Matthias menekan tombol bel untuk ketiga kalinya, tetapi tetap tidak ada jawaban. Dengan kesabaran yang mulai terkikis, ia mengeluarkan ponselnya. Menghubungi adik perempuannya yang sejak tadi tak kunjung membukakan pintu
“Buka pintunya" Ucap Matthias tanpa basa basi dengan nada datarnya begitu panggilan terhubung
“Oh, kau sudah sampai, kak?”
“Cepat buka pintunya sebelum aku marah padamu, Hiri" Matthias menjawab sambil melirik pintu yang tetap tertutup rapat di depannya
“Emm ini, aku sedang di luar. Ada urusan mendadak. Masuk saja, password pintunya 1007#. Aku lupa bilang pada Selena kalau kau datang dan sepertinya dijam segini dia ada di ruang olahraga” Hiriety menambahkan dengan nada santai.
“Selena?”
“Iya kau pasti akan senang bertemu dengannya, aku tutup telponnya ya kak, kita bicara dirumah saja”
Matthias menghela napas, dia hendak bertanya lebih lanjut tapi adik kandungnya itu sudah memutuskan panggilan sebelum ia mendapat jawaban.
Akhirnya, Matthias memasukkan kode yang diberikan Hiriety. Suara klik dari pintu elektronik menandakan bahwa kodenya benar. Ia mendorong pintu dan melangkah masuk.
Aroma manis namun segar tercium diudara, siapapun yang menghirup udara didalam pun akan tahu jika itu aroma tempat tinggal seorang wanita. Apartemen luas, modern, dan dinding yang didominasi warna pink muda. Interiornya kebanyakan warna putih dengan hiasan minimalis di setiap sudut. Ada cukup banyak pintu disini. Namun, perhatian Matthias langsung tertuju pada sebuah pintu yang terbuka
Seorang perempuan cantik muncul dari sana, mengenakan crop top ketat dan celana sport pendek yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Wajah perempuan itu memerah, rambutnya yang terikat nampak basah oleh keringat. Perempuan itu nampak belum menyadari kehadiran Matthias karena earphone yang digunakannya
“Lama tak bertemu” Matthias berdiri tepat didepannya
Barulah ketika mata hazel itu bertemu dengan netra abu Matthias, ia berhenti di tempat, terkejut. Segera dilepaskan earphone yang menutup telinganya itu
“K-kau?! Siapa kau?” Selena hampir berteriak, ekspresinya berubah waspada. Ia mengambil langkah mundur dan menodongkan botol air ditangannya, seolah siap menggunakannya sebagai senjata.
Matthias, disisi lain, terdiam beberapa detik, memperhatikan Selena dari ujung kepala hingga kaki. Mata abu pekatnya tidak bisa menghindari pakaian yang dikenakan Selena, yang menurutnya terlihat sangat seksi dan cocok ditubuh ramping nan berbentuk bak hourglass body itu
”Makin besar rupanya” Gumamnya pelan dengan sudut bibir terangkat
“Hei, aku tanya, kau siapa?! Kenapa bisa masuk dirumahku?” Selena mengulang pertanyaannya dengan nada lebih tinggi. Jemarinya bergerak cepat menyalakan ponselnya, hendak menelepon pihak berwajib sebelum pria itu berbicara
“Matthias.” Jawabnya
Mata hazel Selena membulat “Matthias Walton?" Tanya Selena
Matthias mengangguk "Aku baru tahu kau tinggal disini dengan adikku" Serunya sekedar basa basi.
Matthias tak tahu jika Selena yang adiknya maksud adalah putri dari uncle Dylan dan Aunty Lumia. Dulu, dia hanya bertemu dengan Selena saat kecil dan mereka sempat bermain bersama lalu setelahnya, mereka terpisah karena kesibukan orang tua masing-masing. Atau lebih tepatnya, Selena melarikan diri darinya.
“Hiriety tak bilang kau akan kemari” Ucap Selena menatap Matthias masih dengan rasa curiga
“Tanya dia” Matthias menjawab santai, tetapi senyum kecil di sudut bibirnya menunjukkan bahwa ia sedikit menikmati kebingungan Selena. “Aku cuma mengikuti instruksinya. Dia memintaku datang dan memberikan password pintu dengan mudahnya” Matthias menjawab tenang, meski matanya kembali tertuju pada pakaian Selena.
Crop top yang membalut tubuhnya dan celana pendek olahraga itu membuatnya sedikit kehilangan fokus
"Jaga pandangan anda Mr Walton" Sergah Selena datar
Matthias terkekeh ringan “Maaf, refleks” balas Matthias santai, masih dengan tawa kecil yang menyebalkan. Ia berjalan ke sofa ruang tamu, mendudukan diri serta menyandarkan tubuhnya ke sofa, seolah menunjukkan bahwa ia bisa bersikap lebih sopan. “Kau tidak bisa menyalahkanku. Penampilanmu cukup… mencuri perhatian.”
