Semua Bab Retrocognition (Melihat Masa Lalu): Bab 11 - Bab 20
98 Bab
Mengendalikan Waktu
Wira melemparkan ransel yang ia gendong di depan tubuh ke lantai kamarnya. Ia sudah tak kuasa lagi melepas jaket atau mengganti pakaian yang lebih ringan. Ia rebahkan tubuhnya di tempat tidur. Wira merasa begitu lelah, ia pejamkan mata berkemampuan khusus ini. Bau debu begitu tercium, kamar ini sudah beberapa hari tak berpenghuni.“Kamu nggak apa, Wir? Ini minum dulu,” ujar Mamak membawakan segelas air.“Makasih, Mak. Aku nggak apa kok, cuma pengen tidur aja. Capek banget rasanya,” keluh Wira. Ia meraih dan meneguk segelas air yang diberikan Mamak.“Ya, abis ini istirahat yang banyak, Wir. Nggak usah kemana-mana dulu biar kamu nggak lihat macem-macem. Kamu kan lagi pemulihan,” ujar Mamak lagi.“Iya, Mak.”Wira mengembalikan gelas kosong kepada Mamak. Perempuan paruh baya itu memastikan anaknya kembali rebah dan baru meninggalkannya. Sama seperti suaminya dulu, Wira masih butuh banyak penyesuaian denga
Baca selengkapnya
Test Drive
Wira bangkit dari tempat tidurnya. Ia buka jaket dan juga kausnya. Arloji itu benar-benar hilang seperti meresap ke dalam dadanya. Tak ada bekas, kulit dadanya tidak ada tanda-tanda kekerasan atau efek karena suatu kejadian. Padahal rasa sakitnya sungguh luar biasa. Tak puas, Wira melihat bayangannya di cermin. Sama sekali tak berbekas, sungguh aneh.Lelaki bertubuh kurus itu mengenakan kembali kausnya. Segera setelah arloji itu lenyap, ia merasa begitu sehat dan bugar. Ia sudah tak sabar untuk mencoba apakah benar apa kata Melati, ia bisa mengendalikan waktu. Apa yang dimaksud dengan pengendalian di sini? Apakah Wira dapat menghentikan atau mempercepat waktu? Wira tersenyum, sepertinya akan seru jika itu benar-benar terjadi.“Mau kemana, Wir? Memangnya udah sehat?” tanya Mamak melihat Wira keluar dari kamarnya.“Keluar sebentar, Mak. Bosen tiduran melulu,” jawab Wira.Mamak memandang Wira perlahan dari ujung kaki hingga kepala. Ia
Baca selengkapnya
Informasi Aisya
“Mas Wira kenapa? Kok matanya basah?” tanya Aisya.“Eh, nggak, Mbak. Makasih ya, Mbak,” jawab Wira gugup.Aisya beranjak meninggalkan Wira. Ia kembali ke balik booth tempat biasa ia duduk dengan setia menanti pembeli. Ia matikan kompor yang digunakan untuk membuat burger pesanan Wira. Perempuan itu mengarahkan kipas angin mini di atas booth ke wajahnya. Siang ini terasa begitu terik. Biasanya banyak yang membeli minuman di gerainya.Wira dengan cepat menghabiskan burgernya dan melangkah ke lemari pendingin di sidut gerai. Ia raih sebotol teh dingin dan meminumnya sambil memainkan gawai. Sebenarnya gawai ini hanyalah pengalih perhatian. Ia masih fokus pada masa lalu Aisya yang baru saja ia lihat. Sepertinya ia masih perlu banyak informasi tentang perempuan ini. Mungkin foto bisa membantu.Lelaki berambut ikal itu lalu memikirkan sebuah cara agar dapat mengambil foto Aisya yang menghadap ke kamera. Ia buka aplikasi
