Semua Bab Diam-diam Cinta: Bab 41 - Bab 50
74 Bab
41
Dalam sekejap mata, pagi menyublim jadi siang yang mendung. Awan merapatkan diri, membentuk gelombang-gelombang sehalus kapas di langit. Cahaya putih menembus tirai jendela kamarnya. Membangunkan Svaha. Membangunkan Cantra.Cantra bergerak pelan. Merenggangkan tubuh yang mungkin akan terasa ngilu. Menguapkan kantuk dengan rahang-rahang yang dirapatkan. Kemudian mendesah panjang. Ia putar pinggangnya sedikit ke kiri, kulitnya menegang—mengendur dalam waktu singkat. Svaha menangkupkan tangan pada jajaran tulang rusuk yang indah tersebut dan tubuh Cantra yang telanjang. Ia mencium bahu kekasihnya.“Selamat pagi,” Cantra berbisik.“Hm,” sapa Svaha.“Aku lapar.”“Aku juga.”Lalu Cantra berbalik. Dipeganginya tangan Svaha, ia tak ingin Svaha melepaskannya. Ia menuntun jari-jari si lelaki turun menuju gumpalan di bawah tulang pinggangnya.“Tubuhmu…” Svaha ingin memuji,
Baca selengkapnya
42
Veronika sempat memanggil Arkana pengecut dan menjitak kepalanya dua kali ketika Arkana bilang kalau dirinya akan kembali ke kota Harsha. Veronika menyayangkan sikap anaknya yang kurang lapang dada dan tak bisa menerima kekalahan.Arkana bilang kalau dirinya ini bukan robot, ia punya perasaan. Ia tidak bisa menyakiti hatinya sendiri seperti seorang masokis hanya untuk terlihat kuat. Ia butuh pergi supaya tidak ada kerusakan lagi, atau kekacauan lagi. Lalu Veronika menyerahkan kunci mobilnya pada Arkana. Sebagai rasa terimakasih Arkana mendengarkannya mengomel selama satu jam tanpa membantah.Dan, di sinilah Arkana. Ia sudah menyetir selama empat jam ditemani lagu patah hati. Menyisir jalan yang mulai gelap—pohon pinus yang berjajar sebagai pembatas jurang dan kesepian.Arkana berharap Svaha ada di sebelahnya, tapi Cantra lebih berhak atas lelaki itu. Di luar rasa penasaran terhadap Cantra dan tujuannya membantu, Arkana berusaha percaya padanya.&nbs
Baca selengkapnya
43
Terakhir kali ketika Svaha bermimpi Arkana datang ke kamarnya dan mengucapkan selamat tinggal, ia tidak memperdulikannya. Hari ini, ketika mimpi itu datang lagi Svaha bertekad menangkap sosok sahabatnya. Ia mengulurkan tanganku keduanya. Ia ingin memeluk Arkananya. Svaha ingin menciumnya. Svaha merindukannya dan tak akan melepaskannya. Ya, Svaha akan melakukannya, sebelum Arkana bisa mengucapkan selamat tinggal yang menyakitkan. Lagi. Sayang, sosok itu menghilang ketika Svaha membuka mata. Ia tersungkur dari tempat tidur, dengan setengah tubuh di lantai, sisanya masih di atas kasur. Yang ini mimpi sungguhan ternyata. Sambil menarik diri dari ketidak sadaran, ia mencari-cari ponselnya, menghubungi Arkana secepat yang ia bisa. Tapi yang dihubungi tidak menjawabnya. Firasat Svaha jadi buruk. Mungkin Arkana mengira kalau Svaha masih marah padanya. Mungkin ia mengira satu tamparan saja sudah cukup membuat lelaki itu merasa jera. Nyatanya tidak. Svaha tahu
Baca selengkapnya
44
