Lewis sedikit melebarkan matanya mendengar pengakuan Ralin.
"Maaf? Diusir?"
Kepala Ralin mengangguk lalu mengintip wajah Levi yang sudah tidak setakut tadi. Bocah tampan itu tampaknya sudah lebih tenang. Lalu Ralin kembali membujuknya.
"Levi, Bu Ralin pamit dulu ya? Ini sudah malam. Besok ketemu di sekolah lagi? Oke?"
Levi justru makin memeluk Ralin dan mencengkeram erat bajunya. Dia juga mengintip takut pada Lewis.
Melihat Levi seperti ini dan bagaimana Lewis mudah tersulut amarahnya, Ralin kembali memberi nasehat padanya.
"Pak, maaf, bukan maksud menggurui anda sebagai Ayahnya Levi. Tapi anak seperti Levi memang memiliki keterbatasan mengutarakan apa yang dia rasakan. Bahkan dia sendiri kadang tidak bisa mengontrol dirinya sendiri."
"Tapi bukan berarti jika dia melakukan salah lalu memberitahunya dengan cara dibentak. Itu hanya akan membuat Levi trauma dan tidak nyaman bersama anda."
Lewis merasa tertampar dengan penjelasan Ralin dan menyadari kesalahannya. Dia harus lebih banyak belajar bersabar.
"Terima kasih sudah menyadarkan saya, Bu Ralin."
Kemudian Lewis berpindah duduk di sebelah Ralin dan menyentuh pundak putra semata wayangnya. Tapi bocah tampan itu menggeleng dan semakin menyembunyikan wajahnya. Tangannya juga makin erat memeluk Ralin.
"Levi, Ayah minta maaf."
Karena Levi seperti lem yang menempel erat pada Ralin akhirnya Lewis tidak memiliki cara lain.
"Bu Ralin, bisakah anda ikut kami pulang? Untuk masalah penginapan Bu Ralin, saya akan menyuruh asisten untuk mencarikannya malam ini juga."
Ralin merasa tidak enak karena merepotkan Lewis. Tapi bagaimana lagi, dia tidak memiliki ide selain menerima saran Lewis.
"Maaf, Pak. Saya jadi merepotkan."
"Tidak perlu dipikirkan, Bu Ralin. "
Akhirnya mereka sepakat untuk pulang ke rumah Lewis karena Levi yang tidak mau melepaskan diri dari Ralin. Bahkan Levi tidak mau berjalan sendiri karena takut pada Lewis.
Ralin menggendong bocah lima tahun itu sedikit susah payah. Sedang Lewis berjalan di sebelahnya sambil sesekali mengusap tangan Levi namun bocah itu menepisnya.
"Levi, udah dong marahnya. Ayah minta maaf, Nak."
Permintaan maaf Lewis tetap tidak digubris Levi hingga mereka duduk di dalam mobil. Levi begitu nyaman dipangkuan Ralin dengan tatapan berpaling.
Tangannya terus menyingkirkan tangan Lewis yang mengusap rambutnya.
"Sepertinya Levi bukan tipikal yang mudah memaafkan kalau sudah sangat sakit hatinya, Pak." Ralin berucap.
"Iya. Dan saya benar-benar menyesal membentaknya."
Kentara sekali jika Lewis begitu menyayangi Levi dan menyesali perbuatannya tidak sengaja membentak Levi.
Ia kembali mengusap rambut Levi dan bocah itu tidak lagi menyingkirkan tangan Lewis. Lalu Ralin mengintip wajahnya.
"Levi tidur, Pak."
Lewis tersenyum lalu mencium rambut putranya itu dengan penuh kesungguhan.
"Apa Bu Ralin itu guru idola Levi? Sampai dia begitu nyaman dengan anda?"
Ralin kemudian membawa Levi lebih nyenyak dalam dekapannya sembari mengusap punggungnya.
"Anak-anak spesial seperti ini butuh dukungan dan kasih sayang tanpa batas, Pak. Mereka tidak minta dilahirkan dengan kondisi seperti ini. Hanya kesabaran orang di sekitarnya yang bisa membuat mereka nyaman. Mereka butuh dipahami karena keterbatasannya."
Lewis menatap Ralin dengan seksama lalu mengangguk. Betapa kurangnya dia dalam memahami Levi yang terlahir spesial.