Selena mendengus, menyilangkan tangan di dadanya. “Kalau begitu, coba fokus pada alasan kenapa kau di sini, bukan pada apa yang kukenakan.”
Matthias tersenyum tipis, senyuman yang menunjukkan bahwa ia terlalu percaya diri untuk merasa bersalah. “Baiklah” katanya, memperbaiki posisi duduknya. “Aku di Milan karena urusan bisnis. Sekalian saja kutemui adik kecilku itu, kami jarang bertemu, dan kupikir ini saat yang tepat untuk menjenguknya.”
“Dan kau pikir waktu yang tepat itu adalah saat aku sendirian di apartemen ini?” Selena mengangkat alisnya, nadanya menyiratkan ketidaksukaan.
“Aku sudah bilang, itu urusan Hiri" Matthias menegaskan, lalu menambahkan dengan nada lebih ringan, “Dan bukannya kau sudah cukup tangguh untuk menghadapi ‘orang asing’ seperti aku? Lihat saja, kau bahkan punya botol air sebagai senjata andalan.”
Selena mendesah, merasa percakapan ini tidak akan membuatnya menang. Ia melanjutkan langkahnya, berjalan ke dapur, mencoba mengabaikan tatapan Matthias yang mengikutinya.
“Lama tidak bertemu Selena” Ucap Matthias, kembali menyapa untuk kedua kalinya “Senang bertemu denganmu lagi”
“Kebalikannya untukku” Balas Selena
Matthias terkekeh pelan, jelas menikmati interaksi ini. “Basa basi yang dingin sekali” ujarnya, nada suaranya setengah bercanda.
Selena membuka kulkas, mengambil sebotol air dingin, lalu membukanya dengan gerakan yang sedikit lebih keras dari biasanya. “Kalau kau ingin tahu, aku membencimu” katanya, menoleh sebentar untuk menatap Matthias. “Jadi jangan berharap sambutan hangat dariku.”
Matthias menyandarkan punggungnya pada sofa, tetap tenang meski balasan Selena penuh duri. “Aku tak mengharapkan sambutan apa pun, Princess”
Deg!
“Berhenti menyebutku begitu!”Matthias tersenyum lebih lebar, melihat reaksi yang diinginkannya. “Kenapa? Bukankah itu panggilan yang cocok untukmu? Kau memang seperti seorang putri—anggun, keras kepala, dan... selalu tahu cara membuat sang pangeran terus memperhatikanmu.”
“Apa sekarang kau mengakui diri sebagai pangeran?” Potong Selena mengejek
Matthias tertawa kecil, nada suaranya santai tapi penuh arti. “Bukan aku yang mengatakannya, Selena. Kau yang memberiku julukan itu waktu kita masih kecil, ingat?”
Selena memutar bola matanya, menutup botol air lalu menyandarkannya ke meja dapur. “Kalau aku memang bilang begitu, itu pasti karena aku terlalu kecil untuk tahu bahwa pangeran seharusnya punya hati.”
“Ouch, itu menyakitkan” balas Matthias sambil meletakkan tangan di dadanya, seolah benar-benar terluka. “Tapi kau benar, waktu kecil aku mungkin agak... sulit. Sekarang pun, mungkin aku masih sama.
“Kalau kau terus berbicara seperti itu, aku tidak segan-segan mengusirmu dari sini, Matthias.” Ancamnya
Matthias terkekeh “Kau takkan bisa membuatku bergerak kecuali telanjang didepanku Selena” Ucapnya Matthias sambil menyilangkan kaki dengan senyum miring yang sialnya sangat menggoda dimata Selena
Selena berdiri di depan ruang ganti, tangannya masih terlipat di dada. Ia bisa mendengar Matthias bergerak di dalam, mungkin sedang mengganti pakaiannya.“Matthias?” suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.Dari dalam terdengar suara Matthias. “Hm?”Selena menekan senyumannya. “Aku masuk.”Ia tidak menunggu jawaban sebelum membuka pintu dan menyelinap masuk.Matthias, yang hanya mengenakan kemeja putih yang belum dikancingkan sepenuhnya, menatapnya dengan satu alis terangkat. “Tidak sabar melihatku, huh?”Selena tidak menggubris godaannya. Ia melangkah mendekat dan dengan santai melingkarkan dasi di leher Matthias, menariknya sedikit hingga wajah mereka lebih dekat.Matthias tampak sedikit terkejut, tapi kemudian seringai itu kembali muncul. “Oh? Sekarang kau ingin membantuku berpakaian?”Selena tersenyum manis, tapi matanya penuh niat jahat. “Tentu saja&rd
