LOGINPerjalanan menuju timur tidaklah mudah. Jalan setapak yang mereka lalui menanjak, melewati hutan lebat dan tebing curam. Angin gunung bertiup kencang, membawa hawa dingin menusuk tulang.
Ardyn berjalan tertatih di belakang Selene. Bahunya sakit karena membawa tas bekal, dan otot-ototnya terasa kaku setelah pertempuran melawan Wraith. Ia menghela napas panjang, lalu menggerutu, “Kalau saja aku benar-benar seorang pewaris Dewa, kenapa kakiku masih sakit seperti ini?” Selene yang berjalan di depan hanya melirik singkat. “Karena kau masih manusia. Kekuatan Dewa tidak membuatmu kebal pada lelah, lapar, atau sakit.” Ardyn mendesah. “Bagus. Jadi aku pewaris cahaya… tapi tetap harus berjalan kaki seperti biasa.” “Kalau kau ingin cepat, pelajari cara menggunakan cahayamu untuk meringankan tubuhmu,” jawab Selene datar. Ardyn mengerutkan kening. “Bisa begitu?” Selene tidak menjawab, hanya terus berjalan. Senyuman samar terlihat di bibirnya, seakan sengaja membiarkan Ardyn mencari tahu sendiri. --- Menjelang sore, mereka tiba di sebuah padang rumput luas di kaki pegunungan. Dari kejauhan, terlihat menara angin menjulang tinggi—penanda bahwa kota Zephyros sudah dekat. Baling-baling raksasa berputar pelan, digerakkan oleh hembusan angin abadi yang selalu melintas di lembah itu. Ardyn tertegun melihatnya. “Itu… indah sekali.” Selene berhenti sejenak, matanya menatap menara itu. “Zephyros. Kota angin. Kalau dugaanku benar, pewaris Angin ada di sana.” Ardyn menoleh ke arahnya. “Kau yakin? Bagaimana kau bisa tahu?” Selene mengangkat tangannya, menunjuk ke arah horizon. “Aku bisa merasakan aliran energi para pewaris. Setiap kali salah satu dari mereka mulai terbangun, dunia ini bergetar sedikit. Seperti semalam, ketika kau membangkitkan cahayamu.” Ardyn mengingat kembali perasaan aneh itu—getaran halus yang seakan datang dari dalam tanah. “Jadi… pewaris Angin sudah mulai sadar?” “Mungkin,” jawab Selene. “Atau mungkin dia masih kebingungan seperti dirimu. Karena itu kita harus cepat.” --- Namun sebelum mereka sempat melanjutkan perjalanan, suara gemuruh terdengar. Dari langit barat, sekelompok makhluk kegelapan melintas—bukan Wraith, melainkan burung hitam raksasa dengan mata merah menyala. Ardyn terbelalak. “Apa itu lagi?” “Corvus,” jawab Selene sambil menghunus busurnya. “Pengintai Nefarion. Kalau mereka melihat kita, seluruh pasukan kegelapan akan tahu posisi kita.” Seekor Corvus melengking keras, sayapnya berkilat hitam. Tanpa menunggu, Selene menembakkan panah cahaya biru. Anak panah itu melesat menembus satu Corvus, membuatnya jatuh terbakar. Tapi suara lengkingan itu sudah cukup. Langit mulai dipenuhi Corvus lain yang berputar, mengepung mereka dari udara. Ardyn merasakan tanda di tangannya kembali berdenyut panas. Ia menatap Selene gugup. “Apa yang harus kulakukan?” Selene menatapnya cepat. “Ikuti nalurimu. Anggap saja mereka bayangan yang harus kau singkirkan.” Ardyn mengangkat tangannya, cahaya emas mulai terkumpul. Meski tubuhnya masih gemetar, kali ini ia tak ragu. Ia menutup mata sejenak, lalu mengayunkan tangannya ke langit. Dari telapak tangannya, kilatan cahaya emas melesat seperti kilat, menyambar seekor Corvus hingga meledak menjadi abu. Dua ekor lainnya tersambar gelombang cahaya yang sama, jatuh ke tanah dengan jeritan melengking. Ardyn terengah, tapi matanya berbinar. “Aku berhasil!” Selene menembakkan dua panah lagi, menyingkirkan sisa Corvus. Ia menoleh ke Ardyn, ekspresinya sedikit melunak. “Kau mulai belajar.” Namun di saat itu, suara teriakan terdengar dari padang rumput di bawah. Seorang pemuda berlari, dikejar dua Corvus yang tersisa. Angin berputar liar di sekitarnya, seolah merespons rasa takutnya. Ardyn melihatnya dengan mata melebar. “Itu…?” Selene menatap pemuda itu lama, lalu mengangguk. “Ya. Dia pewaris Angin.” --- Pemuda itu jatuh tersungkur, wajahnya panik. Corvus melayang rendah, siap mencabik. Tanpa pikir panjang, Ardyn berlari menuruni padang rumput. “Ardyn, tunggu!” teriak Selene, tapi Ardyn tidak berhenti. Ia melompat, cahaya emas membungkus pedangnya, menebas Corvus pertama hingga hancur. Yang kedua berbalik, menyerangnya, tapi angin tiba-tiba bertiup kencang, menampar Corvus itu ke tanah. Ardyn terkejut, lalu menoleh ke pemuda itu. Pemuda itu masih gemetar, tapi matanya berkilau hijau, dan tanda samar berputar di lengannya seperti pusaran angin. “Dia…” Ardyn terengah. “Benar-benar pewaris.” Selene akhirnya tiba, menembakkan panah terakhir yang menghabisi Corvus kedua. Ia berdiri di samping mereka, menatap pemuda itu tajam. “Namamu siapa?” tanya Selene. Pemuda itu menelan ludah, lalu menjawab terbata. “L-Lyra… namaku Lyra.” Ardyn menatapnya kaget. “Kau… seorang gadis?” Lyra menatapnya, wajahnya memerah karena malu sekaligus marah. “Ya! Memangnya kenapa?” Ardyn terdiam, lalu tersenyum kaku. Selene hanya menghela napas panjang. “Baiklah,” kata Selene akhirnya. “Kita sudah menemukan pewaris kedua. Tapi ini baru permulaan. Nefarion tidak akan diam melihat kita bersatu.” Lyra menatap mereka berdua, bingung sekaligus takut. “Apa yang sebenarnya terjadi padaku?” Ardyn menatapnya penuh empati. Ia teringat betapa bingungnya dirinya ketika cahaya pertama kali muncul. Ia mengulurkan tangan. “Aku tahu kau takut. Aku juga begitu. Tapi kita sama—kita pewaris. Dan dunia membutuhkan kita.” Lyra menatap tangan itu lama, lalu perlahan menggenggamnya. Di bawah langit senja yang memerah, tiga pewaris pertama akhirnya berdiri bersama. Sebuah perjalanan baru dimulai—perjalanan yang akan menentukan nasib seluruh dunia. ---Langit istana tampak megah, dihiasi matahari pagi yang sinarnya masuk melalui jendela-jendela tinggi, menyoroti ukiran naga emas di dinding aula utama. Dentuman genderang menggema di seluruh penjuru, menandai hari yang akan dicatat dalam sejarah kekaisaran.Hari itu adalah hari penentuan—bukan hanya bagi kerajaan, tetapi juga bagi Selir Arunika, wanita yang telah melewati lautan pengkhianatan, badai intrik, dan luka hati yang nyaris mematahkan langkahnya.Namun, dari semua kepedihan itu, ia bangkit. Hari ini, ia berdiri di ambang takhta sebagai sosok yang berbeda: bukan lagi seorang selir yang rapuh, melainkan wanita kuat yang telah membuktikan bahwa cinta dan pengabdian bisa lebih kokoh dari pedang tajam dan racun licik.---Aula PenobatanKaisar Adhyatma duduk di atas singgasana naga, dengan jubah emasnya berkilau. Wajahnya tegas, namun matanya melunak ketika pandangannya jatuh pada sosok Arunika yang berjalan perlahan memasuki aula.Arunika mengenakan busana merah marun dengan bord
1. Keheningan Setelah BadaiUntuk sesaat, ruangan inti sunyi. Tidak ada lagi jeritan, tidak ada lagi gemuruh retakan. Hanya ada suara napas berat dari Ardyn, Selene, Lyra, dan Kael yang masih berusaha berdiri setelah pertempuran panjang.Kristal inti Simfoni Abadi kini berwarna emas bercampur hitam, berdenyut dengan ritme baru. Setiap denyutan mengirimkan gelombang ke seluruh dunia, dan mereka semua bisa merasakannya—seperti detak jantung yang menyatu dengan bumi itu sendiri.Ardyn menatapnya dalam diam. Tangannya masih gemetar setelah menyatu dengan inti, tapi ada ketenangan aneh di hatinya. Apakah ini benar-benar berhasil… atau justru awal dari bencana baru?2. Langit yang BerubahTiba-tiba, seluruh ruangan bergetar. Dinding-dinding batu retak, dan cahaya dari inti menembus ke langit di atas.Mereka berlari keluar dari reruntuhan. Saat sampai di luar, mereka semua terdiam.Langit berubah. Bintang-bintang yang semula tetap kini berkilau dengan warna berbeda. Bulan retak tipis, mengel
