Sekolah Menengah Atas, latar belakang dari setiap cerita cinta yang dibalut seragam putih kelabu, topi, dasi dan bahkan sabuk hitam yang selalu hilang dua jam sebelum upacara bendera. Tapi sayangnya, riuh merah jambu itu hanyalah bualan dongeng pengantar tidur. Sekolah sebenarnya tak lebih dari tempat berkumpulnya jiwa-jiwa murung yang terkungkung dibalik buku-buku tebal, rantaian peringkat ujian, dan harapan gemilang masa depan.
Pagi ini, diantara beriak cahaya mentari yang berpadu dengan riuh tawa sebelum pelajaran pertama dimulai, seorang lelaki dengan hoodie abu-abunya berjalan gontai. Sesekali, kakinya dengan sengaja menyapa dedauan kering yang luput dari runcing sapu lidi. Ia selalu membenci hal-hal yang rapuh, entah itu daun menguning atau lukanya yang tak kunjung kering.
Seiring dengan nafasnya yang kian memberat, lelaki itu menghentikan langkah dipersimpangan koridor. Matanya bergulir kesembarang arah mencari sesuatu –yang sebenarnya ia sendiri masih ragu. Setelah sekian detik pencarian kosong, manik matanya menangkap seorang gadis berambut panjang yang sedang menatap hampa papan majalah dinding. Wajah gadis itu nampak lebih bersahabat daripada keramaian asing disekelilingnya.
“Permisi.” Ucapnya lirih.
Gadis berambut panjang itu menoleh sedikit terkejut, “Iya?” jawabnya sembari mengibarkan senyum.
“Ruang guru dimana ya?”
Mendengar pertanyaan itu, mata cokelat sang gadis menjamah ragu ke tiap badge yang dijahit serampangan pada seragam lelaki dihadapannya. Anak baru, begitu pikirnya. “Lurus aja habis itu belok kiri.” Ujarnya sambil menunjuk koridor paling muram disekolah ini, “Mau aku antar, dek?”
Lelaki itu tersenyum tipis saat mendengar panggilan yang dihaturkan untuknya, “Nggak usah, terimakasih.” tolaknya halus.
Berkawan dengan berpasang-pasang mata penasaran dan bisik-bisik lirih, ia kembali melangkahkan kaki keujung telunjuk sang gadis. Koridor ini benar-benar semuram yang dilihat. Dindingnya penuh dengan nilai-nilai semester, pengumuman remidi, selebaran perguruan tinggi dan hal-hal memuakkan lainnya.
Lelaki yang terus berjalan gontai itu akhirnya memaku tubuh diambang pintu ruang guru. Ruangan yang dihiasi seragam batik PGRI ini ramai riuh. Disudut ruang, dipangkuan sofa cokelat tua yang bagian tengahnya mengangga, sekelompok guru dengan kening berkerut-kerut melingkar berdiskusi. Disampingnya, dua orang berbalut almamater kampus ternama terlihat sedang susah payah menuangkan teh racikan ke gelas-gelas kaca. Diujung lain, beberapa guru berjajar menatap papan putih yang bertuliskan ‘jadwal bimbel kelas 12’ dan mengeluh panjang. Sedang sisanya, sedang duduk menyebar dengan kepala menunduk dalam dan berkacamata tebal diantara tumpukan-tumpukan buku tugas, lembar ulangan hingga mekanisme pengembangan silabus.
Lelaki itu berjalan mendekati seorang guru yang nampak sibuk memeriksa tumpukan bola dibawah mejanya. “Selamat pagi, permisi pak.” sapanya, “Saya siswa pindahan-”
Guru itu menatapnya sejurus, “Pindahan?” potongnya cepat.
“Dari Kuda Putih.”
Seketika guru itu melonjak sumringah, “Loh, Alan? Alan Kuda Putih?”
Mata Alan sekilas jatuh pada sepasang kakinya, “Iya, pak.” Jawabnya singkat.
“Loh, kok sudah masuk? Coachmu bilangnya baru masuk minggu depan.”
“Sudah baikan, Pak.”
Guru itu mengangguk-angguk paham, “Syukur kalau begitu. Ya sudah, sekarang kamu ke Pak Nur sana!” Perintahnya sembari menunjuk seseorang berbalut jaket kulit hitam dengan dagu. “Pak Nur, muridmu!” ujarnya setengah berteriak.
Pak Nur yang sedari tadi asyik melantunkan nada-nada dengan gitar dipangkuannya mendongak penuh senyum. Alan yang merasa diberi lampu hijau untuk menyudahi percakapan pun segera berpamitan pergi.
“Selamat pagi,Pak. Saya Alan, murid baru.”
“Selamat pagi, Alan. Saya Nur Rochmad, guru lama.”
Alan terdiam sejenak mendengar jawaban guru yang terus mendentingkan senar gitar itu. Tangannya mengusap tengkuk gugup, tidak tau harus berkata apa lagi.
“Kamu bisa main gitar?” tanya Pak Nur memecah kebingungan pada raut murid dihadapannya.
“B-bisa, Pak.”
Pak Nur tersenyum penuh, jemarinya mengepal menuntut tepukan. Alan mendadak salah tingkah. Dengan ragu, ia menepuk pelan tangan sang guru.
“Oke! Selamat kamu diterima masuk kelas saya.” Gurau pak Nur, “Sekarang ayo kekelas. Hari ini jam pertama matematika, teman-temanmu harus diajak senam pagi dulu biar nanti gak ketiduran.”
Pak Nur segera menggendong gitar akustiknya dan berjalan mendahului Alan yang masih berusah mengurai keadaan. Bak artis ibukota, sepanjang perjalanan, tapak kaki Pak Nur diiringi dengan sapa manis dari murid-murid yang berlarian keluar hanya demi menyambutnya.
Ditengah lambaian elegan dan dentingan jenaka dari gitar Pak Nur, Alan yang berjalan dua langkah dibelakang terus mencoba menerka tentang siapa sosok guru dihadapannya.
“Gimana?” tanya Pak Nur tiba-tiba.
Alan mengernyit heran, “Gimana apanya, Pak?”
“Saya sudah keren belum dimatamu?”
Lelaki itu meringis kecil, tidak ingin menjawab. “Pak Nur guru musik?” tanya Alan mencoba melepas kecanggungan.
“Guru?” Pak Nur mencebik, “Bukan. Saya ini Rocker!”
Alan lagi-lagi meringis, tidak tau harus merespon seperti apa.
“Iya benar, saya Guru, Guru bahasa Indonesia yang kebetulan jadi walikelasmu. 12 MIPA 7” Ujar Pak Nur dengan nada lebih serius, “Jangan kaget kalau saya atau guru-guru disini nggak se-branded guru-guru disekolah lamamu. Tapi meski begitu, kami selalu berusaha yang terbaik.”
“Branded Cuma covernya kok, Pak. Sisanya cuma buat formalitas.”
“Bagus dong buat Formalitas. Daripada formalin, buat ngawetin mayat! Hahaha!” Ujar Pak Nur setengah tertawa.
Langkah mereka terjeda didepan kelas yang berada dikoridor paling sepi sekolah ini, koridor kelas dua belas. “Ini kelasmu.” Ujar pak Nur, “Dari sini, lurus terus belok kiri sedikit ada jalan tikus, kalau kekanan keparkiran sepeda, kalau kekiri ada gerbang kecil buat bolos. Saran saya, kalau mau bolos habis istirahat pertama aja, biar sudah tercatat absennya. Oke?”
Alan sedikit tercengang mendengar penjelasan Pak Nur, “B-baik, pak.”
Pak Nur tersenyum dan menepuk bahunya, “Yuk, masuk!”
Dengan langkah dibuat semenarik mungkin, Pak Nur berjalan masuk sembari menjentikkan gitar dengan irama-irama ceria. Sorak sorai murid-murid yang sedari tadi duduk tegang melatih otak dengan soal-soal ujian masuk perguruan tinggi mendadak ramai memenuhi ruang. Konsentrasi yang sudah dibangun susah payah dengan mudah tergantikan oleh gema tawa ceria.