Baca selengkapnya
Informasi Aisya 2
Jaka hanya tersenyum kecil merasakan cengkraman Wira di lehernya dan himpitan tubuh pada dinding gardu poskamling. Kesadarannya tak sempurna. Tubuhnya terasa ringan, namun tiba-tiba bisa menjadi begitu berat.“Udah gila, Lu! Anak Lu masih bayi merah, Lu malah teler!” hardik Wira, ia menghempaskan tubuh Jaka ke lantai kayu. Jaka hanya meringis, lalu perlahan tertawa.“Kok Lu tau sih, Wir? Kan gue nggak pernah cerita,” tanya Jaka sambil mencoba bangkit.“Orang bego juga tau, tampang Lu begini!” tandas Wira.“Oh, Lu udah pinter sekarang? Hah? Udah ngerasa hebat?” tiba-tiba Jaka melotot dan mendorong tubuh Wira. Ia memang tak lagi Jaka yang sama.“Bini Lu protes kan? Uang belanja hasil Lu ngurir dia bilang nggak cukup?”“Kenapa Lu bahas rumah tangga gue?” hardik Jaka.“Buat beli popok, susu, belum biaya sekolah anak-anak tiri Lu. Anak Lu yang bayi juga belum di
Baca selengkapnya
Informasi Baru
Pria itu menjatuhkan sapunya di lantai. Ia duduk bersandar pada tiang di teras Masjid. Matanya dipenuhi perasaan bersalah dan dosa. Kini Wira jadi paham mengapa Marbot seperti dia memilki banyak tato di lengan dan juga bekas luka memanjang di pipi kirinya itu. Kejahatan-kejahatan yang dilakukan pria ini semua dapat Wira lihat dengan jelas.“Maafkan saya, jadi kamu anaknya Barata?” tanya pria itu.“Betul, Bang,” sahut Wira singkat.“Panggil saya Om saja. Nama saya Darman. Saya lah yang memberitahu keberadaan Barata saat orang-orang itu mencarinya,” terang Darman. Ia berusaha mengingat-ingat kejadian belasan tahun lalu.“Orang-orang siapa, Om?” tanya Wira penasaran.“Orang-orang itu tadinya teman-teman saya melakukan kejahatan. Kami dulu satu perkumpulan, macam geng kalo sekarang. Kami sering menerima bayaran atas kejahatan yang kami lakukan. Termasuk menghilangkan nyawa seseorang.”W
Baca selengkapnya
Orang Suruhan
“Oi, udah sehat Lu, Wir?” seru Ario saat melihat Wira sedang memuat paket-paket di sepeda motornya.“Ya kali gue sakit terus! Seneng dong kalian dapat lembur?” seloroh Wira. Ario hanya menyeringai.Ario masuk ke dalam gudang penyimpanan. Tak lama ia muncul sambil membawa tumpukan paket yang menjadi tugasnya. Lalu ia kembali dan mengambil kembali beberapa paket di gudang. Ia tampak antusias ingin menanyakan sesuatu pada Wira.“Wir, tunggu sebentar kenapa?” cegah Ario yang melihat Wira sudah bersiap berangkat mengantarkan paket.“Kenapa sih?” tanya Wira, ia baru saja menyalakan sepeda motornya. Ario mendekat.“Gue mau tanya, apa bener kata Jaka Lu bisa liat masa lalu?”Wira tersenyum, ia mematikan dan mencabut kontak sepeda motornya. Rekannya ini pasti ada maksud tertentu sampai bertanya hal ini padahal ia sudah akan berangkat. Pasti Ario memiliki banyak hal yang tak terjawab.