Mereka kemudian membicarakan banyak hal tentang Levi. Lewis belajar banyak hal dari Ralin tentang pola asuh Levi hingga mereka tiba di rumah.
Ralin melongo tidak percaya jika rumah Lewis begitu megah, luas, dan mewah. Dan Levi yang sedang dia pangku saat ini adalah keturunan konglomerat yang sesungguhnya.
"Biar saya gendong."
Lewis hendak mengambil alih Levi namun Ralin tidak kuasa melihat wajah nyenyak tuan muda kecil ini bila terjaga.
"Saya kuat menggendongnya, Pak. Nggak apa-apa. Dari pada nanti dia terbangun."
Kemudian pintu megah rumah bergaya arsitek Jawa itu dibuka oleh seorang asisten rumah tangga yang langsung menyambut majikannya dengan sangat sopan.
"Selamat malam, Den Mas Lewis."
Ralin sedikit tercengang mendengar Lewis dipanggil menggunakan gelar kebangsawanan. Dia mulai berspekulasi jika keluarga Levi bukanlah orang sembarangan.
"Ikuti saya, Bu Ralin."
Ralin berjalan sambil melirik sekilas interior rumah mewah ini hingga matanya tertuju pada pigora foto besar yang memperlihatkan keluarga besar Lewis. Mereka berfoto mengenakan kebaya dan beskap yang membuatnya makin yakin jika Levi adalah keturunan darah biru.
Setibanya di kamar, Ralin segera membaringkan tuan muda kecil itu dengan hati-hati. Lalu menarik selimut hingga sebatas perut.
"Terima kasih banyak, Bu Ralin," ucap Lewis dengan suara berbisik.
Kepala Ralin mengangguk.
"Mari kita bicara sebentar di ruang tengah."
Lewis mempersilahkan Ralin dengan begitu sopan keluar dari kamar menuju ruang tengah. Di meja sudah tersaji dua teh hangat dan camilan sehat dan kembali berdiskusi tentang keadaan Levi.
Malam makin larut. Ralin pun mulai lelah dan mengantuk.
"Tunggu sebentar ya, Bu Ralin. Asisten saya perjalanan kemari. Dia akan membantu Bu Ralin mencari penginapan. Anggap saja ini balas budi dari saya karena sudah menemukan Levi dan menjaganya."
"Saya juga berterima kasih banyak, Pak. Saya tidak tahu akan tinggal dimana kalau Pak ... eh ... maaf, siapa nama Bapak?"
"Lewis."
"Tanpa Pak Lewis, entah dimana saya akan bermalam hari ini," ucap Ralin tulus.
"Sama-sama. Semoga masalah Bu Ralin segera terselesaikan."
Ralin mengangguk dengan hati pedih mengingat pengkhianatan suaminya.
"Saya akan segera menyelesaikannya di pengadilan, Pak Lewis."
Lewis sebenarnya tidak ingin mencampuri urusan Ralin namun sepertinya Ralin membutuhkan teman untuk mencurahkan masalahnya.
"Maaf, yang mengusir Bu Ralin apakah suami sendiri?"
"Iya, Pak. Dia mengusir saya dibantu selingkuhannya."
Lewis menghela nafas panjang dan menatap Ralin penuh rasa iba.
"Astaga."
"Ketika saya berjuang agar bisa hamil, dia menduakan saya. Ketika dia belum menjadi siapa-siapa, saya tetap setia menemaninya. Tapi, semua itu dia balas dengan pengkhianatan."
Ralin meraup udara sebanyak mungkin untuk menahan air mata agar tidak luruh.
"Lalu tadi pagi, dia mengusir saya tanpa memberi uang sepeser pun. Tanpa persiapan apapun. Apalagi di kota ini, saya tidak memiliki sanak saudara. Orang tua di kampung membenci saya karena dulu nekat ingin menikah dengannya."
Akhirnya Ralin menunduk sembari menyeka air mata yang tidak bisa dibendung lagi. Lewis hanya menjadi pendengar setia tanpa menghakimi takdir yang Ralin jalani.
"Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih banyak, Pak Lewis. Terima kasih."
Kepala Lewis hanya mengangguk dan membiarkan Ralin menangis untuk melepaskan rasa sedihnya. Tapi tidak berselang lama, ponsel Ralin berdering nyaring.
Emran menghubunginya.
Ralin kemudian menghentikan tangisnya dan berdehem untuk menetralkan suara.
"Apa?!"
"Sisa pakaian dan barang-barangmu aku taruh di halaman rumah. Buruan kamu ambil! Biar rumahku nggak kelihatan kumuh!"
Emran segera mematikan panggilan tanpa salam atau apapun. Hati Ralin pun makin sedih.
"Kenapa, Bu Ralin?"
"Saya harus pergi, Pak. Karena mantan suami saya sudah mengeluarkan semua barang-barang saya di halaman rumah," ucapnya dengan suara bergetar.
Melihat guru putranya begitu terpuruk karena pengkhianatan, Lewis sebenarnya tidak tega. Namun itu bukanlah ranahnya untuk ikut campur urusan rumah tangga Ralin.
Dengan hati sedih dan pilu, Ralin hanya bisa memasrahkan jalan hidupnya pada takdir Tuhan.
Dia terlunta-lunta di kota besar ini seorang diri dan merasa malu untuk kembali pulang ke rumah orang tuanya.
Setelah ini, apa yang harus Ralin lakukan?
Dengan cara apa dia akan melanjutkan hidupnya?
:-0
Lewis mengangguk lalu mempersilahkan asisten pribadinya membuka pintu ruang kerja.Kemudian terpampanglah sekretarisnya, Ardi, bersama seorang ... wanita.Mengenakan setelan kerja berupa blazer warna abu-abu berlengan panjang dengan inner berupa tank top warna hitam sebatas dada atas. Mengenakan rok pendek di atas lutut lima centimeter.Memperlihatkan kaki jenjang, merit, dan mulusnya yang bisa membuat lelaki manapun tertarik untuk meliriknya.Rambutnya digelung rapi dengan riasan flawless yang tidak menor. Tapi cukup membuatnya nampak anggun.Lalu ketukan heelsnya seperti detik jarum jam di tengah sepinya malam. Mampu membelah kesunyian dan magnet alam seakan tertarik padanya. Dan senyum manisnya tergambar jelas sembari menatap Lewis tanpa keraguan.Keduanya berdiri tidak jauh dari meja Lewis. Sedang asisten Lewis berdiri di sebelah Lewis dengan meletakkan kedua tangan sopan di depan tubuh.Lewis menatap sekretarisnya, Ardi, dan bertanya."Apa dia calon penggantimu?"Kepala Ardi menga
Lewis menahan senyum kemudian membuka selimut perlahan. Turun dari ranjang lalu menarik tangan kiri Ralin untuk keluar dari kamar. "Mau kemana, Den Mas?"Lewis meletakkan telunjuk kanannya di depan bibir dan mengedipkan sebelah mata. Dan Ralin mendadak langsung meleleh seketika. Tidak bisa Ralin pungkiri jika ada letupan gairah yang mendadak naik ke puncak ubun-ubun. Dia juga sudah lama berpuasa dari sentuhan Lewis. Namun dia tidak menyangka jika Lewis akan jauh lebih agresif meminta haknya ketimbang dirinya. Hingga kedua pipinya terasa panas karena malu dan pasti sudah bersemu. Oh ayolah, mereka sebelumnya adalah janda dan duda. Namun entah mengapa sekarang kelakuan mereka seperti pasangan muda yang baru menikah. Tanpa banyak bertanya, Lewis membawa Ralin menuju kamar Levi yang kini jarang ditempati. Sudah pasti karena Levi selalu menghabiskan jam tidurnya di kamar kedua orang tuanya. Setelah pintu tertutup dan dikunci, Lewis memojokkan Ralin di tembok dan mulai membelai pipi is
Ralin mengangkat telfonnya dan menunjukkan riwayat panggilannya dengan Zaylin dua jam yang lalu. Mengetahui itu, Lewis segera mengambil ponsel Ralin lalu meremasnya kuat. Menatap kedua mata istrinya itu dengan tatapan tajam. "Tunggu di kamar. Jangan kemanapun!" ucap Lewis tegas."Kamu mau kemana, Den Mas?" Tanya Ralin."Aku bilang ... te-tap di ka-mar!"Perintahnya seperti sebuah titah yang tak terbantahkan. Ralin yang juga mengalami sedikit cidera di kaki kanannya, tidak mungkin bisa menghentikan Lewis yang sedang dikuasai emosi.Ralin hanya bisa melihat suaminya itu pergi dari kamar dan tetap berdiam diri. Kepalanya lantas menggeleng dan mengingat percakapannya dengan Zaylin. Mantan istri Lewis itu menjelaskan semuanya secara detail pada Ralin. Tanpa filter apapun. Padahal Ralin itu mudah merasa tidak enak dan mengalah. Alhasil, dia dilanda stres di masa pemulihan yang mengharuskannya untuk lebih tenang dan sabar menghadapi ini semua. Lewis telah berjanji akan mengatakan segalan
