All Chapters of Paman Untuk Ibuku: Chapter 41 - Chapter 50

Ivana dan Haris saling melempar pandang. Tak menyangka, kedatangan Dalia, Ibu dari Alisha akan datang tanpa pemberitahuan ataupun kabar apapun. Selain itu, perkataan Dalia saat ini, sungguh membuat mereka bingung, terutama Ivana. Karena selama ini mereka selalu memperlakukan Alisha begitu baik dan—bahkan menganggap Alisha sebagai putri mereka sendiri. “Saya mau jemput Leon. Hari ini juga.” Ucapnya mutlak, tanpa bantahan. Leon dipelukan Dalia, masih belum mengerti situasi. “Eum … Mbak, saya gak tahu kenapa Mbak Dalia tiba-tiba mau bawa Leon. Kami berdua juga gak tahu kalo Alisha malah pergi gitu aja tanpa sepengetahuan dari kami,” Ivana berusaha menengahi, memberi pengertian terhadap Dalia. “Kamu juga selalu memperlakukan Alisha dengan baik, begitupun dengan Sebastian.”“Justru itu masalahnya, Mbak Ivana.” Perkataan Dalia sanggup menghentikan pemikiran Ivana. Wanita dengan status janda itu nampak lembut namun juga tegas. “Saking baiknya Sebastian terhadap putri saya, Alisha sampai m

Sebastian berdiri termenung, tepat didepan rumah milik Alisha. Berharap bisa bertemu dengan perempuan itu, lalu meminta maaf secara langsung, secara tulus. Namun siapa sangka, rumah itu sudah terjual, dan penghuninya sudah pergi entah kemana. Sebastian jatuh terduduk, wajah lelahnya terlihat kecewa nan kentara. “Dia udah … pergi?” Bagaimana ini? Jika sudah seperti ini, apakah dirinya harus menyerah saja? Hari terakhir dirinya bertemu dengan Alisha, saat mengobrol di tepi kolam waktu itu. Ia tak menyangka jika obrolan itu akan menjadi hari terakhir dirinya bertemu dan bertegur sapa dengannya. “Kenapa? Kecewa? Iya?” Wajah yang di penuhi kekecewaan itu perlahan menoleh ke arah samping. Melihat kedatangan seseorang yang sangat ia kenali. Reksa tersenyum sinis, seolah orang yang sedang berada di bawahnya adalah sebuah objek hinaan. “Semua ini salah lo, Sebastian. Lo udah nyakitin Alisha, disaat luka dihatinya masih terlalu basah.” Pria itu tertawa dengan kepala tertunduk dalam. Lalu s

Sebastian berdiri tegap, dengan pandangan menyorot penuh makna pada sosok di depannya. 3 tahun sudah berlalu. Dan selama itu pula, Ivana berdiam diri di atas kursi ayunan berwarna cokelat tua dekat taman belakang. Kedua matanya menyiratkan kekosongan tanpa makna dan arti. Tidak ada cahaya didalam mata itu, sinar redupnya telah musna, layaknya pasir laut yang terbawa ombak. Setelah kepergian Alisha dan Leon, Ivana seringkali berdiam diri dan melamun. Usaha Haris untuk mencari mereka pun, tak membuahkan hasil. Dia tahu bahwa Alisha dan Leon pergi ke Luar Negeri, tapi tidak tahu di Negara mana. Namun, tidak ingin menyerah, tanpa sepengetahuan Haris, ia mencoba mencari tahu sendiri. Dari Amerika, Australia, bahkan Rusia, sudah ia jelajahi, namun hasilnya nihil. Yang lebih anehnya lagi, setelah pertengkarannya dengan Reksa, pria itu juga ikut menghilang tanpa memberitahunya. Perusahaannya masih aktif dan seringkali melakukan kerjasama, hanya saja pemimpinnya tidak ada. Hanya melakukan

“Dia …” Reksa menggantungkan kalimatnya. Sebelum melanjutkan pria itu menoleh kesamping, untuk melihat reaksi Alisha. Leon duduk di bangku belakang. “Bastian?”“Hm,” Alisha terdiam sejenak. “Gak sengaja ketemu tadi depan sekolah.”Reksa menganggukkan kepalanya, mengerti. Benar apa kata Alisha. Tidak mungkin juga mereka punya janji temu kan? Sedangkan Alisha baru saja pulang dari Jepang 3 hari yang lalu. Dan perempuan itu langsung mendaftarkan putranya sekolah karena Leon ngotot ingin cepat-cepat sekolah.“Apa perlu kita pindah apartemen? Siapa tahu dia nyuruh orang-orang pribadinya buat ngikutin kamu.”Alisha menggeleng, menolak. “Gak perlu, Reksa. Aku juga gak papa. Gak mungkin dia berbuat senekat itu. Dia juga … udah mulai berubah sekarang.”“Gak ada yang tahu gimana dia selain dirinya sendiri, Al. Kamu tahu sendiri gimana sifat dan watak dia. Kalo pengen sesuatu, pasti dia bakal dapetin itu gimanapun caranya.”“Tapi aku gak papa. Semuanya udah berlalu … 3 tahun kan? Lagipula, aku b

“Bunda, gimana kata Dokter?”Dalia yang sedang berbicara di sebrang sana sedikit berisik. Alisha sedikit menjauh ponselnya. Lalu mendekatkannya kembali. “Kata Dokter, Bunda baik-baik aja, Al. Kamu udah selesai disana? Mau dijemput bareng?”Alisha melirik kearah samping. Tadi … Sebastian menawarkan untuk mengantarkannya pulang. Alisha sempat menolak, namun saat melihat wajah kecewa pria itu, ia jadi tidak tega. “Gak usah, Bunda. Aku pulang dianterin sama, Tian. Biar Binda langsung pulang sama Reksa.”Sempat tidak ada jawaban dari sebrang sana, Alisha yakin pasti Bundanya tengah memikirkan sesuatu. Atau mungkin Bundanya itu tidak setuju sama sekali. Namun, jawaban Dalia sungguh membuat hatinya sedikit lega.“Ya udah gak papa. Langsung pulang ya? Jangan main-main lagi.”“Iya, Bundaa.”Sambungan telepon dimatikan. Alisha meletakkan kembali ponselnya ke dalam tas. “Udah?”Alisha mengangguk kecil. “Udah.”“Ayo masuk.” Mereka bertiga akhirnya masuk. Sekarang Leon sudah berani duduk di kursi