All Chapters of Jerat Casanova Insaf: Chapter 31 - Chapter 40
118 Chapters
31. Kangen Kasih Hukuman
Berjalan beriringan sampai di depan gang rumah susun, saling diam melirik pun tidak, asyik dengan pikiran masing-masing. Makan malam yang diwarnai obrolan seru dari seorang supir bemo yang menceritakan awal mula perantauannya ke ibu kota. Sakti benar-benar tidak membayangkan bagaimana perjuangan suami isteri itu menghidupi keluarganya. Sementara Gendis dengan pikiran atau lebih tepatnya menahan amarah pada lelaki di sampingnya itu. Bagaimana mungkin lelaki itu selama dua hari berturut-turut bertandang ke rumahnya. Teman lama katanya, darimana kebohongan itu tercipta. Sakti menggulir layar gawainya, mencari aplikasi taksi online yang akan mengantarkannya kembali ke apartemen malam itu. "Makasih makan malamnya," ujar Sakti. "Makasih sama ibu, dia yang ngajak kamu makan malam," sahut Gendis menatap hilir mudik kendaraan di depan mereka. "Sayur asem nya enak ... ternyata rasanya nggak asem tapi manis," kata Sakti lagi. "Ya iyalah, kalo manis namanya sayur manis," jawab Gendis masih m
Read more
32. Casanova Insaf
Sakti melepaskan pagutannya, kening mereka masih menyatu bahkan bibir Gendis masih basah karena ulah Sakti. Baru saja Sakti ingin menautkan kembali bibirnya, Gendis menarik diri. Melepaskan tangan Sakti yang berada di tengkuk lehernya. "Aku minta maaf," ujar Sakti menahan tubuh Gendis. "Aku minta maaf karena nggak cerita dari awal ke kamu. Aku minta maaf karena aku sudah buat kamu kecewa." Gendis melepaskan tangan Sakti dari lengannya. "Please Gendis, maafin aku," bisik Sakti dari belakang tubuh Gendis. Bisa di ciumnya harum tubuh Gendis, bisa di ciumnya semerbak wangi shampoo yang Gendis pakai, bisa dirasakannya tubuh Gendis menegang karena sentuhan lembut tangannya di lengan gadis itu. "Aku punya masa lalu, kelam kata orang, bebas terlalu bebas. Tapi apa untuk orang seperti aku nggak ada kesempatan untuk berubah? berubah jadi lebih baik lagi. Apa nggak di bolehin aku insaf, tobat atau apalah itu. Salah, ya?" "Aku tau kamu kecewa, aku tau kamu takut kejadian Rika bisa aja menimpa
Read more
33. Meyakinkan
"Sakti ...," panggil suara wanita itu. "Itu dia datang," ujar Sakti, beranjak dari tempat duduknya menyambut wanita itu. "Kenapa datang sama dia?" tanya Sakti, sementara gadis yang dia bicarakan hanya tersenyum padanya. "Sekalian, setelah ini Mama mau ke butik," ujar Hanna. "Mana?" tanya Hanna "Oh iya." Sakti menoleh ke belakang, Gendis sudah berdiri di sana. "Sini ... kenalin, ini—" "Ya ampun, ternyata ini ... cantik, pantas aja sampe babak belur," ujar Hanna mengulurkan tangan pada Gendis. "Saya Hanna, mama nya Sakti. Ini Tari, adiknya Sakti," kata Hanna. "Tari," ucap Tari. "Cantik, Mas ... pantesan rela babak belur," ujar Tari sambil tersenyum. "Babak belur?" Gendis heran. "Oh, berarti luka di pelipis kamu itu—" "Katanya jagoan," goda Hanna menarik kursi duduk di hadapan Gendis. "Gendis ini yang tinggal di rumah susun itu, kan? gara-gara Gendis sekarang Sakti sering pulang ke rumah. Waktu pertama kali Mama di ceritain, Mama nggak percaya masa seorang Sakti bisa dapet gadis m
Read more
34. Merencanakan Masa Depan
