Melihat pembunuhan dengan mata kepalanya sendiri, Louisa Gonzales menyesali rasa penasarannya. Ia membuka kamar yang tidak seharusnya ia buka dan melihat kegiatan pembunuhan yang seharusnya tidak pernah ia lihat. Wanita 24 tahun itu harus berurusan dengan gangster asal Italia yang menginap di hotel tempatnya bekerja. Ia juga harus menggali jati dirinya yang sudah lama ia kubur. Louisa harus menjadi pengikut setia Dominic Theodoretti, Pimpinan mafia yang semakin memanfaatkan dirinya karena ia mengetahui kalau Louisa mantan hacker. Hingga pertengkaran hebat antara Louisa dan Dominic membawa mereka terjebak di Sisilia yang membuat Louisa berurusan dengan mafia yang lebih kejam daripada Dominic. ----- "Dominic! Menyingkir dari sana!" teriak Louisa. Wanita itu berlari dengan kencang karena semua pistol mengarah padanya dan Dominic. Tanpa berpikir panjang lagi Louisa mempercepat laju larinya dan memanjat gedung-gedung dengan berani. Dominic mengikuti Louisa dari belakang. "Apa yang kau lakukan? Kenapa kau berlari ke sini?" tanya Dominic. "Aku tidak tahu, aku hanya berlari tanpa berpikir!" Louisa mengusap wajahnya. "Kau membuat kita dalam bahaya Louisa!" Dominic bertepuk tangan. "Apa kau tahu sebesar apa aku ingin membunuhmu?" Pria itu mulai kesal. "Aku tahu! Kau membunuh semuanya. Hanya aku yang tersisa sekarang!" teriak Louisa. Wanita itu mulai frustrasi. "Your baby breathe inside me, Dominic." Louisa menahan napasnya. "Kalau kau membunuhku, kau juga membunuh darah dagingmu sendiri." Dominic terdiam. Pria itu masih tidak bisa mengerti apa yang dikatakan Louisa. "Aku tidak suka cara bercandamu Louisa." Dominic menatap Louisa tajam. "Bercanda? Kau pikir aku ini wanita macam apa yang tega bercanda dengan kebenaran anaknya?" Louisa menarik tangan Dominic dan mengarahkannya ke perutnya. "Hidup dan matiku bersamanya Dominic. Sisahnya terserah padamu." Louisa melemparkan pistol yang ada ditangannya. Dia menyerah. Ini semua diluar kemampuannya. "Misi kejahatanmu mengalahkan aku Dominic. Aku selesai sampai di sini," terang Louisa.
View MoreSuara tembakan terdengar di telinga Dominic. Pria itu tengah lari sekencang mungkin. Teriakan ayahnya yang menyuruhnya lari membuatnya seperti pengecut. Hati Dominic teriris rasanya. Ia tidak kuasa mendengar jeritan kesakitan ayahnya.
"Akan aku membalaskan semuanya!" teriak Dominic.
"Akan aku balaskan rasa sakitmu ayah." Sumpah Dominic. Dia tidak rela atas penghianatan ini.
"Aku tidak akan membiarkan Marcus hidup tenang setelah membunuhmu." Mata Dominic berkilat marah.
"Dominic! Lari lebih cepat! Helikopter akan menjemput kita," pinta Franco.
Dominic hanya bisa berlari dengan dadanya yang sesak. Kaki kanannya berlumuran darah. Ia benar-benar seperti pengecut. Dari kecil ayahnya sudah mengajari Dominic cara untuk bela diri dan menembak, tetapi yang Dominic lakukan sekarang adalah berlari meninggalkan ayahnya. Franco membantu Dominic untuk berlari satu kaki. Dominic mengeratkan cengkraman tangannya di bahu Franco.
"Aku tidak bisa meninggalkan ayahku." Dominic terus berlari sambil menoleh ke belakang.
"Aku tahu! Kalau kau kembali ke sana, kita semua bisa tamat!" Franco mencoba membujuk Dominic.
