Apa yang akan kamu lakukan saat terbangun dari koma dan mendapati dirimu hamil? Itu terjadi padaku dan yang kulakukan hanya mencoba mencerna semuanya karena sialnya semua ingatanku juga tidak ada yang tersisa. Aku masih berpikir kenapa aku bisa ada disini? Dan sebenarnya apa yang sudah terjadi padaku? Walau sudah kucoba untuk mengingat tapi hasilnya nihil. Semuanya blur. Hanya ada dia yang menemaniku sepanjang waktu. Pria yang mengaku suamiku dan merawatku, meski percakapan yang terjalin antara kami sangat minim. Apa bisa hubungan ini disebut sebagai hubungan pasangan? Aku mencoba menyamankan diri walau sulit. Pria itu tidak menceritakan sedikitpun tentang kecelakaan yang aku alami. Jadi bagaimana aku bisa tahu apa yang terjadi? Haruskan aku tetap diam tanpa membantah?
Lihat lebih banyak"Luna," gumaman dari suara barito itu mengisi keheningan ruangan, "aku tahu kamu belum tidur."
Aku masih diam mendengar suaranya dan tidak ada niatan untuk terjaga meski tahu tindakan yang kulakukan tidak sopan. Aku tetap terpejam nyaman di ranjang rumah sakit.Dia itu suamiku, itu yang suster katakan saat aku sadar dari koma karena kecelakaan. Yang meski aku coba untuk mengingat sekuat tenaga tetap saja tidak ada sedikit pun kenangan yang muncul."Kita bakal pulang besok sehabis makan siang. Tadi dokter ke sini ngasih tahu pas kamu ke toilet." Tama melanjutkan kalimatnya.Rumah? Aku mencoba mencari di dalam ingatanku tapi tidak ada yang kutemui soal rumah yang dia sebut. Tempat macam apa itu? Dan bagaimana nasibku di rumah itu esok?Mereka bilang karena aku amnesia jadi wajar jika aku tidak bisa mengingat apa pun. Sejak tersadar dua minggu yang lalu dengan pergelangan tangan kananku yang patah, aku memang melupakan semuanya. Satu pun tidak ada yang aku ingat. Mereka bahkan memberi tahu siapa aku. Aku Deftia Aluna Irfandi.Saat aku membuka mata tatapan tajam dari bola mata cokelat itu menghunus kearahku tanpa henti. Dia bagai elang yang mengawasi mangsanya agar tidak kabur dari jarak pandangnya. Dan dia adalah Dytama Caka Irfandi, suamiku.Sebenarnya aku tidak percaya jika aku sudah menikah. Mereka tidak berusaha menjelaskan apa pun padaku hanya memberitahu apa yang terjadi dan berharap aku mempercayai kalimat mereka. Dan Tama sendiri tidak terlihat seperti selayaknya suami. Dia memang mengurusku, mempersiapkan segala sesuatu yang aku butuhkan tapi sorot matanya tidak ada kehangatan sama sekali. Aura yang dia miliki teramat gelap.Aku mengetahui jika dia seorang pengusaha dua minggu setelah aku sadar. Beberapa kali dia izin keluar untuk menyelesaikan pekerjaanya dan lebih seringnya dia membawa kliennya untuk meeting di sini dengan dalih sekalian menjengukku.
Melihat bagaimana kepribadian Tama yang dalam sehari mengajakku mengobrol saja bisa dihitung jari membuatku memutar otak cepat. Bagaimana bisa kami menjadi suami istri? Tidak ada sisi lembut darinya yang membuatku jatuh cinta karena dia tidak lembut sama sekali. Dan memikirkan soal akan kembali ke rumah membuatku merinding seketika. Aku tidak mungkin tahan hidup berdampingan dengan manusia macam Tama."B-berarti aku tetap harus pulang, kan? Kalau aku nginap di sini buat beberapa hari lagi, boleh?" tatapannya yang intens dan suara nafasnya yang teratur membuatku sesak. Dia seperti memberi tekanan yang tidak terlihat.Tama memperhatikanku dari samping tempat tidur. Dia mengulurkan tangannya untuk membelai lembut rambut cokelatku yang panjang dan membuatku tersentak karena terkejut. Dia mengabaikan tingkahku dan tetap melanjutkan sentuhannya sampai berhenti di tulang selangkaku. Usap lembutnya membuatku bergerak tidak nyaman. Gimana bisa dia bersikap santai saat aku tidak nyaman?Dia menatapku, membuatku menciut seketika."Kita udah terlalu lama di rumah sakit. Dokter kasih saran supaya kamu dirawat di rumah agar kamu cepat pulih dan ingatan kamu cepat kembali. Rumah kita pasti bisa bikin ingatan kamu kembali," nadanya tegas dan datar tanda dia tidak ingin dibantah. Dan aku tanpa daya menatapnya memohon dengan sangat lewat mata, "Ditambah telalu lama di rumah sakit nggak baik buat kesehatan bayinya."