Gendis dan Tari duduk di ujung kafe menunggu Hanna yang masih bertemu dengan salah satu pemilik butik di seberang kafe itu. Ini adalah kali ketiga pertemuan mereka, ada saja Hanna atau Tari tiba-tiba mengirim pesan untuk bertemu, sekedar makan atau menemani Hanna berbelanja. "Ibu itu, orangnya asyik Mbak. Beda dengan bapak ... bapak kalo dengan orang lain terkesan dingin. Tapi beda kalo sudah berdua dengan ibu," jelas Tari. "11 12 sama Mas Sakti kalo bapak itu, kalo ngeliat kita pertama kali kayak berasa mau nelan orang. Serem," kekeh Tari. "Tari betah ya tinggal dengan mereka?" tanya Gendis. "Iya, karena memang dasarnya baik sih, jadi ya aku nikmati aja. Apalagi sampe di sekolahin, Mbak ... entah apa aku harus balas semuanya." Raut wajah Tari bersinar. "Tari beruntung," ujar Gendis. "Iya, tapi terkadang banyak juga yang merasa nggak suka sama aku, Mbak. Padahal ibu dengan suka rela menolong aku dan panti asuhan." "Enggak suka gimana?" tanya Gendis mengerutkan alisnya. "Mereka k
Read more
35. Kekhawatiran
"Ngapain kamu kesini? belum puas kamu hancurin hidup aku?!" Rika berteriak hingga seluruh mata menatap dia dan Reno, saat Rika keluar dari ruang terapinya. "Sus, tolong di percepat antar saya ke mobil," ujar Rika pada perawat yang mendorong kursi rodanya. "Ka ... tolong denger dulu. Aku minta maaf, aku salah Ka. Kita bisa bicara baik-baik," mohon Reno. "Sus, tolong lebih cepat." Rika mengacuhkan Reno hingga sampai di depan lobi, supir Rika sudah menunggu. "Ka ...." "Cukup, Reno! Kamu mau bicara baik-baik yang seperti apa? semua sudah aku lakukan, sampai bersimpuh di kaki kamu pun sudah aku lakukan, kalo dulu kamu meng-iyakan permintaan aku, ini semua nggak bakal terjadi. Anak aku pasti masih ada! Hanya sampai dia lahir, lalu kita berpisah hanya itu keinginan aku ... aku nggak nuntut apa-apa. Sekarang setelah dia pergi, kamu baru mau bilang AYO BICARA BAIK-BAIK! kamu nggak punya OTAK! kamu nggak punya PERASAAN!" Suara Rika meninggi, emosinya meledak, semua mata tertuju pada mereka
Read more
36. Berhenti Di Kamu
Sudah 20 menit Sakti duduk di ruang tamu sekaligus ruang keluarga rumah Gendis. Sesekali dia melirik Gendis yang duduk di sampingnya sedang melipat baju-baju yang baru saja Gendis angkat dari tempat jemuran. Satu cangkir berisi teh manis hangat pun sudah di sediakan Gendis untuk Sakti. Terkadang tangan usil Sakti dengan sengaja menusuk pinggang gadis itu, hingga mata Gendis melotot alih-alih takut kelakuan kekasihnya itu ketahuan oleh orang di rumahnya. "Itu pakaian dalam kamu?" bisik Sakti saat tangan Gendis melipat pakaian dalam berwarna hitam dengan renda di tengahnya. "Sakti!" geram Gendis dengan mata membola. "Apa?!" Sakti menjawab seraya berbisik. "Usil," ujar Gendis dengan senyum terkulum. "Aku nanya, Gendis. Bener nggak?" Tangan Sakti lagi-lagi mencubit kecil pinggang Gendis "Apaan sih?" Cepat-cepat Gendis memindahkan pakaian dalam miliknya. "Lucu," kekeh Sakti. Suara Hendro yang baru saja datang membuat pasangan kekasih itu menoleh ke belakang. Hendro dengan handuk kec
Read more
37. Berbagi Kebahagiaan
"Aku sebentar lagi kesana, jangan gugup santai aja," ujar Sakti pada Gendis melalui sambungan telepon pagi itu. "Tunggu aja, ya." Sambil meyakinkan Gendis agar kekasihnya itu tetap percaya diri saat menghadapi sidang skripsi pagi ini. Baru saja Sakti menyudahi percakapannya dan bersiap untuk menemui kekasihnya, Satyo Anggara datang tiba-tiba dan duduk di sofa ruangan itu sambil menyilangkan satu kaki ke kaki yang lainnya tanpa melihat Sakti. "Malam nanti ikut Papa sama Mama makan malam di restoran tempat biasa, Sak ... teman Papa dari Jerman mengundang kita untuk bertemu dengan keluarganya," ujar Satyo. "Oh ... tapi, aku mungkin agak sedikit telat." Sakti menutup laptopnya lalu melangkah mendekati sofa dan duduk di sana. "Papa tunggu, karena ada pembicaraan yang harus di bahas juga nantinya, Papa buruh persetujuan kamu." Satyo memperhatikan gerak gerik Sakti. "Kamu mau kemana? meeting?" "Ada pertemuan di luar, mungkin sampai sore. Mungkin nanti aku agak telat sampai di restoran. M
Read more
38. Tamu Dari Jerman
Sakti mengusap bibir Gendis yang basah karena ulahnya. Berciuman dengan posisi berdiri seperti ini paling di sukai oleh Sakti, entah lah mungkin lebih terasa debarannya. Sakti menarik sudut bibirnya, gadis yang berdiri di depannya itu masih memejamkan matanya, ciuman Sakti wmmang memabukkan. "Setelah ini kita makan, lalu aku antar kamu pulang," ujar Sakti kembali mencium sekilas bibir basah itu. "Aku ada janji sama papa, dinner dengan klien." Gendis mengangguk, kalau masalah pekerjaan Sakti memang tidak dapat di ganggu gugat, apalagi kalau sudah membawa nama Satyo, ayahnya. Sudah pasti itu adalah klien besar, pikir Gendis. Setelah menikmati masakan Bik Sumi sore itu sebagai perayaan kelulusan Gendis, Sakti mengantarkan gadis itu pulang ke rumah susun. "Aku nggak nganter sampe rumah, ya ... enggak apa-apa, kan?" "Enggak apa-apa, kamu hati-hati di jalan, ya." Gendis melepaskan sabuk pengamannya. "Hei," cegah Sakti saat Gendis akan turun dari mobil. "Apa?" "Ini," ujar Sakti menu
Read more
39. Keinginan Satyo
Sakti meletakkan garpu dan sendok dari genggamannya, dia menunggu perihal apa yang akan di sampaikan oleh dua orang lelaki yang berada di depannya. "Maya itu bisnisnya sedang maju di Indonesia, sudah dua tahun dia menjalankan bisnisnya dari Jerman. Karena Papa sudah kenal bibit, bebet dan bobot keluarganya, jadi keinginan Papa saat ini adalah menikahkan kalian berdua selain mempererat hubungan silaturahmi kedua keluarga, juga bisa memperbesar perusahaan kita agar semakin kokoh, apalagi usaha Maya di bidang fashion ini sudah terlihat hasilnya." "Maaf, Pa—" "Tapi Sak, yang harus kamu tau ... sebenarnya dari dulu semasa kalian kecil niat perjodohan ini sudah ada. Saat istri Om masih ada, dia berpesan agar Maya mendapatkan lelaki yang sepadan dengan kami." Billy menoleh pada Maya. "Maaf, Om ... tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Om dan keluarga, saya tid—" "Pertunangan kalian akan dilaksanakan minggu depan," kata Satyo menatap tajam pada Sakti. "Ma?? Mama nggak bisa diem aja ka
Read more
40. Jangan Dengar Kata Orang
"Maaf ya, aku nggak bisa," kata Gendis sambil mengancing kemejanya. "Karena aku ngerasa ini belum waktunya," ujarnya lagi lalu kembali berbaring di samping Sakti. "Aku yang minta maaf, aku yang terlalu terburu-buru," ujar Sakti menelusup masuk ke dalam pelukan Gendis, wajah lelaki itu tepat di depan dada Gendis. "Maaf ya," ucapnya lagi. "Hhmm." Gendis mengangguk pelan, debar jantungnya mulai teratur. Setengah jam lebih Sakti mencumbunya, membuatnya terbang ke langit dengan sentuhan-sentuhan yang Sakti berikan walau hanya di dada. Kegiatan itu berhenti saat tangan Sakti pelan-pelan masuk ke celah celana panjangnya. "Antar aku pulang, ya," bisik Gendis lembut. "Nanti, sebentar lagi ... di sini dulu," ujar Sakti mengeratkan kembali pelukannya. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam sudah, Sakti dan Gendis tertidur masih dengan posisi saling memeluk. Hujan di luar sana semakin membuat mereka nyaman satu sama lain, hingga dering ponsel Gendis mau tak mau membuatnya harus membuka mata. "
Read more
PREV
123456
...
12
DMCA.com Protection Status