"Dia ayahku! Franco! Bajingan kau!" sentak Dominic. Franco menampar Dominic dengan keras dan mengguncang tubuh pria itu.
"Kau pikir aku tega melakukan ini?" tegas Franco. Wajah pria itu marah sekaligus tersiksa.
"Aku dan ayahmu sudah seperti kakak dan adik Dominic!" Wajah Franco memerah menahan emosinya.
"Kau ingin kembali ke rumah bajingan itu? Kau ingin menyelamatkan ayahmu? Enyahlah kau, Dominic!" Franco mencoba menyadarkan Dominic. Ia berusaha menjelaskan pada pria itu kalau kembali ke dalam rumah adalah hal yang bodoh.
"Kau tidak mendengarkan kata-kataku! Kau mengajak ayahmu berdamai dengan musuhnya! Ini ide gilamu!" teriak Franco.
"Kau anak yang tidak berguna Dominic!" Franco menatap Dominic. Pria itu hanya bisa terduduk dan menyesal.
"Sekarang kalau kau ingin kembali ke sana menyelamatkan ayahmu, silakan, tapi aku akan pastikan dia sudah mati dan kau juga akan mati di sana, ibumu akan puas melihat kalian mati!" teriak Franco lantang.
★★★
Keringat dingin bercucuran di kening Dominic. Wajahnya menjadi pucat pasi. Ingatan menyeramkan datang setiap malamnya. Pria itu selalu berteriak memanggil nama ayahnya. Saat kenangan pahit itu hadir. Dia tidak punya kekuatan untuk melupakan hari dimana terakhir kalinya dia melihat ayah dan ibunya.
"Dominic! Sadarlah!" Dominic tetap berteriak dan keringat dingin terus muncul di sekujur tubuhnya.
"Dominic! Bangun!" Franco mengangkat tubuh Dominic dan mendudukkan pria itu agar dia terbangun dari tidurnya.
Dominic membuka matanya dengan rasa ketakutan dan napasnya yang memburu. Ia menelan ludahnya sendiri. Pria itu mengusap wajahnya. Ia merasa sangat lemas. Selalu saja bermimpi buruk seperti ini ketika dia sedang lelah dan merasa putus asa.
"Sialan!" umpat Dominic.
"Minumlah air ini." Franco memberikan segelas air yang ada di tangannya pada Dominic. Pria itu menatap malas Franco dia lebih memilih untuk bangkit dari tidurnya dan mengambil sebotol alkohol lalu meneguknya.
"Kau sudah terlalu banyak minum," ucap Franco.
"Sudah delapan tahun berlalu Dominic, kau masih bermimpi buruk." Franco mengambil botol alkohol yang ada di tangan Dominic agar pria itu tidak minum terlalu banyak.
"Aku ada janji dengan Zac," ucap Dominic.
"Zac? Mantan anak buah Marcus?" Franco menaikkan satu alisnya.
"Iya." Dominic menatap Franco serius.
"Apa kau sudah gila? Kau percaya dengan Zac? Bagaimana kalau dia hanya menjebakmu?" Franco tidak bisa menerimanya keputusan konyol Dominic.
"Tidak, dia ada dipihak kita, Marcus menghianati Zac, dan sekarang Zac akan membantu kita," terang Dominic.
"Dominic, kau mengatakan padaku, kau tidak ingin berurusan dengan Marcus lagi, lalu kenapa sekarang kau ingin melawan Marcus." Franco memegangi kepalanya. Dia sangat pusing dengan Dominic.
"Kau bisa lihat aku Franco, aku mimpi buruk setiap malam! Aku ini pengecut!" Dominic terus menyalakan dirinya sendiri.
"Aku tidak mau bersembunyi seperti ini, Sisilia milikku dan rumah besar keluargaku di Napoli, itu semua bukan milik Marcus. Akan aku rebut kembali apa yang seharusnya menjadi milikku," terang Dominic.
"Ini akan sangat berbahaya Dominic, jangan terburu-buru." Franco mencoba memperingati Dominic. Mengalahkan Marcus bukanlah hal yang mudah seperti membalikan tangan.