Pernikahan itu berjalan begitu cepat—tanpa pidato panjang, tanpa perayaan meriah, hanya sumpah yang diucapkan di bawah tekanan waktu dan emosi yang masih menggantung.Matthias tidak memberi kesempatan pada siapa pun untuk menunda lebih lama. Begitu mereka berdiri di altar, suaranya tegas saat mengucapkan janji pernikahan, matanya tak sekalipun beralih dari Selena.“Dengan ini, kalian resmi menjadi suami istri”Matthias tidak menunggu aba-aba untuk mencium Selena. Bibirnya langsung menekan bibir Selena, mendominasi, menegaskan kepemilikannya di depan semua orang yang hadir.Sorakan kecil terdengar dari beberapa tamu, tetapi Matthias tidak peduli. Dia hanya menarik Selena lebih dekat, menyalurkan emosi yang tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata.Begitu mereka masuk ke dalam mobil, keheningan menyelimuti mereka. Matthias duduk di sampingnya, tangannya tidak pernah lepas dari tubuh Selena—entah menggenggam jemarinya atau sek
Selena menatap dirinya di cermin, jantungnya berdebar tidak karuan.Gaun putih itu terasa begitu indah di tubuhnya, tetapi berat di hatinya. Bukan karena dia tidak ingin pernikahan ini terjadi, tetapi karena semuanya masih terasa seperti mimpi yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.Pintu ruang rias terbuka, dan Lumia masuk dengan senyum lembut."Sayang..." suara ibunya penuh kasih, tetapi ada sedikit kegelisahan di dalamnya. "Sudah waktunya."Selena menelan ludah, mencoba mengatur emosinya."Kau baik-baik saja?" tanya Lumia, mengulurkan tangan untuk menggenggam jemari putrinya.Selena menatap tangan mereka yang bertaut, lalu mengangguk pelan. "Aku... aku tidak tahu, Mom."Lumia tersenyum kecil. "Pernikahan tidak pernah mudah, Selena. Tapi yang perlu kau tanyakan pada dirimu sendiri hanyalah satu hal—apakah kau ingin hidup tanpanya?"Selena mengangkat wajahnya, menatap bayangannya sendiri di cermin.Apakah dia bisa h
Kesalahan Dylan adalah tak mengenalkan dunia mereka pada putrinyaKesalahan Lumia adalah tak memberitahu identitasnya pada SelenaDan kesalahan Matthias adalah melecehkannya bahkan mengenalkan Selena pada dunia dengan cara yang keliru.Selena seharusnya tahu sejak awal.Seharusnya dia mengerti bahwa dunia tempatnya hidup bukanlah dunia normal.Dunia mereka gelap. Kotor. Berdarah.Tidak ada keadilan di sini, hanya kekuasaan dan kelangsungan hidup.Tapi Dylan ingin melindunginya.Lumia ingin menjaganya.Dan Matthias... Matthias ingin memilikinya.Selama ini, semua orang mengambil keputusan untuknya. Mereka membungkusnya dalam kebohongan manis, berpikir itu akan membuatnya aman. Tapi justru itu yang membuatnya semakin rapuh.Selena menatap Matthias yang masih memeluknya erat di dapur.Pria itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya.Dan pada saat yang sama, satu-satunya tempat dia bisa berpulang."Matthias" gumamnya pelan."Hm?""Aku ingin mati saja..."Matthias membeku.Tubuhnya yang
Brak“Putramu itu gila, Caid!”Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan Dylan begitu dia tiba di markas Oletros, tepat diruang berkumpul yang mana Caid sedang duduk di kursinyaCaid terkekeh “Jika tak gila tentu saja bukan putraku” Jawab CaidDylan mengusap wajahnya dengan frustrasi, sementara Caid hanya menatapnya dengan senyum kecil penuh hiburan.“Ini pertama kalinya aku melihatmu kacau, Dylan” Enid mengucapkan dengan santainya sementara Dayn, kembaran Dylan hanya terkekeh“Kau tak tahu saja karena hanya memiliki anak lelaki” Seru DaynEnid mendengus kesal, melirik Dayn dengan tajam. “Kau pikir punya anak lelaki lebih mudah? Tunggu sampai salah satu dari mereka membawa pulang masalah sebesar Matthias.”Dayn terkekeh, menyilangkan tangan di dadanya. “Masalahnya, Matthias tidak sekadar membawa masalah. Dia adalah masalah itu sendiri.”Caid mengangg
Selena tak benar-benar dibiarkan pergi. Nyatanya, saat dia dan Daddynya tiba di bandara, tidak ada satu pun maskapai yang menerima kepergiannya.“Apa maksudnya tidak ada penerbangan?” Dylan menekan telepon di tangannya, berbicara dengan seseorang dari pihak bandara. Wajahnya mengeras. “Kami sudah memesan tiket sejak tadi malam.”“Maaf, Tuan, tetapi semua penerbangan Anda telah dibatalkan.”Dylan meremas gagang ponselnya erat. “Oleh Walton?” Tanya DylanPetugas di ujung telepon terdengar ragu sebelum menjawab. “Kami tidak bisa memberikan informasi itu, Tuan.”Dylan menoleh ke Selena, yang berdiri di sampingnya dengan ekspresi yang tak kalah frustrasi.Matanya langsung menyipit. “Matthias.”Selena menghela napas panjang, menatap papan informasi keberangkatan yang kosong untuk mereka.Tentu saja.Tentu saja Matthias tidak akan membiarkannya pergi semuda