Pagi ini aku tidak memasak, ataupun melakukan aktivitas lain yang biasa kulakukan. Aku terus berbaring di dalam selimut sambil memeluk Naya."Dek," panggil Mas Nizam membuatku menyingkap selimut dan menatap ke arahnya yang sudah berdiri di depan pintu."Ya, Mas, kenapa?""Coba kamu ke sini dulu," pintanya dengan wajah melas.Aku terpaksa meninggalkan Naya dan posisi nyaman yang hangat ini untuk menghampirinya."Kenapa, Mas?" Kembali aku bertanya sambil membenarkan rambut."Bisa buatkan sarapan dulu, enggak? Hari ini Mas terlalu banyak pekerjaan, jadi sepertinya tidak akan sempat sarapan," pintanya. "Bisa enggak, Dek?"Panggilan "Sayang" yang dahulu selalu Mas Nizam gunakan untukku dan Naya, sepertinya kini sudah hilang. Tidak ada lagi kata itu, bahkan dalam beberapa hari aku memang sudah tidak mendengarnya lagi."Bisa, Mas." Aku berjalan ke arah dapur, lalu melihat persediaan kulkas yang ternyata sudah kosong. Aku lupa kemarin masak banyak dan tidak akan isi lagi karena aku akan beran
Beberapa jam kemudian, kami sampai di Bogor dengan sangat melelahkan, namun aku masih tidak mau mengganggu Nisa lebih dulu."Pak, bisa minta tolong masukkan barang-barang saja ke dalam?" pintaku pada Om Driver."Bisa, Bu. Sebentar!" Pria yang kutaksir baru berusia tiga puluh lima tahun itu keluar dari mobil dan berjalan ke arah garasi. "Mau di simpan di mana, Bu?" tanyanya lagi sambil memegang beberapa tas."Di sana, Pak." Aku sudah izin ke yang punya untuk tinggal di sini meskipun belum tanda tangan, katanya biar aku mencocokkan diri dulu. Kalau nyaman, boleh dilanjut. Kalau tidak, boleh cari rumah yang lain.Segera aku mengeluarkan ponsel dan menghubungi pemilik rumah agar segera ke sini.Benar saja, tidak sampai sepuluh menit, sebuah sepeda motor mendekat ke arah kami."Sudah lama, Bu?" tanyanya ketika melihatku berdiri di depan pintu rumah."Tidak, Bu. Baru saja." Aku segera mendekat ke arahnya, lalu mencium tangannya dengan takjib.MasyaAllah, padahal umurnya sudah lebih dari ena
"Sayang, kalau kamu melewatkan kesempatan begitu saja, Selena." Nisa tiba-tiba mendekat dengan mata yang sembab.Tidak mungkin kalau dia menangis karena melihat keadaanku sekarang, bukan?"Benar, sebagai suami temanmu, saya ingin yang terbaik. Tolong, setuju untuk bekerja sama dengan kami," pinta suaminya lagi dengan niat yang tulus.Aku bahkan bisa merasakan energi kebaikan dari setiap kata yang diucapkannya. Dia benar-benar tulus ingin membantuku. Walau usianya terlihat jauh berbeda denganku, tetapi tingkat kedewasaannya jauh lebih tinggi."Tolong pikirkan hal ini baik-baik, Selena. Bukankah kamu juga menginginkan status yang jelas?" tanya Nisa lagi dan aku hanya bisa mengangguk."Kamu sungguh mau berpisah dengan suamimu atau mau mempertahankan?" tanya suaminya."Ya, saya mau berpisah," ucapku sambil mengepalkan telapak tangan. "Dia sudah jarang salat. Kalau salat saja dia tinggalkan, berarti tidak menutup kemungkinan kalau nanti dia akan meninggalkan aku dan anakku.""Benar, Syaita
Esoknya, aku menyerahkan semua berkas yang diperlukan untuk dibawa ke pengadilan. Kata suami Nisa, paling lambat satu mingguan setelah berkas di setorkan. Aku menurut saja, apalagi semalam temannya yang seorang pengacara itu menelepon.Katanya, aku bahkan tidak perlu mengeluarkan sepeser pun. Kalau ada yang harus dibayar, dia akan membayarnya. Sungguh orang-orang yang baik. Memang hanya orang baik yang pantas berteman dengan orang-orang yang baik pula."Suamiku saja yang pulang, aku masih mau di sini menemani kamu," lirih Nisa ketika melihatku menatap ke arahnya."Ah, maaf, tidak apa-apa kalau kalian masih mau di sini. Kebetulan temanku yang bernama Rania juga akan datang, nanti sekalian aku perkenalkan," ucapku cepat. Ternyata dia sedang penasaran.Kini hanya tinggal aku dan Nisa saja, Naya dan anak-anaknya Nisa ikut sana mertuanya Nisa ke sawah yang lumayan jauh dari sini. Aku tidak mengkhawatirkan Naya, dia sudah berusia lima tahun, karena anak-anak Nisa yang umurnya di bawah saja
"Dek, kamu mau makan apa? Biar Mas masakin!"Aku tidak sadar bagaimana sidang pertama itu berkahir, yang jelas sekarang Mas Nizam malah ada di rumahku yang di Bogor. Padahal, sudah jelas-jelas aku berusaha keras agar dia tidak tahu.Pikiranku waktu mama mertua angkat bicara langsung kosong. Itu adalah tempat umum, tetapi dia berani mengatakan tentang aibku yang bahkan aku sendiri tidak tahu hal ini ada padaku atau tidak.Aku hanya ingat Mas Nizam keberatan dengan perpisahan ini dan mengatakannya kepada Pak Hakim, selebihnya aku tidak ingat betul apa yang terjadi."Sayang, kamu kenapa bengong terus dari tadi?" Mas Nizam menyimpan segelas jus di atas meja, tepat di depanku, tetapi aku masih tidak mau menggubrisnya.Aku bahkan menitipkan Naya pada Nisa agar dia tidak melihat perang dingin antara orang tuanya. Aku tidak mau mentalnya rusak di usia yang masih sangat kecil. Jadi, aku tetap akan berusaha mengembalikan kehidupan membahagiakannya.Alih-alih mengindahkan pertanyaan Mas Nizam, a
Aku berusaha mencerna perkataan Rania satu persatu. Lalu, tiba-tiba aku teringat dengan perkataannya yang tadi. Siapa pengusaha ternama yang tadi membantuku? Tidak mungkin kalau Bos perusahaan saingan tempat Mas Nizam bekerja bukan?Kembali aku berusaha mengingat apa pernah berhubungan dengannya?Aku sungguh merasa heran, bukannya tadi kita sedang berada di ruang sidang, kenapa pria asing tiba-tiba bisa masuk?"Cukup, Rania. Tidakkah kamu tahu kata-kata yang baru saja keluar dari mulutmu itu terlampau kejam?" Mas Nizam bangkit dan melihat ke arah Rania dengan tatapan memelas."Kejam? Kalau mau dibandingkan siapa yang lebih kejam, tentu saja kau, Nizam!" bentak Rania. Kali ini emosinya sungguh tidak bisa dielakkan. Wanita ramah dan lembut ini memang bisa menjadi ganas serta menakutkan kalau sedang marah. Dia juga orang yang tegas dan juga pandai berdebat. Aku selalu mendengar dia berkata, "Enggak debat, enggak seru."Ternyata apa yang dia katakan sebagian benar. Sekarang aku bahkan ba
PoV Nizam"Jangan ikut campur, ini adalah masalah keluarga saya," bentakku geram ketika orang-orang ini selalu saja ikut campur dalam masalahku dan Selena. Padahal, mereka juga tidak tahu masalah yang sebenarnya."Bukan lagi, Selena sudah cerai dari anda sah secara agama sejak anda menikah diam-diam dengan wanita ini," tuding pria ceking itu sambil menunjuk ke arah Siska.Aku begitu marah mendengar dia berkata demikian tentang istriku dan aku sangat tidak menerimanya. Jadi, aku berniat untuk menghajarnya, namun baru saja mendekat, seseorang sudah mencekal tanganku lebih dulu."Apa yang Anda lakukan? Cepat lepaskan!" pintaku geram karena dia terus-terusan memegang tanganku."Akan saya lepaskan kalau Anda tidak lagi melakukan kekerasan," kecamnya dengan berani.Memangnya dia siapa sampai selalu ikut campur ke dalam masalahku? Dasar orang-orang tidak tahu diri. Harusnya dia bersyukur aku tidak menarik dia dan melaporkannya kepada pihak berwajib karena dia sudah terang-terangan merebut is
Tanpa bertanya lebih lanjut, aku segera mendekat ke arah Siska, dan menyentuh perutnya. Secepat mungkin dia menghindar, tetapi aku tidak kehilangan cara. Segera aku menarik tubuhnya ke dalam pelukanku dan menyentuh perutnya."Ini asli, Mas. Apalagi yang perlu kamu tanyakan?" jerit Siska membuatku melepaskannya."Semuanya masih belum berkahir, aku mau menunggu anak itu lahir dan kita tes DNA. Kalau anak itu bukan anakku, aku mau kembali kepada Selena," putusku pada akhirnya."Tidak bisa!" Mama dan Siska melarang bersama-sama."Nizam dengar, kamu dan Selena sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Jadi, sudah seharusnya kamu sekarang hanya fokus kepada Siska dan Mama. Jangan ingat lagi wanita yang hanya tahu bersantai," cecar mama membuatku tidak suka."Ma, bersantai apanya? Dia di rumah mengurus anak kita dan menjaga rumah. Dia sudah melakukan banyak hal," jelasku dengan harapan mereka akan paham."Tidak! Dia itu hanya wanita matre yang hanya memanfaatkan hasil kerja kerasmu," sentak m