Bayi?Konspirasi alam macam apa ini? Aku terbangun di rumah sakit dalam kondisi amnesia. Tidak mengenal siapa pun dan hanya dipaksa untuk percaya jika aku sudah menikah dan memiliki suami. Lantas sekarang tambahan informasi barusan soal aku yang tengah mengandung?
Rasa khawatirku semakin bertambah. Jika seperti ini bagaimana caranya aku bisa terbebas dari seorang Dytama?***Aku melihat wajahnya dan seperti biasa dia tidak memiliki emosi yang dia perlihatkan pada orang lain. Dia masih menatapku datar seperti tidak terjadi apa pun."Kamu tahu soal bayi ini dari sebelum kecelakaan?"Matanya berkedip, "aku juga baru tahu kemarin setelah kamu sampai di sini."Dia tidak menjelaskan lagi. Selalu seperti itu tidak pernah dan tidak akan ada penjelasan lebih lanjut seperti yang aku harapkan. Jawaban singkatnya malah membuatku semakin resah.Mengetahui ada nyawa lain yang hidup di perutku membuat perasaanku menghangat seketika. Setidaknya aku tidak sendirian ada dia yang menemaniku. Dan sepertinya kehadiran bayi ini tidak mengusik Tama sama sekali karena dia tidak bicara macam-macam soal kelanjutan nasib bayi ini."Apa kita ada rencana punya anak?" Aku bertanya. Memastikan jika hal-hal buruk tidak akan terjadi untuk kedepannya. Aku hanya ingin hidup tenang tanpa masalah."Karena kamu sudah susah payah mempertahakan bayi ini. Jadi aku bakal ngehargain usaha kamu."Jawaban macam apa itu? Aku tidak berharap dia juga senang dengan kehadiran bayi ini tapi bukan itu juga jawaban yang ingin aku dengar.Tama mulai menyiapkan makananku dan meyakinkaku untuk menghabiskan menu yang tersedia. Hari terakhir dan makanan terakhir sebelum aku kembali ke tempat yang katanya rumah."Habis makan kita langsung pulang. Kamu ganti baju dulu nanti aku tunggu di luar."Suara ketukan pintu membuat aku dan Tama menoleh. Supir pribadi Tama datang dengan membawa koper. Membuatku mengerutkan kening heran, "Cuma ganti baju kenapa harus bawa koper? Satu baju aja kan cukup?"Tama menatap aneh kearahku, "Kamu paling nggak suka kalau baju kamu dipilihin orang lain. Kamu punya style tersendiri katamu." Tama mengucapkan kalimat tersebut tapi dengan kesan mencemooh. Tangannya memberi isyarat agar koper yang dibawa segera di dekatkan kepadaku."Kemarin waktu pemeriksaan, penyidik menemukan makanan thailand di mobil kamu," ujarnya."Pas kecelakaan?" Aku menatap kearahnya, "memang aku pergi ke tempat yang jauh ya?" tanyaku."Kamu?" Dia balik bertanya dengan tatapan tidak terbaca. Kenapa selalu seperti itu. Memang apa sulitnya sih menjawab pertanyaanku yang simpel dan tidak bermutu ini?Tama menarik koper tadi mendekat ke arahku, "Cepat ganti baju. Kita harus pergi dari sini satu jam lagi," nada suaranya terdengar dingin. Meski tidak pernah bersahabat tapi kali ini terdengar seperti dia amat menjaga jarak.Untuk beberapa alasan aku sangat antusias untuk membuka koper itu. Aku ingin tahu bagaimana aku yang sesungguhnya meski lewat pakaian yang ada, setidaknya aku punya sedikit informasi. Tapi yang membuatku bingung adalah semua pakaian yang ada di dalam koper sama sekali aneh. Baju satin dengan potongan pendek atau bisa disebut lingerie? Entahlah. Semuanya hanya baju dengan bahan yang amat kurang untuk digunakan. Tidak menarik untuk dikenakan meski keluaran dari brand ternama."Apa ini?" Aku mengangkat salah satu dress