Mungkin Umi sudah kebelet tapi sungkan membangunkanku, hingga beliau nekat ke kamar mandi sendiri. Dan akhirnya jatuh. Aku masih tak tahu harus melakukan apa. Minta tolong tetangga untuk membawa Umi ke rumah sakit? Rasanya tidak mungkin, selain sikap tetangga yang tak ramah, uang dari mana untuk membayar biaya rumah sakit? Sedangkan aku hanya memegang uang yang tak seberapa. Kalau akhirnya Umi terpaksa dirawat, siapa yang menjaganya nanti? Tak mungkin aku meninggalkan anakku sendirian di rumah, sedangkan di rumah sakit tidak boleh membawa anak kecil. Aku benar-benar pusing memikirkan semuanya sendiri, rasanya pengen nangis pengen menjerit, tapi sadar semua itu tidak akan menyelesaikan masalah. Abizar sudah ku hubungi, berharap dia pulang agar ada yang membantuku menjaga dan merawat Umi, dan yang terpenting ada yang diajak musyawarah kalau ada masalah seperti ini. Tapi Abizar baru bisa pulang besok, namanya naik angkutan umum perjalanannya memakan waktu lebih lama. Aku membaringka
Saat terbangun aku sudah terbaring di tempat tidur, di sisiku nampak wanita awal empat puluh tahunan berdiri. "Syukur, kamu sudah sadar. Saya sampai panik tadi, melihat kamu tergeletak di depan mobil saya. Kamu itu gimana, sih? Nggak lihat ada mobil lewat, apa? Untung mobil saya remnya pakem, kalau tidak kamu sudah keplindes tadi! Hampir saja saya dimasa sama warga gara-gara, kamu! Sekarang gimana? Ada yang sakit, nggak? Pusing, nggak? Kamu baik-baik saja, kan? Nggak gegar otak, kan?" Cerocos wanita cantik bernampilan modis yang berdiri di samping tempatku berbaring. Aku yang belum sadar sepenuhnya hanya bisa manatap dia dengan tatapan bingung, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi sebelum aku terbaring di sini. Ah ya, aku ingat sekarang. Aku sengaja menyebrang saat ada mobil yang melintas, berharap tertabrak dan langsung mati di tempat, agar tak lagi merasakan kepahitan hidup. Mungkin Nyonya pemilik mobil itu.Tapi seingatku aku menyebrang sambil menggendong Adinda, sekarang
"Pakai ini, Mey! Jangan pakai baju lusuhmu itu! Kamu mau bikin Mami malu, apa?" Mami monik menyodorkan beberapa potong pakaian padaku. Memang bukan terbuka dan seksi seperti yang gadis-gadis di salon Mamai kenakan, tapi leging dan kaos pas badan. Pakaian yang tak pernah aku pakai sebelumnya, apalagi tanpa jilbab. Jelas terasa aneh bagiku. "Kenapa, nggak mau?""Nggak ada yang lain, Mi?" Aku mencoba menego. "Ada, lingerie, mau?" Aku menggeleng tegas. Maksudku yang lain itu, yang lebih sopan. Yang nyaman dipakai tanpa perlu memperlihatkan lekuk tubuh seperti ini. "Ya sudah, pakai saja yang itu!" Mami menunjuk pakaian yang tadi diberikan padaku dengan dagunya. "Ada jilbab nggak, Mi?" tanyaku takut-takut. "Di sini bukan pesantren, Mey. Lagian pakaian yang ku berikan itu masih dalam kategori sopan, kamu nggak perlu malu memakainya. Daripada kamu nggak ganti baju!" Aku hanya bisa mengangguk. Sudah ditolong diberi tempat tinggal yang layak, masih diberi makan, diberi pekerjaan pula, sa
Dibantu anak buah Mami Monic, Om Argo berhasil membawaku ke vilanya. Di sana aku dia garap habis-habisan. Aku sudah berusaha melawan, berusaha melarikan diri, tak peduli anak buah Mami Monic akan menghabisiku sekalipun. Yang penting aku bisa lepas dari tua bangka menjijikkan ini."Kamu mau lari? Boleh, silahkan! Tapi jangan harap Monic akan membiarkanmu bebas begini saja!" Argo menyeringai kepadaku. "Pergi! Jangan berani mendekat! Atau kubunuh kamu!" Ancamku. Laki-laki itu tergelak, membuatku semakin ketakutan, meski ini bukan pertama kalinya aku berdua dengan laki-laki yang bukan siapa-siapaku di kamar. Argo mengambil ponselnya tmyang tergeletak begitu saja di atas nakas, terlihat dia sedang menghubungi seseorang. Hingga suaranya familiar Mami Monic terdengar menyapa dari seberang. "Halo .... Gimana, Om?" Suara Mami Monic terdengar begitu renyah. Rupanya laki-laki berperut buncit itu, sengaja meloud speaker panggilannya. "Anakmu menolak aku sentuh, Monic. Padahal aku sudah memb
