Semua Bab Pernikahan Rahasia Dengan Tuan Muda Berandal: Bab 141 - Bab 150

"Aku tahu mereka cuma dijebak. Karena jebakan itulah, aku tidak tega pada Lourdes, Papa. Terlebih berita ini terlanjur tersebar dengan narasi-narasi yang memojokkan Erland. Gadis malang itu bisa terlibat. Mungkin dipecat dari pekerjaan?" ucap Maureen tegas, menatap mata Tuan Diandra. Suaranya tenang, tapi ada getaran halus di ujung kata-kata—seolah menahan badai emosi. Tuan Diandra memandangnya dengan mata yang menilai, lalu menghela napas kasar. “Maureen… kamu tahu aku tidak hanya sayang pada Erland, tapi juga menyayangimu seperti putriku sendiri. Tapi….” Beliau berhenti sejenak, tidak tahu harus melanjutkan apa. Dia ingat dalam perjanjian pranikah itu jelas tertulis apabila salah satu selingkuh, maka pernikahan batal secara otomatis. Mengerti perasaan mertuanya, Maureen tersenyum getir. "Disini aku adalah pihak yang paling sedikit menanggung kerugian. Tidak ada yang tahu siapa aku. Tapi, Erland? Dia bisa jadi bulan-bulanan netizen andai tidak bertanggung jawab." Tuan Diandra memij

“PERPECAHAN PASANGAN PALING ROMANTIS TAHUN INI. CLARISSE DAN ERLAND BERSETERU!”Maureen termangu saat membaca judul yang menjadi headline acara gosip di televisi. Jantungnya berdegup lebih cepat karena tahu kalau acara ini akan menyentuh luka yang baru saja tergores.Meski begitu, dia tetap ingin tahu apa saja yang akan di katakan oleh Erland. Maka, Maureen menarik napas panjang dan menghembuskannya lalu duduk di sofa. Wajahnya tampak serius menyimak setiap kata yang diucapkan oleh Erland.Di layar televisi, tampak Erland duduk di tengah meja panjang dengan logo agency di belakangnya. Di sisi kanan-kirinya ada beberapa orang bersetelan jas hitam, kemungkinan pengacara atau perwakilan dari agency yang menaungi Erland."Wow! Erland gercep juga menangani ini," gumam Maureen, kagum campur penasaran.Di televisi, Erland memdekatkan mulutnya ke mikrofon kemudian dia mulai bicara. "Petama-tama saya mau minta maaf,” katanya pelan tapi jelas, “Ya. Video yang beredar itu, saya akui, memang be

Saat kesadarannya kemball, Maureen mendapati dirinya sedang berlutut di jalanan.“Shhh..., perih,” rintihnya, menatap lutut dan telapak tangan yang berlumur debu dan goresan darah.Dibelakangnya, suara-suara riuh terdengar, perlahan tapi pasti masuk ke dalam kesadarannya -- langkah kaki tergesa-gesa dan percakapan orang-orang."Panggil Ambulans!""Kecelakaan?""Bagaimana kondisinya?"Tak jauh dari sana, di tengah jalan, seseorang tergeletak dengan posisi tubuh miring. Seperti sedang menahan sakit. Maureen mengenali postur itu."Rein?!" pekiknya terkejut.Serta merta Maureen meloncat, lalu berlari dengan kaki sedikit diseret karena lututnya perih.Mengernyitkan wajah, Reinner berusaha berguling kearah Maureen tapi kakinya kebas. Akhirnya, dia hanya bisa menoleh dengan wajah pucat menahan sakit."Reen? Kamu tidak apa-apa? Bagian mana yang sakit?” tanyanya, di sela napasnya yang mulai pendek-pendek. Sakit di kakinya terasa menjalar hingga ke seluruh tubuh. Maureen berlutut di depan Rein

Tapi tentu saja Reinner tidak berani mengucapkannya.Sebaliknya, ia menarik napas perlahan dan berkata pelan, “Kalau kamu merawatku, bagaimana dengan rencana masa depanmu? Kamu sudah lulus. Kamu ingin mengerjakan apa?”Maureen terdiam. Pertanyaan yang sederhana itu seakan mengingatkan dia pada situasi yang dihadapinya saat ini.Dia tidak hanya resmi berpisah dengan Erland, tapi juga sudah mengundurkan diri dari Diandra Grup. Papa mertuanya, juga memberi kompensasi dan tunjangan bulanan yang jumlahnya fantastis. "Tapi bukan berarti kamu harus bekerja, Reen. Aku tahu kamu punya kemampuan. Kamu mengerjakan sesuatu karena suka, bukan karena harus bekerja," ralat Reinner buru-buru, "O'ya. Bekerja atau tidak, kamu sangat senang kalau kamu mau terus bersamaku."Reinner tidak ingin Maureen salah paham. Menanggung biaya hidup Maureen seumur hidup bukan masalah baginya, justru itu impian Reinner."Aku paham maksudmu. Jujur saja saat ini, aku belum memikirkannya. Aku cuma ingin kamu sembuh, Rei

Jarak mereka kini tinggal sejengkal. Reinner bahkan bisa meraskan helaan napas Maureen. Wajahnya mendekat dan waktu seakan melambat. “Selamat pagi, Tuan Reinner.” Suara lembut itu datang bersamaan dengan suara ketukan pintu dan langkah kaki yang mendekat. Terkejut, Reinner refleks langsung menarik wajahnya yang tadi berjarak hanya beberapa sentimeter dari wajah Maureen. Suster datang. Seketika Reinner menoleh, wajahnya sudah kembali tenang. Dia melihat suster bergerak dengan segala peralatannnya, Reinner buru-buru memberi isyarat. Dia meletakkan jari di depan bibirnya, lalu menunjuk ke arah Maureen yang masih tertidur lelap. Suster itu tertegun sejenak, lalu menutup mulut dan mengangguk pelan. Senyumnya tersungging lembut, penuh pengertian. Dia berjalan mendekat tanpa suara, lalu berkata pelan, “Permisi, Tuan. Saya hanya ingin memeriksa keadaan Anda sebentar.” Reinner mengangguk, dan mempersilahkan suster melakukan tugasnya. “Lukanya tampak membaik. Tidak ada pembengkakan baru