Semua Bab Paman Untuk Ibuku: Bab 61 - Bab 70

Di Sekolah, tepatnya di Kelas, murid-murid. SD kelas satu masih belajar. Saat Guru masih sibuk menjelaskan materi, ada beberapa anak yang enggan mendengarkan. Ada pula duduk diam mengamatinya. Salah satunya adalah Leon. Dari kebanyakan murid, Leon salah satunya yang paling aktif bertanya. anak itu bahkan menjadi kembanggan Guru di Kelasnya. Leon memang terlahir sangat cerdas dan juga pintar. Hari ini Guru Nanda, mengajar. Dia menugaskan untuk para muridnya menggambar keluarga Kecil mereka. Yang terdiri dari Ayah, Ibu dan juga anak. Leon tersenyum saat mendengar. Karena sekarang dia sudah punya sosok Ayah, jadi dirinya akan menggambar.Belum sempat untuk mencoretkan beberapa gambar di atas buku putih itu, salah satu temannya mengambil pensinya dengan gerakan cepat. Leon tahu siapa pelakunya. Lantas dengan tatapan sangar, anak itu menoleh dengan bibir menipis. “Kembalikan pensil aku!”Anak yang yang menjahili Leon tadi, menolak, menjulurkan lidahnya, mengejek. Dia bernama Haikal. Sala

Jemari lentik itu tengah menggenggam sebuah bolpoin hitam. Menggerakkannya—seolah tengah mempermainkannya. Pikirannya disibuki oleh setumpuk berkas dan beberapa laporan tentang data Perusahaan. Bagaimana seberapa banyak saham yang akan diberikan oleh Mandala Group untuk perusahaannya, dan juga ada satu lagi yang ingin dirinya berinvestasi. Sebastian merasa jika waktu luangnya sekarang telah musnah dan pergi entah kemana. Dirinya juga tidak bisa menikmati momen kebersamaan dengan Alisha dan juga Leon. Pasti mereka tengah menunggu untuk bepergian selama libur sekolah anak itu. Alisha juga tidak pernah menuntutnya. Istrinya kerap kali membahas bagaimana jika libur sekolah ini mereka pergi ke luar negeri? Istrinya akan berpendapat, tidak mendorongnya ataupun memaksa. Suara dering telepon disebelahnya menggema karena ruangannya yang sangat senyap. Sebastian mengangkat dengan sedikit kesal. “[Ada apa?]” “[Maaf, Pak Bas. Saya mengganggu waktu anda. Ada yang mau bertemu dengan Bapak.

Alisha masih terbaring nyenyak diatas ranjang. Sedangkan pria itu, sudah bangun terlebih dahulu dengan setelan jas yang sudah rapi. Dia melangkah pelan kearah ranjang, ingin melihat wajah sang istri. Sebastian sedikit membungkuk untuk mengecup beberapa kali wajah lelap itu. Sebastian segera pergi. Namun sebuah cekalan terasa dilengannya. “Kenapa, hm?” Perempuan itu ternyata sudah duduk dengan kedua mata sedikit terpejam. Jemarinya terangkat menggosok matanya yang sedikit sepat. “Mau kemana?” “Kerja. Mau ikut?” “Ngapain aku harus ikut?” Sembari merentangkan kedua tangan menyuruh pria itu memeluknya. Sebastian menurut tanpa perlawanan. “TemenIn aku di kantor.” “Dih!” Tubuhnya sedikit terhuyung kebelakang. Bukannya bangun dan cuci muka, Alisha malah lanjut ingin tidur lagi. Bahkan istrinya sudah jarang sekali mengurus putranya untuk pergi ke sekolah. Bukannya tidak mau, tapi Ivana bersikeras ingin melakukan tugas itu, dan tidak memperbolehkan Alisha melakukannya. Jadi mena

“Kalau dilihat-lihat, ternyata Leon itu gak mirip sama Bastian sama sekali ya?”Alisha yang sedang memotong kue dengan bagian kecil-kecil untuk putranya, lantas meletakkan makanan itu diatas meja kembali. Kepalanya menunduk sebentar lalu mendongak dan menghembuskan nafas, kasar. Sudah dibilang kan, kalau Calista memang ingin membuat masalah dengannya? Sedari tadi saja sudah menyinggungnya? Alisha tidak tahu alasan kenapa perempuan ini mengganggunya seperti ini?“Ekhem, Calista, kamu … gak ada kerjaan ya?” Perempuan itu terperangah karena tidak menyangka jika Alisha akan membalasnya dengan sikap setenang ini. Padahal, perkataannya barusan bisa dibilang sangat menyinggungnya. “Kalau Leon emang gak mirip sama Tian, memangnya kenapa?”Setelah ditanya seperti itu, Calista terlihat kelabakan. Dia tidak tahu harus berkata apalagi. “A-aku-““Lebih aneh lagi, kalau Leon itu mirip kamu.” Ucap Alisha sewot, sedikit menyentil perasaan perempuan itu.Salah siapa menyinggungnya? Padahal sedari tadi

“Bagaimana, Bas? Kamu sudah mencari tahu siapa dalang dibalik turunnya saham kita?”Haris yang sedang duduk berseberangan dengan Sebastian, kini menatap lurus kearah sang putra. Menurutnya masalah ini tidak bisa ditolerir lagi. Jika dibiarkan, akan menyebabkan runtuhnya perusahaan dan juga anak perusahaan. Helaan nafas terdengar ketika Haris melontarkan sebuah pertanyaan. “Aku sudah tahu siapa pelakunya. Hanya saja … aku gak yakin kalau Papa bisa denger ini.”“Siapapun dia, meskipun temen yang sudah memulai bisnis bersama Papa, gak peduli seberapa dekatnya, Papa siap, Bas. Sudah cukup kamu menghandle semua ini.”“Aku melakukan ini demi keluarga kita, demi perusahaan yang sudah lama Papa bangun.”“Papa mengerti.”Setumpuk berkas sudah ia baca beberapa kali. Memang ada sedikit kejanggalan dari semua data didalam komputer dan juga berkas itu. Apalagi uang yang lambat laun semakin berkurang, membuat dirinya curiga jika memang ada seorang pengkhianat atau mata-mata.“Lalu … apa yang akan k