"Mey?" Laki-laki itu sama sepertiku, dia menampakkan wajah terkejut. Mungkin dia tidak pernah pernah menyangka, akan kembali bertemu denganku setelah sembilan tahun berlalu. "Apa kabar, Mey?" Tanyanya setelah berhasil menguasai diri.Ingin rasanya aku meludahi wajahnya yang sok tak berdosa itu. Apa kabarku? Dia menanyakan kabarku? Apa dia tidak mendengar dari orang di sekitarnya, tentang bagaimana hancurnya keluargaku, akibat perbuatannya. Kami bertetangga. Tak ingin terjebak kisah masa lalu, aku mengalihkan pembicaraan. "Bagaimana keadaan anak saya, Dokter? Apa ada perubahan," tanyaku formal, seolah kami tidak pernah saling mengenal sebelumnya. Bukan apa-apa, aku hanya tidak ingin laki-laki tak tahu diri ini berfikir dia masih berarti untukku. Sudah lama sekali, sejak dia menolak bertanggung jawab. Aku sudah membunuh seluruh cinta dan segala perasaanku padanya. Bagiku dia sudah mati. "Ah, iya. Ananda sudah melewati masa krisisnya, mungkin satu atau dua jam lagi dia sadar. Dan b
"Mey!" Suara bariton yang sangat kukenal memanggilku. Spontan aku menoleh ke sumber suara. "Siapa laki-laki itu, Mey?" Tanya Rahman setelah jarak kami dekat. "Oh, itu dokter yang menangani Adinda," jawabku apa adanya, tanpa menyebutkan bahwa laki-laki itu adalah ayah biologis Adinda. "Kok pegang-pengang tangan segala?" Tanyanya penuh selidik. 'Berarti Rahman melihat semuanya.' Gumamku dalam hati. Aku mengangkat kedua bahu sebagai jawaban, tak mungkin aku mengatakan fakta yang sebenarnya. Rahman bukan siapa-siapaku, aku tak punya kewajiban untuk menjelaskan secara detail segala permasalahanku. "Oh, ya. Kamu menjenguk siapa?" Tanyaku mengalihkannya percakapan, karena kulihat Rahman tidak puas dengan jawabanku. "Aku mau jenguk Adinda, katanya tadi pagi dia kecelakaan di sekolahan." Aku menghela nafas panjang, kabar kecelakaan yang dialami Adinda rupanya sudah tersebar, hingga Rahman pun jadi tahu. Anak-anak di komplek ku tinggal sebagian besar sekolah di SD yang sama dengan Adin
"Maaf, mengganggu." Spontan Rahman melepaskan genggamannya, bersamaan dengan masuknya pria bersneli putih ke ruangan ini. "Oh, nggak pa-pa. Silahkan masuk, Dokter?" Sapa Rahman ramah, meski sedikit tergagap. Dokter itu mengangguk sopan, lalu melangkah mendekat ke ranjang di mana Adinda terbaring. "Permisi, Pak, Bu." Aku dan Rahman kompak menepi, memberi ruangan untuk dokter muda itu memeriksa anakku. Ada yang aneh menurutku, biasanya dokter kalau visit selalu ditemani perawat, tapi Dokter Rey, kok, sendiri? Ada yang nggak beres ini. "Kondisi pasien sudah stabil ini, tinggal masa pemulihan. Tadi pasien ada mengeluh apa gitu?" Tanya Rey, matanya menatap ke arahku. Karena aku baru datang, jelas aku tidak tahu kondisi Dinda saat bangun tadi. "Tidak ada Dokter, tadi anak saya hanya mengeluh haus dan lapar, tapi baru tiga sendok dia bilang sudah kenyang."Anakku? Sejak kapan Dinda jadi anaknya Rahman. Ngaco banget. "Obatnya sudah diminumkan?" Tanya Rey lagi. "Sudah Dokter, sudah
"Aku tahu, kamu membenciku. Tapi kamu harus tahu, sampai saat ini aku masih mencintaimu." Kali ini ku beranikan diri menatap langsung ke dalam matanya. Mencari jawaban apakah ucapan Rey jujur atau hanya kebohongan untuk menjeratku kembali. Sayangnya di sana hanya ada tatapan melas penuh harap. "Ijinkan aku menebus kesalahanku, Mey."Menebus kesalahan? Menebus yang bagaimana? "Ini di rumah sakit, saya harap anda bisa menjaga sikap Dokter Reynaldi," ucapku formal. "Mey, kumohon....""Anda bisa mendapat masalah atau bahkan mungkin sanksi, karena telah mengganggu ketenangan keluarga pasien.""Mey ....""Ingat perjuangan Anda untuk sampai pada posisi ini! Jangan sampai semua sia-sia karena anda mendapat teguran dari atasan." Setelah berkata aku meninggalkan Rey, yang aku tidak tahu bagaimana ekspresinya. Aku mengangkat sebelah tanganku, pertanda aku tidak ingin diganggu, ketika Rey kembali memanggil. * * * * * * * * * * *"Nggak bisa, Mi. Kan, aku sudah ngomong sama Mami kemarin," jaw