah kandungnya. Jadi ... Aku mengizinkannya untuk menengok Lintang sebulan
"Maaf, Nak Mila. Sepertinya ada yang harus diluruskan di sini," ucap seseorang dengan suara berat.Aku dan mas Nano sama-sama menoleh ke asal suara. Ada seorang bapak-bapak dengan kopiah khas berwarna putih."Maaf, Bapak ini siapa?" tanya mas Nano."Saya orang yang dimintai tolong oleh nak Aryo. Perkenalkan nama saya Husain," sahutnya sambil mengulurkan tangannya pada mas Nano."Saya Nano, kakaknya Mila. Mari silahkan masuk dulu. Ayo, Mila. Cuma sebentar saja," bujuknya, saat aku menolak ikut masuk ke rumah.****"Sebelumnya, cerai (talak) dalam Islam terbagi dua macam, ya Nak," ucap Pak Husain mengawali obrolan, setelah kami sudah duduk di ruang tamu. Semua menyimak termasuk Aryo dan Ratih."Yang pertama talak Sunni, yaitu talak yang dilakukan sesuai prosedur syariat. Yang kedua talak Bid’i, yaitu talak yang tidak sesuai prosedur syariat." Pak Husain berhenti sejenak, Pria dengan janggut tipisnya itu mengambil napas panjang sebelum kembali menjelaskan."Begini, Nak Aryo. Mentalak ist
Bunyi pintu dibuka kasar membuat kami semua menengok ke asal suara. Di sana sudah ada Mas Aryo yang sedang berdiri di tengah pintu."Mila!" Lelaki itu berseru. Rahangnya mengeras karena sedang menahan amarah.Semua yang berada di sini terdiam untuk sesaat kerena melihat kedatangan mas Aryo yang tiba-tiba. Tak lama kemudian datang istri sirinya, kini mereka sudah berdiri berdampingan. Seperti biasa Ratih akan menggandeng lengan mas Aryo. Seakan ingin menegaskan kalau dia yang berhak atas diri lelaki itu."Mila, apa yang sudah kamu lakukan pada Ratih?!" tanyanya geram, tatapan matanya tepat menghujam manik mataku, seolah diri ini sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal."Apa? Emang apa yang kulakukan padanya?" Jujur aku masih kurang faham dengan maksud pertanyaannya."Kamu boleh tak menyukainya, tapi jangan bersikap seperti preman. Mila, aku ini tetap suamimu, jadi gak usah cemburu sama Ratih! Mengertilah ... aku akan berusaha bersikap adil pada kalian," sahutnya dengan percaya diri
"Kamu ... mau kan, bertahan? Kita coba dulu menyadarkan Aryo," lanjutnya.Demi Allah aku sampai tersedak mendengar kalimat yang keluar dari mulut Ibuku.Setelah batuk akibat tersedak tadi reda, kini aku tengah memandang ibu yang sedang tersenyum."Ibu ... Boleh gak orang hamil dicerai?""Ibu juga kurang faham, Mil. Tunggu ibu punya seorang teman yang mengerti tentang masalah seperti ini, mungkin dia bisa memberikan masukan dan memberi jalan keluar," jawab ibu. Wanita yang masih gesit di usianya yang tak muda lagi itu bangkit."Mau kemana, Bu?""Ambil ponsel. Tunggu ibu akan segera kembali. Jangan keluar kamar dulu, oke?" pesannya sebelum meninggalkan kamarku.Aku hanya tersenyum dan menyatukan jari jempol dan jari telunjuk hingga membentuk huruf O.Kembali aku merenung, apa keputusanku ini sudah tepat?"Ya Allah tolong hamba, tunjukkanlah jalan yang terbaik untukku." Selalu kupanjatkan doa di setiap tarikan napas ini.Banyak yang bilang dengan kita rela dan ikhlas dimadu, balasannya
Setelah aku sampai di sana, akan kupastikan kalau aku tak akan keluar dari sana. Itu rumah suamiku, jadi akan menjadi milikku juga istri satu-satunya mas Aryo."Tunggu kedatanganku, Mila," gumamku. Aku benar-benar gak sabar menunggu nanti malam.***Kedatangan kami disambut oleh Mila. Aku sendiri sedikit terkesan dengan penampilannya, dia nampak berbeda. Wajahnya kelihatan semakin berseri, begitu juga dengan bentuk badannya yang kelihatan sedikit berisi tapi nampak se*si. Seperti ada aura yang sangat baik di dirinya.Tak kusangka mas Aryo langsung menghambur memeluknya. Tentu saja itu membuatku cemburu dan jengkel. Sepertinya jalanku akan lebih mudah, karena Mila sudah melakukan penolakan pada mas Aryo dengan mendorong tubuh suamiku itu, dengan segera aku menggandeng tangannya.Mas Aryo memaksaku untuk mengatakan yang sebenarnya pada Mila, kalau yang mengirim pesan bukanlah dia, tapi aku. Saat seorang laki-laki yang dipanggil mas Nano itu pamit masuk ke dapur untuk menemui ibunya."Ce
Pov Ratih Aku sungguh terkejut bercampur kesal mendengar kabar kalau mas Agus mengalami kecelakaan dan sudah dibawa ke rumah sakit. "Kenapa bisa kecelakaan sih? Kalau sudah begini siapa yang susah? Apa-apa gak bisa hati-hati. Apa tadi kata Pak Polisi? Parah? Oalah Agus! Agus! Belum juga membuat hidupku bahagia kamu wes kena musibah, Gus ... Agus. Apes!" omelku sepanjang aku berkemas beberapa barang yang akan kubawa ke rumah sakit. "Bang, anterin ke rumah sakit," pintaku pada tukang ojek yang standby di pos kamling. "Siapa yang sakit, Mbak?" tanyanya kepo. "Mas Agus kecelakaan," sahutku sambil menerima helm darinya. "Innalilahi, di mana kecelakaannya, Mbak?" Pak ojek malah ngajak ngobrol. "Kurang tahu, Pak. Udah ah! Ayok cepetan!" sungutku. "Iya, iya. Ayo, Mbak. Duh, kasihan si Agus. Mudah-mudahan selamat tidak terjadi apa-apa," Pak ojek berdoa sambil menjalankan motornya. "Terima kasih, Bang. Ini, aku cuma punya duit segitu, Bang. Terima aja ya." Aku tak ped