Pak Nur mengangkat tangannya meminta seluruh usikan suara itu terdiam. Tangannya merangkul bahu Alan, “Hari ini saya membawa teman satu spesies kita yang datang dari jauh. Dari Paris. Iya Paris, tapi Van Java.” Gurau pak Nur, “Kepada saudara sebangsa dan setanah air kita, waktu dan tempat kami persilahkan.”
Alan terdiam sejenak, menatap wajah-wajah penasaran yang menunggunya bicara. Tiba-tiba, matanya tak sengaja menangkap gelagat seorang gadis berambut panjang yang sedang kelimpungan menyembunyikan wajah dibalik kepala-kepala. Alan menyungingkan senyum, gadis itu pasti sedang menahan malu karena pagi tadi dengan penuh percaya diri memanggilnya ‘Dek’.
“Perkenalkan nama saya Alan Maulana, pindahan dari SMA WHIFA Bandung.” Ujarnya singkat.
Berpasang-pasang mata dihadapannya berkedip heran. Beberapa diantara mereka nampak berbisik-bisik kecil membicarakan sesuatu dibalik telapak tangan. Pak Nur yang menyadari keheningan canggung itu segera buka suara, “Oke manusia Malangensis, ada yang mau ditanyakan kepada Manusia bandungensis?”
Dari deret tengah, seorang lelaki berambut ikal mengangkat tangannya tinggi, “SMA WHIFA itu SMA apa? Sorry, nggak pernah dengar soalnya.”
Alan menghela nafas sejenak, sungguh ia tidak sedang ingin mengatakannya, “White Horse International Football Academy.” Jawabnya singkat namun mampu membuat setiap mulut menggangga lebar.
“Woahhh!!!”
“Anak bola? Woah!”
“Jangan woah-woah aja, tau nggak apa artinya?” ejek Pak Nur kesembarang siswa.
“Tau lah, Pak!”
“Ngejek ih, Pak Nur!”
Diantara carut marut jawaban, Pak Nur yang sepanjang perkenalan singkat Alan menatap sejurus kesibukan seorang gadis diatas mejanya pun mendadak gusar. Dengan tergesa ia melangkah mendekatinya. Mata Pak Nur berdesis tajam menatap soal-soal matematika yang tertangkap basah tengah terbuka.
“Duduk, Lan.” perintah Pak Nur dingin tanpa mengubah arah pandangnya.
Ruangan mendadak beku mendengar suara Pak Nur. Diam-diam mereka sepakat, Pak Nur sedang marah. Alan yang sebenarnya tidak terlalu paham situasipun hanya melangkah gontai mendekati bangku paling ujung belakang kelas. Diantara derit tarikan kursi, mata Alan tak sengaja bertemu dengan senyum kaku gadis berambut panjang yang dihaturkan ragu untuknya. Namun Alan mengabaikan senyum itu dan memilih kembali berbaur dengan ketegangan ditengah ruang.
Pak Nur mengangkat buku terbuka itu tinggi-tingi, “Buku Sakti Siap Masuk PTN. Kupas tuntas Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi.” Ejanya membaca sampul buku. Jemari Pak Nur bergerak kasar membolak-balikkan halaman, “Ah, Buang aja bukunya, nggak bagus, nggak lengkap.”
“Loh Pak, kunci sukses kan menguasai matematika, Fisika, Kimia sama Biologi. Kok bisa nggak lengkap? Kok bisa disuruh buang? Pak Nur guru sesat!” Ujar Pak Nur bermonolog. Ia menjeda, melemparkan tatapan pada seluruh penghuni kelas, “Kenapa saya katakan nggak lengkap? Karena nggak ada pelajaran etika, nggak ada pelajaran moral, nggak ada pelajaran tentang bagaimana cara memanusiakan manusia. Buku ini mungkin mampu membuatmu bisa mengerjakan matematika, fisika, kimia, biologi bahkan bahasa indonesia dengan sempurna. Tapi secara tidak sadar, buku ini membuatmu gagal menghargai hal sesederhana perkenalan diri seorang teman.”
Pak Nur menatap gadis yang menunduk dalam menyembunyikan semburat merah wajahnya, “Jangan jadi orang yang pintar disekolah tapi gagal gagal dikehidupan, Della. Dimata saya, itu lebih memalukan daripada mendapat rangking satu dari bawah.” Ia meletakkan kembali buku tebal pada tempatnya, “Perguruan tinggi itu tidak sesederhana hitung-hitungan matematika. Kompetisinya tidak sesederhana reaksi kimia. Jangan mengira hanya dengan kepintaran maka kehidupanmu akan diatas segala-galanya. Itu hanya dongeng. Pegang omongan saya, nilai yang kita banggakan sekarang, suatu saat nanti akan kalah dengan softskill, etika, pengalaman, relasi dan sesuatu yang berada diluar buku sakti itu.”
“Maaf, Pak.” Lirihnya.
“Nggak ada yang perlu dimaafkan, karena kamu nggak salah, kamu Cuma belum mengerti. Dan ketidaktauan bukanlah dosa. Tapi karena sekarang sudah saya jelaskan, kedepannya jangan diulangi lagi. Hargai orang lain seperti kamu menghargai diri sendiri.” Pak Nur mengarahkan kepalan tangannya tepat dihadapan Della, “Oke?”
Gadis itu dengan ragu menyambutnya pelan, “Iya, Pak.”
Pak Nur kembali tersenyum hangat, mencairkan ketegangan diwajah anak-anak didiknya. “Sebelum pelajaran matematika, saya mau review sebentar tentang materi paling sederhana dari pelajaran Bahasa Indonesia.” Ujarnya, “Pola Kalimat.”
“Kinan, coba sebutkan macam-macam pola kalimat!”
Gadis berambut panjang yang sedikit terkejut karena namanya dipanggil tiba-tiba itu menjawab cepat, “Subjek Predikat, Subjek Predikat Objek, Subjek Predikat Pelengkap, Subjek Predikat Keterangan, Subjek Predikat Objek Keterangan, Subjek Predikat Objek Pelengkap, Subjek Predikat Pelengkap Keterangan, Sub-”
“Cukup.” potong Pak Nur, menghentikan jawaban Kinan agar tidak semakin panjang, “Benar. Semua jawaban Kinan adalah macam dari Pola Kalimat. Tapi sadar atau tidak, sehalnya dengan kalimat, semesta tempat kita bernaung ini juga memiliki pola tertentu. Ada yang tau nggak, bagaimana Pola semesta bekerja?”
Seluruh murid menghening diam, mata mereka berkeliling sembarang menghindari kontak mata dengan sang Guru.
“Pola semesta itu sederhana. Kehidupan kita selalu berjalan dengan pola ini. Pola semesta adalah-” Pak Nur menjeda puitik, “Semesta selalu bercanda dengan jiwa-jiwa yang tak meriah.”
Seluruh murid-murid terdiam, mencoba meresapi apa yang coba disampaikan oleh guru setengah Rocker dihadapan mereka.
“Maka dari itu, meriahkan dirimu. Jangan sibuk oleh hal-hal yang semu. Istirahatlah ketika waktu istirahat. Berhentilah ketika jeda.” Pak Nur memutar gitar kepelukannya, “Dan, Jangan lupa bahagia dan sedih secukupnya.”
Pak Nur mendentingkan senar gitar dengan irama halus. Riuh tepuk tangan segera mengudara mengisi ruang. Guru ‘Nyentrik’ itu berdehem pelan, “4 Non Blondes – What’s up.”
(...)
And So I wake in the morning
And I step outside
And I take a deep breath
And I get real high
And I scream at top of my lungs
“What’s going on!” seluruh isi kelas berteriak bersamaan. Melepaskan beban-beban masa depan yang menggantung dibahu mereka dalam sekali hembusan nafas.
“And i said, hey hey hey hey, hey hey hey.” Pak Nur mengangkat tangannya tinggi, meminta seisi kelas untuk kembali berteriak bersama, “I said hey-”
“WHAT’S GOING ON!”
*** Siang ini kantin ramai suntuk. Meja-meja terisi penuh dengan gurauan, mangkok hampir kosong, gelas-gelas es jeruk, botol plastik, jawaban ulangan dari kelas sebelah, lembaran pr untuk jam selanjutnya hingga soal-soal persiapan ujian masuk PTN. Disudut yang lebih bersahabat, dua perempuan duduk berhadapan dengan bekal-bekal beragam menu dan tiga gelas es cincau.
Dibawah terik mentari pukul dua belas lewat sekian menit, pagelaran istirahat digelar besar-besaran. Siswa-siswa berlarian tertawa sepanjang koridor dengan seragam basah keringat, siswi-siswi dengan tangan tak berhenti menyuapkan cemilan duduk bersenda gurau disisi taman. Namun, dikoridor paling sepi sekolah ini masih terus menyepi. Disetiap kelas, pemandangan serupa terjadi. Para siswa siswi tahun terakhir itu duduk melingkari rumus cepat fisika, prediksi tryout pertama dan segelas minuman penambah stamina. Betapa memuakkannya menjadi anak kelas dua belas.
Bel pulang sekolah bergema, seluruh siswa –termasuk kelas dua belas yang dibebaskan dari kegiatan bimbel siang pun dengan gembira berhamburan keluar. Wajah-wajah mereka yang sepanjang hari lesu menahan kantuk itu kini berubah segar bugar. Suara tawa ceria serta langkah-langkah ringan pun berlomba berlari jauh dari pagar sekolah.Di sudut parkiran, di atas jok motor CB100 yang sudah dimodif sedemikian rupa, Alan menatap murung sekitar. Pikirannya sedikit carut marut. Ponsel ditangannya bergetar menyala, satu pesan dari orang yang sama kemba
Di sudut pertigaan kedua setelah gedung sekolah, diseberang tanah lapang yang selalu ramai setiap sore, sebuah rumah tingkat tiga yang halamannya penuh dengan tawa anak-anak berdiri kokoh. Berkanvaskan tembok bangunan utama, sebuah lukisan bertuliskan ‘PANTI ASUHAN KASIH BUNDA’ terpampang mentereng turut mewarnai bunga-bunga yang mekar. Disudut taman, dibangku kayu tua yang dipahat panjang, Alan duduk pasrah merekam pemandangan itu dengan matanya. “Ahh-”
Dipangkuan sofa cokelat tua yang sudah sangat renta, Pak Nur merebahkan tubuhnya. Kacamata bingkai hitamnya melorot jatuh hampir kepuncak hidung demi menamatkan buku yang tengah dibuka. Ini buku bukan sembarang buku. Ini adalah buku sakral milik guru setengah malaikat yang keberadaannya sering tidak diperhitungkan bahkan acap kali dicaci siswa, guru BK. Buku Catatan Siswa. Mobil sedan putih Pak Nur berhenti diseberang studio musik yang sesore ini lampu halamannya tak kunjung nyala. Ia menurunkan kaca mobilnya, meyakinkan diri bahwa telah tiba diujung pencarian. ‘Hanggalan Music Studio’. Studio yang bagian depannya dipenuhi kayu-kayu artistik ini nampak redup, rak sepatunya nihil pengunjung. Jadi ini tempat persembunyian Alan tiga hari belakangan? Pak Nur segera beranjak dan berjalan mengetKetika Semesta Sedang Bercanda BAB 7: KONJUNGSI KOORDINATIF
Ditemani dengan dentingan gitar Pak Nur dan AC lab bahasa yang rusak sejak minggu kemarin, Kinan terus melahap soal-soal latihan tryout fisika. Sungguh, sebenarnya gadis itu sudah mati kebosanan sejak lima hari yang lalu. Tapi berhubung Pak Nur yang meminta, ia urung melarikan diri. “Sampai kapan Pak kita mau nungguin Alan? Dia kayaknya bener-bener nggak minat deh.” Ujar Kinan buka suara.
Bel meraung kencang, menyusup meneriaki telinga-telinga siswa tahun terakhir yang tuli materi ujian masuk perguruan tinggi. Pintu kekar yang selama ini membatasi mereka dengan kebahagiaan dunia pun perlahan mulai terbuka. Seketika bau kuah bakso urat, kepulan serbuk rasa pelengkap cimol, kesegaran es teh dua ribu, hingga decitan hangat pagar sekolah menyeruak masuk menyoraki ruangan. Jiwa-jiwa payah itu segera serampangan mengemasi buku-buku, tergopoh memotret coretan rumus di papan putih lalu begitu saja berlarian pergi. Siang itu, kelas mendadak kosong kehilang