"Aku tidak akan mati sebelum membunuh Marcus," sumpah Dominic. Ia meninggalkan Franco.
★★★
Dominic mengendarai mobilnya. Ia menuju apartemen Zac. Ia melirik jam tangannya. Jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam. Pria itu menatap malas apartemen di depannya ini. Dari luar, apartemen itu terlihat seperti bangunan biasa yang tidak mempunyai ketertarikan. Terbesit di benak Dominic pertanyaan. Bagaimana bisa Zac tinggal di apartemen kelas bawah seperti ini? Bukankah dia orang kaya? Atau kekayaannya sudah habis?
Dominic memarkirkan mobilnya dan masuk ke dalam apartemen. Ia berjalan menuju lift. Di depannya sudah ada seorang wanita yang memakai seragam kerja. Mirip pelayan hotel. Wanita itu menekan tombol lift tidak sabaran.
"Ada apa dengan lift ini!" seru Louisa. Ia menekan tombol liftnya berkali-kali. Sejujurnya tombol lift itu sudah rusak. Louisa mengepalkan tangannya. Saat ia ingin menonjok tombol liftnya. Jari Dominic menekan tombol itu dan liftnya bergerak. Wanita itu terkejut. Untung saja ia tidak jadi melayangkan tangannya.
"Jangan melampiaskan kekesalanmu pada tombol lift," bisik Dominic di telinga Louisa. Wanita itu bisa merasakan tubuh Dominic di belakangnya. Louisa menatap Dominic dari samping. Ia bisa melihat wajah tegas pria itu.
Dering gawai Louisa menyadarkan dirinya dan Dominic. Wanita itu langsung merogoh tasnya dan menerima telepon dari ibunya. Louisa hanya menatap gawainya. Ia tidak ingin menerima panggilan telepon itu. Ibunya hanya akan meminta uang. Louisa mengusap layar gawainya dan menempelkan gawai itu di telinganya.
"Louisa mana uang yang kau janjikan?" tanya Jane. Louisa hanya bisa mengembuskan napasnya.
"Aku tidak pernah menjanjikan uang padamu, Mom." Selalu saja tentang uang.
"Louisa! Aku butuh uang untuk makan! Aku juga harus membayar sekolah adik-adikmu! Kirimkan uangmu padaku!" teriak Jane. Louisa sudah terbiasa dengan ini. Ia menjauhkan gawainya dari telinganya. Dominic bahkan bisa mendengar jelas apa yang dikatakan Jane.
Pintu lift terbuka. Louisa dan Dominic masuk ke dalam lift. Dominic bisa melihat wajah lelah wanita itu. Bajunya yang berantakan. Lingkar hitam di mata Louisa, meskipun wanita itu memakai riasan. Wajah lelahnya tidak bisa ditutupi karena matanya sudah lelah.
"Mom, aku sudah mengirimkan bayaran kerjaku padamu dua hari yang lalu," ucap Louisa.
"Aku tidak mau tahu Louisa! Aku ingin uang." Jane berteriak di telepon.
"Kau kalah berjudi? Kau habiskan uangku untuk berjudi!" Louisa merasa lega meneriaki ibunya. Sesaat Jane tidak mengatakan apapun. Louisa tahu ibunya suka bermain judi.
"Aku mohon padamu berhentilah, aku miskin di sini Mom, aku berkerja dan kau berjudi di sana?" lirih Louisa. Ia mengusap wajahnya sendiri. Panggilan telepon itu langsung terputus. Louisa menahan air matanya. Ia bersandar di lift. Louisa meratapi kakinya yang sudah lelah.
Pintu lift terbuka. Mata Louisa menangkap sesosok wanita pemilik apartemennya. Ia lupa membayar sewa. Louisa menggigit bibir bawahnya.
"Wah! Kau tidak bisa masuk ke apartemenmu, bayar terlebih dahulu," ucap wanita itu.