teratas. Kemudian melemparkannya kembali saat tahu dress macam apa itu."Bajumu," ujar Tama melirik kearahku.Aku pakai baju model begini?Kepalaku sakit saat aku mulai membongkar koper. Lima pasang heels dengan hak lancip yang tingginya lebih dari 3 cm, blouse dengan potongan dada yang rendah, serta rok jins mini, dan beberapa gaun pesta. Meski penuh tapi tidak ada yang bisa digunakan."Kamu yakin ini punya aku?" tanyaku frustasi.Tama hanya menatapku dengan raut wajah tidak terbaca, "Cepat ganti. Aku tunggu di luar," katanya tanpa menggubris protesanku. Sebenarnya aku ini orang yang seperti apa?Pagi itu rumah sudah mulai terasa agak tenang setelah ribut-ribut sarapan. Tapi tenang versi keluarga Raka, Rama, dan Rajen tentu tidak sama dengan rumah biasa. Bagi mereka, “tenang” berarti tidak ada tangisan, dan rebutan. Melainkan tawa keras, langkah kaki kecil berlarian di lantai keramik, dan suara mainan yang dipukul-pukul seolah benda itu adalah drum.Aluna duduk di ruang tamu sambil memunguti mainan yang tercecer. Tangannya meraih gitar kecil hadiah ulang tahun dari Bi Susan yang kini sudah menjadi nenek bagi triplet.“Oke, hari ini kita belajar nyanyi, ya. Raka, Rama, Rajen, sini kumpul sama Bunda!” serunya dengan nada penuh semangat.Ketiganya langsung menghampiri. Raka paling depan dengan wajah penuh antusias. Rama datang dengan membawa boneka dinosaurus hijau yang warnanya sudah pudar. Rajen? Tentu beda sendiri. Ia malah menyeret sendok besar bekas sarapan.“Nyanyi apa, Bun?” tanya Raka dengan suara lantang.“Kita coba lagu yang gampang dulu. ‘Balonku Ada Lima’, mau?” jawab
Pagi yang riuh di rumah Aluna dan Tama selalu punya babak lanjutannya. Kalau di babak pertama rumah sudah heboh karena bangun tidur dan rebutan mainan. Babak kedua biasanya jatuh pada saat sarapan. Dan benar saja, begitu jam menunjukkan pukul tujuh kurang, meja makan sudah berubah jadi arena drama yang nggak kalah seru dari sinetron televisi.Hari ini, Aluna memutuskan untuk membuat menu agak berbeda. Bukan nasi goreng seperti kemarin, tapi roti tawar panggang dengan selai stroberi, ditambah potongan buah pisang agar lebih sehat. Di gelas-gelas kecil sudah terisi susu hangat yang siap diminum. Kedengarannya sederhana, bukan? Tapi bagi keluarga dengan tiga anak kembar usia tiga tahun, tidak ada yang benar-benar sederhana.“Bunda, ini roti siapa?” tanya Raka, yang selalu paling cepat duduk di kursi. Ia menunjuk roti panggang di piring putih dengan ekspresi seolah sedang menilai menu di restoran mahal.“Itu punya kamu, Nak. Raka duduk dulu, jangan ribut,” jawab Aluna.Belum sempat Raka m
Jam baru menunjukkan pukul enam pagi. Matahari bahkan belum benar-benar naik sempurna, tapi rumah berwarna krem di ujung jalan itu sudah riuh luar biasa. Bukan karena televisi menyala atau suara radio kencang, melainkan suara teriakan, tawa, dan tangisan tiga bocah mungil yang berusia tiga tahun.“Bunda… Raka lapar!” teriak seorang bocah dengan rambut acak-acakan, sambil berlari ke dapur. Itu si sulung kembar, Raka, yang meski hanya berbeda beberapa menit dari saudara-saudaranya, selalu merasa dirinya paling tua dan paling berhak duluan.Belum sempat Aluna menjawab, suara lain menyusul.“Bunda… Rama juga lapar, tapi Rama mau susu dulu…” suara ini lebih lembut, disertai tatapan mata bulat yang penuh harap. Itulah Rama, si kembar nomor dua, paling kalem, paling penurut, tapi justru sering bikin Aluna kewalahan karena manja.Dan tentu saja, tak lama kemudian terdengar suara ketiga, lebih keras, disertai langkah kecil yang berisik.“Bunda! Rajen nggak mau nasi, mau biskuit ajaaaa!” teriak