Usai dari kantor, sore itu, Lewis segera menuju restaurant tempat Akhtira menunggunya. Sebenarnya, dia lelah sekali karena harus merampungkan banyak pekerjaan yang sempat menumpuk.Namun rasa lelah itu terabaikan karena akan membahas kesehatan Ralin, terutama rahimnya.Ada kecemasan yang menyelinap ke dalam hatinya.Apakah Rahim Ralin mengalami cedera pasca kecelakaan itu? Ataukah ada hal yang sangat krusial yang membahayakan rahimnya?Dan Lewis bersumpah, bahwa dia tidak akan memaafkan Antony jika rahim Ralin bermasalah karena perbuatannya. Dia rela mengajukan pemberatan hukuman pada Antony jika rahim Ralin terbukti bermasalah!Dia memiliki kekuasaan, harta, dan koneksi yang akan mendukung dan menguntungkannya. Sedang Antony dan keluarganya, mereka tidak ada seujung kuku keluarga Hartadi.Begitu tiba di lokasi restaurant, Lewis berjalan dengan cepat diikuti asisten pribadinya. Matanya yang terlapisi kacamata bening dengan cepat memindai keberadaan Akhtira yang sudah menunggu di kursi
Tangan kanan Lewis memar karena terlalu keras memukul Antony. Dia merasa masih kurang dan emosinya masih bergejolak.Antony terlalu arogan dan itu membuat Lewis tidak memberinya ampun. Berbeda dengan para komplotan yang tadi masih menunjukkan sisi ketakutan.“Pak, apa perlu saya antar ke IGD dulu sebelum kembali ke kamar Nyonya?”Lewis tidak menjawab. Membiarkan rasa nyeri itu merajai punggung tangannya. Lalu mengambil ponsel dan menekan nomer kepala tim.“Selamat siang, Den Mas. Ada yang bisa dibantu?”“Apa Antony masih hidup?”“Masih, Den Mas.”“Beri tahu dia. Kalau seumur hidupnya akan berakhir di jeruji besi. Di tempat yang jauh dari keluarganya.”“Baik.”“Dan satu lagi, katakan padanya agar tidak muncul di hadapanku, Ralin, atau keluarga besarku. Tidak ada maaf baginya!”Keputusan Lewis sudah final.Ini pertama kalinya dia begitu kejam pada seseorang. Namun ini masih jauh lebih baik dari pada Luis yang bertindak.Kemudian Lewis menghubungi tim advokat keluarga Hartadi dan menyampa
Lewis mengetuk pintu kamar inap Ralin kemudian membukanya perlahan. Ralin yang sedang dibantu makan dan minum oleh ibunya kemudian menoleh.Setelah menutup kembali pintu kamar, Lewis berjalan mendekat dan meletakkan satu buket bunga sederhana di meja.Lalu senyum Ralin mengembang, “Makasih, Den Mas.”“Sama-sama.”Kemudian Lewis duduk di sebelah Ralin dengan senyum sama mengembangnya. Seakan tahu jika anak dan menantunya butuh waktu berduaan, ibunya Ralin kemudian beralasan.“Lew, tolong suapin Ralin.”Kemudian Lewis menerima mangkok berisi sarapan lembut Ralin.“Ibu mau kemana?”“Sarapan bentar sama Bapak. Udah nunggu di luar dari tadi.”Setelah pintu ditutup, Lewis kemudian menyuapi Ralin perlahan.“Aku nggak pernah nyuapin Levi. Tapi mendadak jadi nyuapin kamu.”“Kamu kurang akrab sama anakmu sendiri, Den Mas.”Lewis menyuapi Ralin untuk pertama kalinya hingga habis kemudian datanglah dokter dan perawat untuk melakukan kunjungan.Mengecek keadaan Ralin dan bekas luka serta jahitan.L