Lahat ng Kabanata ng Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia : Kabanata 261 - Kabanata 270

Tak berapa lama, beberapa tetangga Bumi datang bersama Ketua RT. Seorang ibu paruh baya menatap ke seluruh ruangan dan bertanya heran kepada Bumi, “Bumi, kok nggak ada pelaminan?” Ketua RT langsung menanggapi santai, “Pelaminannya pindah-pindah, Bu.” Bumi tertawa. "Ini Sita, Pak, Bu... istri saya," kata Bumi memperkenalkan Sita. "Lha ini bayi siapa?" Kali ini Bu RT yang heran saat melihat Sita menggendong bayi Niskala. "Halo Tante... saya keponakan Bibi Sita," kata Sita sambil mendekatkan Niskala ke Bu RT. "Ini anak teteh saya, Bu... itu teteh saya sedang ngobrol sama Ibu dan Ayah." Bu RT mendekati Sita, berbisik tetapi cukup terdengar oleh yang lain, "Jaga Bumi ya... dia anak baik. Jaga baik-baik." Sita mengangguk lalu memeluk Bu RT. "Akan saya jaga, Bu." Triya dan Aveza menyusul kemudian. Begitu melihat gaya

Tari menatap layar itu lama. Lemah gemetar di ujung jarinya tidak sampai menjatuhkan ponsel, tetapi terasa jelas.Ia menarik napas, pelan, seperti sedang memastikan dirinya sendiri masih ada di sana.Tari menyandarkan punggung ke sandaran ranjang, ponsel masih di tangannya. Ia menggulir perlahan, membuka foto kedua, lalu ketiga, lalu kembali lagi ke awal seolah ingin memastikan ia tidak salah lihat."Biasa saja, fotonya," pikirnya sekilas, mencoba nada datar. "Bukan pesta besar. Bukan gedung mewah. Bajunya sederhana. Tidak ada pelaminan. Tidak ada glamornya."Namun, pikirannya tidak berhenti di sana.Ada sesuatu dalam ekspresi mereka yang membuat kata “sederhana” terasa seperti kelebihan, bukan kekurangan. Sebuah ketenangan yang tidak dibuat-buat. Tidak ada kesan sedang memamerkan kebahagiaan, tapi justru itu yang membuat kebahagiaan tampak lebih meyakinkan.Tari mengerj

“Kalau kalian tinggal di Kanada selama berbulan-bulan atau bahkan setahun,” kata Ayah, “begitu pulang, jangan langsung pergi lagi. Tinggallah yang lama di sini. Rumah ini… kalau kosongnya terlalu lama, rasanya tidak enak.”Sita mencium tangan Ayah sambil tersenyum. “Rumah kami kan di sini, Yah. Tenang saja.”Ibu menambahkan, masih dengan nada pelan, “Dan jangan biarkan kami tahu dari berita. Kalau ada apa-apa, telepon. Kabarin. Kalau kedinginan di sana, bilang. Kalau kamu sakit, Bumi, bilang. Kalau Sita capek, bilang. Jangan tahan-tahan.”Bumi mengangguk dengan cara yang membuat kata-kata itu benar-benar terasa masuk ke dirinya. “Saya janji, Bu. Kami tidak akan menjauh lebih dari kabar.”Suasana sarapan itu sempat kembali diam. Tapi bukan diam canggung—melainkan diam yang penuh penerimaan. Seolah masing-masing sudah menimbang kehilangan, tetapi juga melihat kebanggaan.Sita kemudian beruja

Bumi terkekeh dan menyandarkan bahunya ke bahu Sita. Api di perapian sesekali berletup kecil, menguatkan suasana hangat di antara mereka. “Ayah dan Ibu pasti memaksa datang,” ucap Sita tiba-tiba. Bumi menggenggam jemarinya lembut. “Elise sudah menduga itu. Tadi dia bilang begitu. Dia sangat paham orang timur,” kata Bumi. “Kang…” bisik Sita, hanya memanggil, bukan memulai obrolan. Ia mengusap rambut suaminya yang kini duduk di karpet tebal di depan sofa. “Sitasay…” balas Bumi dengan mata terpejam. “Terima kasih untuk semuanya… untuk korek api yang kau pinjam, untuk duduk bersamaku malam itu.” Sita tertawa kecil dan menyandarkan kepala ke pundaknya. “Ya Allah… itu terdengar seperti lagu lama yang masih enak didengar.” Bumi menoleh dan berlutut, lalu menciumi ubun-ubun Sita. “Aku tak berbohong waktu kukatakan kau seluruh aksaraku.”

Setelah kepulangannya dari Oscar, rumah besar Ayah dan Ibu Sita mendadak jadi semacam ruang rapat tak resmi dunia perfilman Indonesia. Halaman depannya yang luas tak pernah benar-benar sepi. Mobil-mobil SUV, sedan tua elegan, sampai motor kru produksi datang silih berganti. Para sutradara, produser, penulis skenario, dan aktor menyebut kunjungan mereka sebagai “silaturahmi kreatif”, tapi sebagian besar datang dengan satu maksud: bekerja sama dengan Bumi.Di ruang tengah yang dulu sering dipakai Ayah dan Ibu mengobrol bersama Sita dan Bumi, obrolan demi obrolan bergulir. Ada yang membawa ide film dan ingin Bumi menuliskan naskahnya. Ada yang menawarkan posisi co-producer atau konsultan kreatif untuk proyek yang sudah mereka rancang. Sebagian datang hanya untuk mendengar pendapatnya tentang perkembangan sinema Indonesia. Bumi tidak selalu mengiyakan, tapi ia juga tidak menolak secara kasar. Ia mendengar, menanggapi pelan, dan kadang meminta waktu untuk berpikir. Sua