Aku akan mati hari ini. Mungkin aku akan mati hari ini. Itu hanya dua kalimat dari puluhan jeritan Arkana. Sayang jeritan-jeritan itu hanya mengapung di kepalanya. Gadis itu bahkan tidak berani bernafas keras-keras. Ia sempat mempertimbangkan dua kalimat tersebut ketika mobilnya berhenti mendadak di persimpangan jalan dari Lake Side Property menuju jalan utama. Mungkin bensinnya habis. Terus terang, Arkana belum pernah bertanggungjawab terhadap sebuah kendaraan seumur hidupnya. Bukan salahnya, karena baru sekarang Veronika bermurah hati dan mau mempercayakan kendaraan pada anak gadisnya. Mobil itu terpaksa direlakan karena perbuatan curang Arkana. Jadi, bukan salahnya juga jika Arkana tidak memperhatikan signal penunjuk bahan bakar. Arkana tidak pernah menyangka akan kehabisan bensin di saat seperti ini. Ia bahkan tidak yakin kapan waktu yang tepat untuk mengisinya. Apakah tepat saat huruf E berwarna merah, atau segaris dua garis sebelumnya. Tidak ada yang
Baca selengkapnya
45
Hubungannya dengan Cantra selama hampir empat bulan, dan enam jam perjalanan dari kota kecilnya menuju kota Harsha tempat mereka berkuliah ternyata belum bisa membuat Svaha mengenal Cantra lebih dalam. Cantra perempuan yang selalu bersikap baik, ramah dan sopan. Parasnya yang cantik, tubuhnya yang indah serta sifatnya yang pemurah tidak pernah menjanjikan sebuah keterbukaan. Cukup adil, karena Svaha juga kerap menyembunyikan banyak hal dari orang-orang di sekitarnya. Bahkan pada ibunya, Swan. Sampai akhirnya Swan tahu sendiri dan berusaha menghukum Svaha dengan mengambil alih mobilnya. Jadi, akhirnya Svaha menggunakan mobil Cantra. Jangan tanya dari mana gadis kaya itu mendapatkannya. Svaha sendiri tidak mau dikatai gold digger karena merasa untung dengan kebetulan ini. Sempat terpikir oleh Svaha kalau Cantra punya mobil cadangan yang ia tempatkan di seluruh sudut wilayah kota, dan bisa digunakan dalam waktu terdesak seperti ini. Cantra mengijinkan Svaha men
Baca selengkapnya
46
Di antara segala indra manusia yang bertindak dengan insting bebas, penciuman adalah yang paling luar biasa bagi Arkana. Ia tidak hanya membantu Arkana tetap hidup. Menyaring oksigen dari udara dan tetek bengek terapan sains lainya. Hidung bisa mendeskripsikan atmosfer sekitar dan menerjemahkannya dengan fasih jika indra yang lain sedang tidak bertugas. Tentang kewaspadaan dan ketenangan. Kewaspadaan untuk aroma bahan bakar yang tidak pada tempatnya. Bau busuk sampah atau bau keringat berlebih. Semua yang membikin sesak paru-paru dan mengirim signal impulsif. Kadang membuatnya ingin muntah, lebih sering membuatnya marah. Ketenangan untuk aroma yang bersifat lembut. Aroma sisa hujan pagi tadi yang sederhana, bubuk kopi robusta bercampur ampas gilingan jagung yang diseduh dengan air mendidih yang mewakili kata nikmat. Juga, aroma misterius yang tidak bisa Arkana identifikasikan sebelum dirinya membuka mata. Aroma nirvana. Surga. Arkana turun dari tempat tidur s
Baca selengkapnya
47
Svaha sempat khawatir kalau lorong dan lekuk dalam rumah Cantra akan membuatnya tersesat ketika jalan sendiri di dalamnya.  Rumah ini terlihat seperti sebuah kapel dari luar. Atapnya tinggi, terkesan kokoh dengan tekstur bata merah, rimbun tanaman jalar, pintu besar berdaun dua dan gagang besi tembaga. Ketika Svaha masuk, interiornya semakin membuat lelaki itu terkesima. Terkesima sampai ia tidak menyangka kalau ruang tamu rumah tersebut akan menggunakan nuansa periode pertengahan. Svaha tidak berhenti memandang pada lampu gantung, pada hiasan-hiasan berbahan logam yang memaksanya memikirkan naskah Romeo dan Juliet dari penyair Shakespare. Berkali-kali Svaha menelan ludah, saat langkah Cantra menuntunnya dalam lorong sedingin batu pualam, lukisan-lukisan misterius dualisme menyerang pikirannya—lukisan yang memiliki dua bentuk jika dipandang dari sisi dan jarak pandang tertentu. Membawa lelaki itu tiba-tiba ke dalam sebuah jembatan peradaban. Pada hal-hal yang se
Baca selengkapnya
48
“Ding! Dong!” Arkana terkesiap bangun karena suara jam dinding berpendulum milik Cantra menggema dalam telinganya sampai menembus ke dalam mimpi. Sekali lagi hidungnya segera menangkap aroma nirvana dari kayu gaharu di setiap jengkal dinding kamar ini. Beberapa kali Arkana percaya kalau ruang ini memang bisa membuat tidurnya lebih nyenyak dari biasanya. Tapi, malam ini berbeda rasanya. Ini pertama kalinya Arkana mendengar suara jam dinding. Atau, memang kemarin dirinya cukup nyenyak sampai tidak terbangun. Atau, ya. Arkana tiba setelah tengah malam di sini. Tunggu, sudah berapa malam ia menginap di sini? Kaget mungkin bisa membikin linglung. Arkana mendekatkan diri pada meja di samping tempat tidur, menyalakan layar ponselnya, mengabaikan seluruh pesan singkat dari Svaha dan Laung. Membaca angka digital di ujung kiri. Tengah malam hari ke dua. Masih hari yang sama ketika Banu membawakan ayam bakar buatan Cantra ke dalam kamar. Masih hari yang sama dengan kunj
Baca selengkapnya
49
Selain pandai menyimpan masalah dan berakting seolah tak tahu apa-apa, Swan Nirmala adalah wanita yang pandai memaksa. Ia gunakan wajah Savanna yang manis untuk membujuk anak lelakinya setelah Svaha menolak panggilan videonya sebanyak lima kali. Swan mengirim foto Savanna, menulis pesan ‘Savanna rindu kakaknya’ lalu mengancam akan membuat Savanna membenci Svaha di kalimat kedua. Benar-benar kontradiktif. Meski Svaha tahu itu ide yang mustahil. Pada menit ketiga, akhirnya Svaha menyerah. “Mana Savanna?” tanya lelaki itu ketika Swan mengangkat teleponnya. Wajahnya menutupi hampir seluruh permukaan layar. “Dia masih terlalu kecil untuk terpapar radiasi cahaya ponsel. Dia bahkan belum bisa membedakan mana rasa lapar atau sakit perut.” Svaha mencibir, “Apalagi untuk merasa kangen padaku.” “Nah, itu kamu mengerti.” “Tidakkah ibu pikir ini masih terlalu pagi untuk menelepon seorang mahasiswa yang sedang liburan semester?” tanya Svaha dengan n
Baca selengkapnya
50
Meski hanya bertemu beberapa kali dan baru mengenalnya, Arkana belum pernah melihat Banu Bhuana menunjukkan diri tanpa setelan jas atau kemeja hitamnya. Bisa dibilang sekarang mereka tinggal dalam satu rumah yang sama. Di luar letak kamar mereka yang berjauhan, namun melihatnya bersikap terlalu formal setiap saat membuat Arkana agak gerah. Banu berparas tampan, umurnya mungkin sebaya dengan Cantra, atau lebih dewasa dari Cantra. Ia tidak terlihat terlalu tua. Ia seharusnya bersikap seperti anak orang kaya yang lain. Seperti Cantra yang anggun, atau seperti Laung yang sombong. Tapi, ia malah memilih jadi sopir, bukankah ini hal yang aneh? Seperti sekarang ini, si lelaki berbadan tegap sedang menyusun gelas plastik dan botol minuman di atas meja. Arkana segera mendekat karena penasaran. “Boleh aku minta satu?” tanya Arkana pada Banu. Mencoba untuk menyapa dengan cara biasa akan membuatnya bersikap terlalu sopan. Arkana ingin melakukan pendekatan dengan cara yan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status