1. Kristal yang RetakRuangan yang semula hening kini dipenuhi getaran aneh. Kristal inti Simfoni Abadi berdenyut semakin cepat, bukan lagi dengan nada lembut, melainkan nada yang patah-patah, sumbang, dan menusuk telinga.“Tidak mungkin…” Selene mendekat, matanya membelalak. “Kristal ini… retak!”Benar saja, dari permukaan kristal mulai muncul garis retakan bercahaya. Setiap kali retakan itu melebar, terdengar suara seperti jeritan seribu jiwa.Lyra mundur beberapa langkah, tubuhnya gemetar. “Ini bukan kemenangan… kita hanya membangunkan sesuatu yang jauh lebih berbahaya.”Kael menggeram, menahan luka di dadanya. “Jadi apa? Setelah semua yang kita lalui, ternyata musuh kita bukan bayangan itu, tapi inti dunia sendiri?”Ardyn menatap kristal itu dalam diam. Hatinya bergetar oleh nada sumbang yang keluar. Bukan sekadar suara… tapi seolah ada suara-suara berbisik di dalam kepalanya.“Kau bukan penyelamat… kau hanya pion…”“Harmoni tak pernah membutuhkanmu…”“Biarkan dunia tenggelam, kau
1. Jantung DuniaBegitu mereka melewati gerbang cahaya, pandangan mereka disambut oleh ruang luas tak terbayangkan.Dindingnya bukan dari batu, melainkan cahaya murni yang bergerak seperti aliran aurora. Di tengah ruangan itu berdiri sebuah kristal raksasa—berbentuk bulat, berdenyut perlahan seperti jantung. Setiap denyut mengeluarkan nada lembut, seperti nyanyian ibu meninabobokan bayi.“Itu… inti Simfoni Abadi,” bisik Selene. “Sumber yang menjaga keseimbangan dunia.”Namun ketenangan itu tidak bertahan lama. Bayangan berjubah hitam yang mengikuti mereka masuk kini melayang ke depan kristal, seolah hendak mengklaimnya. Nada yang keluar dari tubuhnya berlawanan dengan kristal itu—bukan harmoni, melainkan raungan cacat, nada fals yang menusuk telinga dan hati.Lyra menutup telinganya dengan kedua tangan, wajahnya meringis. “Nada itu… seperti duri yang menusuk jiwaku…”Ardyn melangkah maju, menatap sosok itu dengan sorot tajam. “Kalau dia berhasil menguasai inti ini, dunia akan tenggela
1. Tangga EmasTangga emas yang mereka pijak terasa hangat, seolah hidup. Setiap langkah memunculkan gema nada—bukan gema suara kaki mereka, melainkan nada lembut seperti gesekan harpa.“Ini…” Lyra menatap sekeliling dengan mata berbinar meski wajahnya masih lelah. “Tangga ini bernyanyi.”Ardyn mengangguk pelan, jantungnya ikut bergetar. “Bukan tangga biasa. Ini bagian dari Simfoni itu sendiri. Kita sedang berjalan di atas harmoni dunia.”Kael mendengus. “Lalu kalau kita jatuh, apakah dunia ikut pecah?”Selene meliriknya tajam. “Kalau kau jatuh, aku pastikan dunia tetap baik-baik saja.”Meski penuh luka, mereka masih sempat saling menyindir—mungkin itulah satu-satunya cara agar hati mereka tidak runtuh sebelum sampai ke tujuan.2. Gerbang HarmoniSetelah entah berapa lama, mereka tiba di puncak. Sebuah gerbang raksasa berdiri di depan mereka, terbentuk dari cahaya murni. Bentuknya menyerupai dua sayap yang merentang, seolah hendak menutup atau membuka dunia.Di tengah gerbang itu, ter
1. Ruang Berlapis CerminSetelah melewati lorong ilusi, mereka tiba di sebuah aula bundar. Dindingnya penuh cermin raksasa, memantulkan cahaya emas dan bayangan mereka sendiri dari berbagai sudut.Udara di ruangan itu sangat berat, seolah menekan dada. Setiap langkah bergema panjang, seperti gema itu ingin meniru suara hati mereka.“Tempat ini…” Lyra berbisik. “Seperti… jantungnya kuil.”Ardyn mengangguk, tangannya menggenggam erat pedangnya. “Ini pasti lapisan terakhir sebelum inti Simfoni Abadi. Kita harus berhati-hati.”Namun sesuatu terasa salah. Pantulan di cermin tidak bergerak sesuai gerakan mereka.2. Bayangan HidupTiba-tiba, salah satu bayangan Selene di cermin tersenyum licik—padahal Selene asli tidak tersenyum. Dalam sekejap, bayangan itu keluar dari cermin, tubuhnya membentuk doppelgänger yang identik.Begitu juga dengan Lyra, Kael, dan bahkan Ardyn.Dalam hitungan detik, mereka sudah berhadapan dengan diri mereka sendiri.Kael menyeringai getir. “Sudah kuduga… akhirnya s