Setelah tadi seharian mereka bermain air, triplet jadi tidur lebih cepat dari biasanya. Mereka nampak kelelahan, tapi celotehan-celotehan tentang liburan tadi sempat mengisi makan malam mereka, meski begitu mereka terlihat bahagia. Luna yang menemani mereka membaca buku sebelum tidur kembali menikmati waktunya sendiri sambil menatap triplet. Dia mengusap pelan ketiganya sambil membenahi posisi selimut. Tidak lupa kecupan selamat malam yang dia daratkan di kening triplet setelah mereka jatuh ke alam mimpi.Dia menyukai kondisi mereka yang sekarang, tapi dia masih memiliki keinginan untuk kembali menambah anak. Dia hanya ingin Tama tidak merasa takut kembali setelah sebelumnya dia mengalami kondisi yang cukup mengkhawatirkan di kehamilan pertama. Sayangnya Tama masih kekeh dengan keputusannya. Menurut dia triplet sudah cukup untuk mengisi kelanjutan kisah mereka kedepannya. Apalagi mengurus triplet juga bukan pekerjaan mudah dan Tama sangat mengetahui hal itu. Ditambah tawaran untuk me
"Udah sayang. Nangisnya udahan yuk," bujuk Tama yang kini tengah memeluk Luna yang masih menangis setelah melihat keadaan anak-anak mereka tadi. Keadaan ketiganya yang nampak mengenaskan itu malah semakin membuat tangis Luna semakin awet.Rambut hitam legam nan mengkilap milik triplet yang sudah dirawatnya sepenuh hati sejak mereka lahir telah raib dalam satu hari benar-benqr telah menjandi cobaan tersendiri bagi Luna. Entah bagaimana ceritanya sampai mereka bisa mendapatkan alat cukur milik Tama yang mana berhasil ketiga gunakan dengan teramat baik itu."Huhuhu, rambut anak-anak aku sayang. Habis... Alis Raka juga ikutan hilang sayanggg. Aku enggak rela. Huhuhu.." isak Luna sambil menyembunyikan wajahnua dj dada Tama. Tama sendiri tengah mengehela nafas sambil menatal ketiga putranya yang sibuk bermain. Mereka tidak ambil pusing dengan penampilan baru mereka. Yang lebih terlihat stress dan tertekan adalag Luna. Tama berulang kali mencoba mencerna apa yang sedang terjadi, tapi berak
“Sayang, aku mau belanja dulu ya,” bisik Luna di depan telinga Tama. Pria itu tampak masih setengah sadar dan menjawab kalimat Luna dengan gumaman pelan. Dia terlihat amat sangat lelah, bahkan hanya untuk sekedar membuka matanya saja Tama harus mengumpulkan banyak kekuatan. Tama baru sampai di rumah sekitar pukul 3 dini hari. Karena adanya pembangunan cabang baru di luar kota, Tama terpaksa harus hadir secara langsung untuk melihat bagaimana progres bangunan lima lantai miliknya itu. Dan karena ini pertama kalinya bagi pria itu pergi tanpa berpamitan langsung dengan triplet, jadi dia memutuskan untuk langsung pulang begitu urusannya selesai. “Biar aku antar,” gumam Tama dan kembali berusaha membuka matanya yang masih terasa lengket.“Enggak usah. Kamu tidur lagi aja. Lagian aku Cuma mau pergi ke pasar di belakang komplek. Enggak terlalu jauh. Jalan kaki juga sampai. Sama Bi Susan kok.”Penjelasan Luna kembali membuat Tama berbaring. Pria itu mengangguk dan kembali tidur.“Aku pergi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen