Udara di Pegunungan Thalyr dingin, menggigit, dan terlalu sunyi. Kabut menggantung di sela-sela batuan curam, seolah gunung itu menahan napasnya sendiri. Cahaya sore menembus tipis melalui celah awan, menyinari reruntuhan kuil tua di lereng timur. Alura berdiri di bibir tebing, jubahnya berkibar ditiup angin. Napasnya berembun, dan untuk pertama kalinya sejak keluar dari menara, ia merasa tubuhnya benar-benar letih. Bukan karena luka. Tapi karena beban yang kini tidak bisa lagi ia lepaskan. Rafael muncul dari balik reruntuhan yang hancur sebagian, membawa kantung air dan selembar kain usang. “Yang ini cukup bersih untuk alas tidur. Tidak nyaman, tapi cukup kering.” Ia menaruhnya di atas batu besar yang sedikit terlindung angin. Arga duduk agak jauh, di bawah lengkungan batu yang dulunya gerbang utama kuil. Ia diam, seperti menyatu dengan bayangan. “Kau masih gemetar,” kata Rafael, memandangi tangan Alura yang belum benar-benar diam. “Tubuhku belum terbiasa dengan kekuatan ini,”
Terakhir Diperbarui : 2025-07-11 Baca selengkapnya