Dominic hanya menatapi Louisa dan wanita itu. Ia muak dengan dua wanita di depannya itu. Dominic menekan tombol liftnya sehingga pintu lift tertutup dan Louisa tidak keluar dari lift. Wanita itu terduduk di lantai lift. Ia benar-benar lelah. Dia mengeluarkan gawainya dan menghubungi nomor atasannya.
"Selamat malam, Pak," ucap Louisa.
"Apa aku bisa lembur saja hari ini?" Louisa menghela napasnya.
"Ya, aku akan kembali bekerja," terang Louisa. Ia mengusap wajahnya.
Saat pintu lift terbuka Dominic berjalan keluar. Tangan pria itu menjatuhkan beberapa lembar peso di paha Louisa. Wanita itu terkejut dan menatapi Dominic.
"Semoga harimu menyenangkan." Dominic menepuk bahu Louisa dan pria itu keluar dari lift.
Louisa menatapi uang di pahanya itu. Ini membuatnya terlihat seperti pengemis. Dia tidak tahu harus apa. Ia hanya menatapi uang itu dan mengambilnya.
Dominic menatap tajam peta yang terbentang di meja bundar itu. Setiap garis merah yang tergambar di sana seperti urat nadinya sendiri. Sisilia, Malta, Ragusa—tiga kota yang seharusnya sudah menjadi miliknya jika bukan karena pengkhianatan dan kebodohan."Antonio harus mati," ucapnya pelan tapi pasti, seperti menyampaikan keputusan takdir.Louisa hanya diam. Wajahnya masih menyimpan amarah dan letih. Samuel terbaring di kamar sebelah, mungkin nyawanya sedang bernegosiasi dengan maut, dan kini Dominic membicarakan perang lagi seolah semuanya bisa berjalan normal."Aku butuh semua orang yang bisa bertarung. Termasuk Cornan, Jack, Daniel... dan kau juga, Bernard," Dominic menatap tajam satu per satu wajah yang ada di hadapannya.Bernard tak berkata apa-apa. Tangannya masih bergetar, memikirkan Samuel yang bisa mati kapan saja. Tapi dia tahu, melawan perintah Dominic sama saja bunuh diri."Bagaimana dengan Stella?" tanya Louisa dengan suara dingin. "Kalau kau mau menyerang, kita butuh tena
Samuel keluar dari bar. Hatinya terasa sangat puas sudah mengerjai Marcus dengan memberikan nomor ponsel Dominic. Hanya karena dua bersaudara itu saling membenci membuat hidup Samuel, Louisa, Bernad, dan Cornan jadi sebercanda ini. Para mafia ini tidak bisa menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Mereka lebih suka saling menghajar, membunuh, dan menang sendiri. Mata Samuel bisa melihat anak buah Franco sudah mengepungnya. Pria itu tidak punya pilihan lain. Dia berlari sekencang-kencangnya, menghabiskan sisa energinya sebelum dia tertangkap dan di seret masuk ke dalam kapal lagi. Tidak sampai di sana saja. Samuel dihajar habis-habisan lagi. Pria itu tidak bisa lagi merasakan kenikmatan dunia semenjak Dominic datang ke dunianya. Ombak laut yang semakin besar menerpa kapal, Samuel muntah darah di sana, sementara Franco dan Bernard menontonnya. Hati kecil Bernard ingin sekali berlari dan membantu Samuel, tetapi itu sama saja seperti meminta dirinya dihajar juga seperti Samuel. "S
Louisa membuka matanya tepat pukul enam pagi. Dia masih sangat malas untuk bangun dari kasurnya akan tetapi ketukan di pintu kamarnya membuatnya harus bangun meskipun malas. Di tambah lagi suara teriakan Cornan. "Louisa! Buka pintunya! Louisa!" teriak Cornan. Tangan Louisa meraih gagang pintu dan langsung membukanya menunjukkan wajah bangun tidurnya. Louisa langsung mengerutkan keningnya saat melihat Cornan kebingungan. "Kenapa?" Cornan kesulitan berbicara karena dia sudah sangat panik. "Samuel ... Samuel." "Ada apa dengan Samuel?" Louisa menggelengkan kepalanya. "Samuel dan Bernard hilang!" Mata Louisa seketika langsung melebar. Apa maksudnya Samuel dan Bernard hilang? "Hilang?" Louisa masih bertanya-tanya. "Aku sudah mencari Samuel dan Bernard di seluruh mansion ini dan mereka tidak ada. Franco juga tidak ada." Kecemasan di wajah Cornan membuat Louisa ikut cemas. "Apa Dominic ada?" tanya Louisa. "Ada, pria itu ada di kamarnya." Tanpa basa basi lagi Louisa berlari me