Baca selengkapnya
Melihat Masa Lalu Diri Sendiri
Pukul dua belas dua puluh dua menit. Wira mengenakan lagi sepatunya setelah selesai menunaikan sholat dzuhur di Mushola Nurul Iman. Ya, Mushola penuh kenangan tempat pertama kali ia melihat wajah anggun Aisya. Saat itu usianya 10 tahun, sedang Aisya 15 tahun. Aura kecantikannya sudah amat tebal, padahal ia justru lebih sering bergaul dengan anak-anak di bawah usianya.Wira kini berdiri di sisi sepeda motornya. Ia menatap Mushola berjendela banyak itu. Tempat ini tak banyak berubah. Dari arah belakangnya muncul anak-anak yang saling mengejar, dengan mengenakan peci, menyampirkan sarung di pundak dan menenteng iqro’. Astaga, Wira tersenyum. Ia melihat Mushola di masa lalu. Karena kegiatan mengaji dilakukan selepas magrib, bukan lepas dzuhur seperti ini.Dari dalam Mushola, Wira melihat sosok yang tak asing di matanya. Sedang menyapu lantai dan membawa debu dan kotoran ke teras Mushola. Sesekali ia membersihkan debu yang menempel di tiang-tiang Mushola dan kursi pan
Baca selengkapnya
Menjadi Dekat
“Jadi begini, Wir. Aku kan selain jaga gerai, ada online shop juga. Jual pakaian anak-anak gitu lah. Terus aku rasa kok makan waktu kalau harus ke ekpedisi untuk kirim. Bisa nggak sih kalau barangku dijemput aja?” tanya Aisya serius. Perempuan cantik itu meletakkan lengannya di sisi lengan Wira. Salah satunya menopang dagu. Wira yang tak menyangka akan berada sedekat ini dengan Aisya segera menarik lengannya menjauh. Selain kikuk, ia merasakan perbedaan warna yang mencolok di punggung tangan mereka berdua. “Bisa dong, bisa banget!” seru Wira girang. Mulutnya mengunyah burger namun di luar dari kebiasaannya. Ia tentu tak ingin terlihat dan beradab buruk di depan perempuan cantik ini. Gigitannya begitu kecil hingga menyisakan banyak ruang di rongga mulutnya. “Wah, ada layanan itu di ekspedisi kamu? Kok aku nggak tahu ya?” ujar Aisya berbinar. Ia menatap mata lelaki yang terlihat serba salah di hadapannya. Wira sendiri merasa mendapat kejutan bes
Baca selengkapnya
Tetangga Baru
Wira masih terus mengulum senyum di bibirnya. Sepanjang perjalanan pulang sampai kini sudah di rumah ia masih terus menampakkan giginya. Kali ini di depan benda pipih berukuran enam inci. Ia hanya mengucapkan salam pada Mamak yang tengah fokus di balik mesin jahitnya. Lalu mondar-mandir tanpa berkata-kata dengan handuk sudah melingkar di leher. “Girang amat, Wir? Tumben pulang senyum-senyum?” tanya Mamak sambil mengoperasikan lagi mesin jahitnya. Wira tak menjawab, baginya sia-sia menjawab bila mesin jahit Mamak masih bekerja. Lebih baik menunggu sampai mesin itu jeda. Ia duduk si kursi kayu ruang tamu dan mengambil satu kudapan yang ditata apik di piring atas meja. Matanya masih terus menatap gawainya. “Ah, Mak bisa aja,” jawab Wira singkat. Kue tradisional yang tadi ia ambil sudah amblas semua masuk ke rongga mulut. “Nggak pernah-pernahnya begini. Sampe rumah biasanya ngeluh,” sambung Mamak. Wanita itu lalu menunjukkan hasil jahitannya pada serang g
Baca selengkapnya
Mengawasi Tanpa Terlihat
“Berangkat, Mas?” Seru Maya begitu berpapasan dengan Wira di depan pagar rumahnya. Lebih tepatnya menunggu Wira keluar baru ia pun keluar membawa sepeda motornya.“Eh, iya, Tante. Keren amat, Te, pake kacamata hitam segala. Ini kan masih pagi,” seru Wira sambil tersenyum lebar.“Ah, Mas Wira bisa aja.” Senyum Maya menggembang tak kalah lebar. Ia menutup pagar rumah dan menggemboknya.“Si Nadya udah berangkat, Te?” tanya Wira basa basi.“Nadya udah duluan. Kenapa kok cari Nadya? Apa saya kurang cantik? Hmm?” goda Maya sambil menyilangkan kedua lengan di dada.“Hah?” Wira bingung apa yang harus ia katakan.Sejurus kemudian Maya menyadari kekeliruan, ia masih terbiasa dengan perbincangan dengan para pria hidung belang. Perempuan dengan badan padat berisi itu seperti merutuk pada dirinya sendiri. Ia lalu buru-buru menaiki sepeda motornya.“Saya duluan ya, Mas Wi
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
10
DMCA.com Protection Status