Wow Pak CEO menunjukkan kembali pesonanya :)
Tentu, tindakan Alvano bisa dibilang gegabah. Menantang duel minum di klub bukan tindakan CEO waras di tengah malam. Namun, semua itu bukan tanpa perhitungan.Proyek kolaborasi Valora X Tenka sudah terlalu banyak menemui kendala. Penjadwalan ulang photoshoot bisa menyebabkan kerugian besar, bukan hanya finansial, tapi juga reputasi brand. Mengganti model dengan waktu sesingkat ini? Tidak realistis.Ini bukan hanya tentang melindungi istrinya.Ini tentang menyelamatkan proyek yang sudah nyaris sempurna, yang Alvano bangun dengan kerja keras dan detail.Maka ya, ini mungkin gila.Namun, gila yang strategis.Dan jika harus meneguk beberapa gelas tequila demi mengamankan semuanya?Alvano siap. Bukan hanya untuk istrinya, tapi untuk perusahaannya juga.Dengan sedikit anggukan dari Aruna, salah satu pria bertubuh besar di sofa bangkit. Namanya Genta, dan dari postur tubuh serta kaos ketat yang dikenakan, sepertinya dia merasa cukup percaya diri untuk menghadapi siapa pun di meja itu.“Dia,
Tidak sampai dua puluh menit kemudian, mereka sudah berada di dalam mobil. Sebelumnya, mereka sempat berganti pakaian terlebih dulu.Isvara tidak mungkin pergi ke klub malam hanya mengenakan daster yang tadi dia pakai untuk memasak. Bisa-bisa dia diusir sebelum sempat masuk.Alvano menyetir, sementara Isvara tengah sibuk menelepon manajer Aruna untuk memastikan lokasi klub yang dimaksud.Sesekali Isvara juga mengecek ponselnya, memastikan tidak ada pesan darurat dari tim produksi yang masih berjaga di studio untuk persiapan pemotretan esok hari.Sepanjang perjalanan, Alvano lebih banyak diam. Wajahnya tetap menghadap ke jalan, tapi setiap kali mobil berhenti di lampu merah atau melambat di persimpangan, sorot matanya melirik ke arah Isvara. Wajah datar itu tidak bisa menyembunyikan gelisah, juga sedikit jengkel.Begitu tiba di depan klub, Alvano segera turun lebih dulu. Dia berjalan memutari mobil dan membukakan pintu untuk Isvara. Tanpa berkata apa-apa, tangannya langsung melingkar d
Beberapa menit kemudian, Alvano kembali muncul, menuruni tangga dengan kantong kecil di tangan. Plastik bergambar pisang berwarna kuning cerah itu langsung mencuri perhatian Isvara.“Tokyo Banana!” seru Isvara, nyaris melengking karena terlalu senang. Alvano mengangguk kecil. “Yang kamu pesen itu, ‘kan? Harusnya semalam aku kasih, tapi …” Dia tidak melanjutkan, hanya mengedikkan dagu, jelas merujuk pada pertengkaran semalam tanpa perlu menyebutkannya secara langsung.Isvara hampir saja mengulurkan tangan, refleks ingin merebut oleh-oleh yang dia pesan. Namun dia buru-buru berhenti, menatap kedua telapak tangannya yang masih belepotan bumbu dari ayam yang sedang dia siapkan.“Nanti deh, aku cuci tangan dulu–”“Nggak usah.” Alvano sudah kembali duduk di sebelahnya. Dia membuka bungkusnya pelan-pelan, seperti menyuguhkan sesuatu yang lebih dari sekadar camilan. Dengan hati-hati, dia memotong sepotong kecil dan menyuapkan ke mulut istrinya.Perempuan itu sempat terkejut, tapi tentu saja t
Isvara sampai rumah tidak lama setelah langit mulai meremang jingga. Dia sibuk merapikan belanjaan di dapur, menata sayur dan daging ayam sambil bersenandung pelan. Kepalanya lumayan ringan, jauh lebih lega dibanding pagi tadi.Baru saja Isvara selesai membersihkan sayuran ketika suara pintu depan terbuka. Isvara sontak menoleh cepat, dan mendapati Alvano berdiri di ambang pintu. Masih mengenakan kemeja kerja yang tampak kusut dan dasi yang longgar di lehernya. Wajahnya lelah, tapi riak wajahnya berbeda, dan Isvara tidak tahu kenapa.“Van? Tumben udah pulang?” tanya Isvara hati-hati. Heran juga, karena biasanya Alvano pulang lebih malam.Alvano tidak langsung menjawab. Tatapannya tidak terputus pada istrinya, lama, dalam, seperti tengah menafsirkan sebuah teka-teki rumit. Lalu dalam beberapa langkah panjang, dia sudah ada di hadapan istrinya.Sebelum Isvara sempat mundur atau bahkan bertanya lebih jauh, tubuhnya sudah direngkuh erat. Lengan Alvano melingkar kokoh pada bahu Isvara, men
Sementara itu, Isvara kini sedang berada di supermarket terdekat dari rumah. Setelah seharian mencoba tidur, atau lebih tepatnya berusaha menenangkan pikirannya yang penuh setelah semalam pingsan. Dia memutuskan keluar sebentar.Hari ini Isvara memang tidak masuk kerja. Alvano dengan tegas memintanya untuk istirahat penuh. Namun, diam terlalu lama di kamar hanya membuat pikirannya makin keruh, terus-menerus terisi ulang oleh kata-kata dari ibu mertuanya.Maka, dia memilih sesuatu yang sederhana: belanja bahan makanan. Melihat deretan sayur dan buah yang tertata rapi membuatnya merasa sedikit lebih waras.Dalam hati, Isvara ingin memasak ayam panggang rosemary, makanan favorit Alvano. Entah kenapa, ada keinginan dalam dirinya untuk membuat suaminya tersenyum malam ini. Setelah hampir dua minggu terpisah, tidakkah wajar bila dia rindu? Dan ingin menebus semua jarak, semua luka?Saat berbelok ke lorong buah. Pandangannya tertumbuk pada seorang pria tua yang sedang berjuang mengangkat sema
‘Wah, jangan-jangan Kak Al mau nanya soal uang yang aku pinjam dari Kak Isvara,’ pikir Aksara cepat, jantungnya sempat melompat, tapi wajahnya tetap dipasang santai.“Nanya apa, Kak Al?” tanya Aksara, ragu-ragu sambil menarik kursi dan duduk.“Mau pesan minum dulu?” tawar Alvano.“Nggak usah. Nanti aja. Hausnya belum ngalahin deg-degan,” celetuk Aksara mencoba mencairkan suasana. Namun, Alvano hanya menatapnya. Tenang, tapi tajam.Alvano mengangguk, lalu diam sejenak. Menimbang. Apakah pantas menanyakan hal ini? Namun siapa lagi kalau bukan Aksara? Dia tidak mungkin bertanya pada orang tua Isvara, atau lebih parah lagi pada Isvara sendiri, yang masih tidur lelah setelah semalam tumbang karena emosi.“Aksara …” Akhirnya Alvano bersuara.“Iya, Kak?” Aksara mengerutkan kening. Dia tahu Alvano sedang merumuskan kata-kata. “Tanya aja, Kak. Aku jawab sebisanya.”Alvano menarik napas panjang. Lalu, dengan suara rendah yang terdengar lebih rapuh dari biasanya, dia akhirnya mengutarakan, “Kalau