Udara malam yang dingin menyusup masuk ke dalam pakaian tebal Franco. Pria paruh baya itu sekarang sudah ada di kapal bersama dengan Samuel dan Bernard. Franco mengganggu tidur nyenyak dua pria itu dah menyeret mereka ke kapal."Kita mau kemana?" tanya Samuel."Ragusa." Franco menghela napasnya."Kita hanya pergi bertiga? Yang lain?" Samuel menaikkan satu alisnya."Kita pergi bersama seratus orang yang lain." Mata Samuel langsung melebar dan berkata, "Apa kita akan menyerang Ragusa?""Jangan bodoh, kita ke sini untuk menemui sahabat Dominic. Jangan pakai nama asli kalian, mengerti." Franco memperingati Samuel dan Bernard. Dua orang pria itu hanya bisa diam saja.Samuel keluar dari badan kapal. Pria itu menyipitkan matanya tidak ada yang bisa dia lihat. Untung saja cuaca sangat bersahabat untuk berlayar. Bernard berjalan mendekati Samuel sambil memberikan pria itu rokoknya."Aku tidak merasa baik-baik saja," ucap Bernard."Aku juga. Ini kacau, Aku jauh dari Louisa." Samuel menggelengka
Sinar matahari menyusup masuk ke dalam kamar dan mengenai wajah Louisa. Tidur nyenyak wanita itu jadi terganggu akan tetapi dia langsung membuka matanya saat ia ingat kalau dirinya tidur di kamar Dominic. Louisa tidak mendapati pria itu ada di sampingnya. Mata Louisa melihat pada jam yang terpajang di dinding. masih pukul enam pagi."Dominic?" teriak Louisa. Wanita itu tidak mendengar ada yang menjawabnya. Ia bangun dari ranjang dan melihat-lihat sekitar kamar tetapi dia tidak menemukan pria itu.Louisa keluar dari kamar Dominic. Dia langsung menuju ruang tengah. Benar saja, Dominic sedang berbicara dengan Franco. mereka berbicara dengan sangat serius. Louisa memilih untuk tidak mendekat pada mereka dan dia kembali masuk ke dalam mansion. Wanita itu melangkahkan kakinya menuju kamar Samuel, akan tetapi Samuel sedang berdiri di depan pintu kamarnya."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Louisa."Dia sedang ganti baju." Louisa menger
Franco menyeret dua orang wanita untuk keluar dari rumah sakit. Pria itu langsung memasukkan mereka di ke mobil bersama Jack. Franco membawa dua orang wanita itu ke mansion untuk diinterogasi. Saat sampai di mansion, Bernard sudah ada di depan halaman. Franco mengodekan agar mereka semua ikut ke area halaman tengah mansion. Jack mendudukkan dua orang wanita tahanan itu di depan Franco."Wanita seperti kalian pasti bekerja dengan orang yang penting," ucap Franco. Wanita-wanita itu hanya diam saja."Sekarang katakan padaku, siapa yang menyuruh kalian?" Tak kunjung mendapatkan jawaban. Jack dan Bernard merogoh saku baju dua orang wanita itu. Ponsel, senjata paling ampuh untuk mengetahui siapa penyuruhnya."Banyak sekali nomor tidak dikenal." Franco tersenyum miring. Dia langsung menghubungi nomor yang baru dua orang wanita itu hubungi semalam. Panggilan telepon Franco tidak kunjung dijawab."Halo? Apa tugas kalian sudah selesai?" Mata
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments