LOGIN"Tahanlah sebentar," ucap Arsenio, meniup perlahan luka di telapak tangan Kirania.
Kirania hanya diam dan membiarkan Arsenio merawat luka di telapak tangan kanannya yang tadi menggenggam beling. Diam-diam matanya tidak putus memperhatikan pria itu, membuat ingatannya terlempar pada kejadian beberapa menit yang lalu—momen intim mereka. "Apa gerangan yang sedang Tuan Putri pikirkan, hm?" tanya Arsenio, dengan nada menggoda sambil melanjutkan membalut tangan Kirania dengan perban. "Hm? Mikirin apa?" ulang Arsenio, matanya menatap lurus ke mata Kirania. "Mikirin cara bunuh diri lagi?" Kirania cepat-cepat menggeleng. "E-enggak. Kira gak mikirin apa-apa," gumamnya pelan. Ia hendak menarik tangannya, tapi Arsenio menahannya dengan genggaman kuat, namun tetap terasa lembut dan tidak menyakitinya. Ia menundukkan kepala—menghindari mata Arsenio yang tak kunjung putus menatapnya intens. "Berjanjilah pada saya, bahwa kamu tidak akan melakukan hal nekad seperti ini lagi," ucap Arsenio, sambil menarik dagu Kirania agar menatapnya. Kirania bergeming. Seakan terhipnotis, ia menganggukkan kepalanya singkat. "Good girl." Arsenio tersenyum, lalu membawa punggung tangan Kirania ke bibirnya—mengecupnya singkat. Cup. Sementara si empunya tangan terpaku dengan jantung yang mendadak berdentum kencang. Tak berselang lama, suara ketukan pintu terdengar, sebelum akhirnya terbuka setelah dipersilahkan oleh Arsenio. "Maaf, Tuan. Tuan Bram sudah datang dan sekarang sedang menunggu Anda di ruangan baca," info Maid tersebut. Arsenio mengangguk sebagai jawaban. "Bawakan sarapan Non Kirania ke kamar!" perintahnya singkat. "Baik, Tuan." Maid tersebut berlalu pergi, dan kembali hanya menyisakan Kirania dan Arsenio di dalam kamar tersebut. "Saya tinggal sebentar gak papa?" tanya Arsenio, menatap Kirania dengan lekat. Kirania hanya mengangguk sebagai jawaban. "Nanti Maid akan mengantarkan sarapan Non Kira ke sini," ucap Arsenio, membereskan kotak P3K terlebih dahulu, dan meletakkannya kembali ke dalam laci meja nakas. Saat akan berlalu meninggalkan kamar, ia menoleh sekali lagi ke arah Kirania. Melihat gadis itu yang diam menundukkan kepala di ranjang, dengan wajah yang tampak muram, membuatnya tidak tega. "Saya akan segera kembali," ucap Arsenio, sambil mengusap dan mengecup kepala Kirania lembut. Beberapa menit sepeninggalan Arsenio, pintu kamar Kirania diketuk dari luar. Karena berpikir itu Maid yang akan mengantarkan makanan untuknya, Kirania mempersilahkan masuk. "Sarapannya, baby." Deg Tidak ada dua detik setelah suara itu masuk ke gendang telinganya, jantung Kirania langsung berpacu kencang, tubuhnya gemetar. Ia melompat turun dari ranjang, dan beringsut mundur saat Jeff mengayunkan kaki mendekat—setelah mengunci pintu kamar. "Kau pikir kau bisa lari dari ku, hm?" seringai Jeff. "Jangan mendekat!" desis Kirania, sambil menodongkan pisau buah yang ia ambil dari atas meja nakas samping ranjang. Matanya memerah, penuh dengan rasa panik dan ketakutan. "KIRA BILANG JANGAN MENDEKAT! KAKAK KELUAR!" teriak Kirania lantang, semakin panik saat Jeff terus melangkah mendekat dengan seringai mengerikan seperti iblis. "Kau tidak perlu sepanik ini, Sayang. Chill ... aku tidak akan menyakitimu." Jeff terkekeh, dengan senyum miringnya. Ekspresi takut di wajah Kirania membuatnya puas. "Kira gak akan segan-segan melakukannya, kalau kakak gak keluar juga!" ancam Kirania, pisau di tangannya bergetar, napasnya memburu. Jeff terkekeh remeh. "Gadis semanis mu, tidak akan mungkin mampu melakukannya, Sayang." "Bisa! Siapa bilang gak bisa?!" balas Kirania dengan suara menantang. "Oh ya? Kita lihat saja nanti." Kirania menjerit semakin panik saat Jeff maju menerjangnya. Ia tanpa ragu mengayunkan pisau di tangannya. Tapi Jeff dengan mudah menangkap merebut pisau tersebut. Detik berikutnya, Jeff sudah mendorong Kirania sampai terbaring di atas kasur. Belum sempat Kirania bangkit, tubuh Jeff sudah lebih dulu menindihnya. "Kak Jeff ...!" pekik Kirania, sambil kedua tangannya mencoba membenarkan dress nya yang tersingkap sehingga memperlihatkan pahanya. "Kak Jeff mau apa?! Plis jangan lagi, Kak. Kira mohon ...! Lepas ...!" Kirania memberontak hebat. "Kau pikir kau bisa menang melawanku, hm? Dan sampai kapanpun, kau tidak akan pernah bisa kabur dariku, baby. Karena tempatmu adalah bersamaku," bisik Jeff, lantas mengecup telinga Kirania, lalu menjalar ke leher. Mencumbunya lembut, menghirup dalam-dalam aroma tubuh gadis itu yang memabukkan dan selalu mampu membangkitkan gairahnya. Kirania bergidik, sekelebat bayangan kejadian semalam langsung saja memenuhi benak Kirania, membuatnya semakin memberontak hebat. Jeritannya tertahan oleh bungkaman telapak tangan Jeff. "Diam! Aku bilang diam!" bentak Jeff, membuat Kirania kontan berhenti memberontak, tapi tubuhnya tetap gemetar hebat. "Kau tidak punya pilihan lain selain bersamaku, baby." Jeff menatap Kirania dengan sorot mata tajam. "Dan aku tidak akan segan-segan untuk melakukan hal yang sama seperti semalam, bahkan membuatmu mengandung anakku, jika kau terus melawan. Jadi tentukan saja, kau ingin patuh atau melawan?" Deg. Mata Kirania memanas, diantara kedua pilihan itu tidak ada yang menguntungkannya, karena pada akhirnya ia akan tetap terjebak dalam jerat Jeff. "Mau patuh, hm?" Dengan air mata berlinang, Kirania mengangguk pertanda setuju. Jeff menyeringai. "Keputusan yang sangat tepat, baby. Kalau begitu cium aku sekarang." bisiknya, mengusap-usap paha mulus Kirania yang terekspos. "T-tapi, Kak ...." "Jika kau tidak mau, tidak masalah. Aku juga tidak masalah jika sepanjang hari kita dalam posisi seperti ini," ucap Jeff santai, tangannya semakin berani masuk ke dalam paha Kirania, setelah menyingkap dress gadis itu kian tinggi. "Kak, plis ...." Kirania menahan tangis, menggeliat tidak nyaman. "Tadi kau sudah setuju, kan, bahwa kau akan menuruti semua keinginanku. Kau lupa, hm?" Kirania menggigit bibir bawahnya yang bergetar karena menahan tangis. Tangannya menahan tangan Jeff di bawah sana, yang begitu dekat dengan selangkangannya. "I'm waiting for you, baby," bisik Jeff sensual. Tepat saat itu, pintu kamar diketuk dari luar. Kirania bisa mendengar suara Arsenio. Ia baru akan berteriak, saat mulutnya dibekap oleh tangan besar Jeff. "Om Ar—hmmpp ...." "Saya tahu Anda juga ada di dalam, Tuan Jeff. Buka pintu ini, sebelum saya mendobraknya, dan berpotensi mengundang kehadiran semua anggota keluarga." Suara Arsenio terdengar tenang, tapi tertahan. Jeff menggeram. Kenapa setiap kali ia bersama Kirania, pria menyebalkan itu selalu saja datang? BUGH! Akhirnya Kirania berhasil menendang selangkangan Jeff dengan sekuat tenaga, kemudian mendorong tubuh pria itu dengan kencang. "ARGHHH ... BANGSAT!" umpat Jeff kesakitan sambil memegang miliknya yang sudah menegang sejak tadi. Dengan cepat Kirania berlari ke arah pintu, tepat ketika pintu itu juga ditendang kencang dari luar. Mendapati wajah Arsenio setelahnya, dada Kirania seperti tersiram air yang sejuk—kelegaan membanjirinya. "Are you okay?" tanya Arsenio, membingkai wajah Kirania. Wajahnya tanpa ekspresi, tapi sorot matanya tidak berbohong—bahwa ada kekhawatiran di sana. Kirania tidak menjawab, tapi langsung menghambur ke dalam pelukan pria itu—yang diterima Arsenio dengan senang hati. "It's okay. Maaf, karena sudah meninggalkanmu," bisik Arsenio lembut, menenangkan. Dikecupnya puncak kepala Kirania berulang kali. "Apa ikut campur urusan orang lain sekarang jadi bagian dari job desk mu, hm?" tanya Jeff, suaranya dalam dan berat, menatap tajam ke arah Arsenio. "Jika Anda tidak ingin saya ikut campur, maka berhenti mengusik Non Kira! Karena sekarang, semua hal yang berurusan dengannya, juga menjadi urusan saya," balas Arsenio dengan geraman tertahan, tanpa melepas pelukannya pada Kirania. "Dia milikku!" desis Jeff, dan dengan sekali hentakan kuat menarik Kirania ke arahnya. Arsenio tak kalah cepat menepis tangan Jeff, dan melindungi Kirania di belakang tubuhnya, membuat Jeff tak ayal semakin meradang. "Kau ingin main-main denganku?" gertak Jeff, penuh emosi tertahan, sambil menyentak kerah kemeja Arsenio. "Saya menghormati Anda. Tapi bukan berarti saya takut dengan Anda, Tuan. Terlebih jika itu menyangkut Non Kira." balas Arsenio tenang, membalas tatapan mata Jeff tanpa getir sedikitpun. "Jadi, perhatikan batasan Anda, Tuan. Sebelum saya terpaksa melewati batasan saya juga," sambung Arsenio, suaranya rendah dan penuh peringatan. "Dan satu lagi...." Arsenio menepis kasar tangan Jeff, hingga terlepas dari kerah bajunya. "Dia bukan milik Anda! Because, She's mine!""Dressnya kependekan," komentar Arsenio yang sedang menggulung lengan jaket miliknya yang kebesaran di tubuh mungil Kirania. "Kan Kira gak tahu kalau bakalan pergi naik motor," sahut Kirania dengan wajah cemberutnya. Siapa yang menyangka jika empat ban mobilnya kempes semua. Sekarang ia berakhir menumpang dengan Arsenio yang kebetulan sedang membawa motor, karena pria itu takut kena macet. "Lain kali jangan dipakai lagi," ucap Arsenio, nada suaranya terdengar semakin datar saja. "Kalau lagi naik motor?" tanya Kirania polos. "Mau naik motor, naik mobil, tetap jangan dipakai lagi," balas Arsenio, sambil memasangkan helm ke kepala Kirania. "Kenapa emangnya?" tanya Kirania, kali ini dengan nada suara heran. Arsenio menghela napas panjang, lantas memandang gadis di hadapannya itu yang semakin terlihat manis saja dalam balutan jaket kebesaran serta helm pink di kepala. Tangannya terulur, mencubit gemas pipi chubby Kirania. "Ayo naik," ucap Arsenio, sambil memasang he
Setelah tujuh hari mengurung diri di penthouse, pasca meninggalnya Pradipta. Hari ini Kirania menyetujui ajakan teman-temannya untuk jalan-jalan ke luar. "Selamat siang!" sapa Devanka dengan senyum cerahnya seperti biasa. "Wah ... lihatlah betapa cantiknya Kirania kita siang ini." Kirania yang baru saja menuruni tangga, hanya memberikan senyuman tipis sebagai balasan. Matanya lalu tanpa sengaja melirik ke arah meja makan, membuat pandangannya bertemu dengan Jeff. Pria itu memang punya kebiasaan akan pulang untuk makan siang. "Tante senang, akhirnya kamu udah mau jalan-jalan ke luar." Devanka mengusap puncak kepala Kirania lembut. "Ayo duduk, Sayang. Kita makan siang bareng dulu." Langkah Kirania menjadi grogi, saat mata elang Jeff tidak lepas menatapnya. Entah kenapa ia merasa tatapan Jeff begitu tajam, seperti tengah menelanjanginya. "Kak Helena mana, Tante?" tanya Kirania. Sebenarnya hanya basa-basi untuk meredam rasa gugup akibat tatapan penuh intimidasi Jeff. "Lagi sia
"Saya tahu kita semua disini masih dalam kondisi berduka. Namun, wasiat ini sudah menjadi amanat dari Tuan Pradipta, sebelum beliau berpulang. Jadi, saya harus membacakannya pagi ini." Suara Bram memecah keheningan ruangan keluarga yang telah diisi oleh Devanka, Helena, Jeff, dan Kirania. Selaku orang kepercayaan mendiang Pradipta, Arsenio ikut mendampingi pembacaan surat wasiat malam ini. Mata pria itu tidak putus memperhatikan Kirania. Gadis itu tampak rapuh dan rentan. Wajah dan matanya yang sembab, bukan hanya menggambarkan gurat kesedihan yang sangat dalam. Tapi juga tampak tertekan. "Baik, bisa saya mulai?" Tanya Bram, menatap semua anggota keluarga."Ya, silahkan," kata Arsenio datar. Bram menarik napas dalam-dalam, membuka dokumen yang ada di tangannya, dan mulai membacakannya."Surat wasiat. Telah bertanda tangan di bawah ini, nama Pradipta Maheswara. Menyatakan dengan sadar dan tanpa paksaan, membuat surat pernyataan wasiat waris. Bahwa saya adalah pemilik harta kekayaan
"Tahanlah sebentar," ucap Arsenio, meniup perlahan luka di telapak tangan Kirania. Kirania hanya diam dan membiarkan Arsenio merawat luka di telapak tangan kanannya yang tadi menggenggam beling. Diam-diam matanya tidak putus memperhatikan pria itu, membuat ingatannya terlempar pada kejadian beberapa menit yang lalu—momen intim mereka. "Apa gerangan yang sedang Tuan Putri pikirkan, hm?" tanya Arsenio, dengan nada menggoda sambil melanjutkan membalut tangan Kirania dengan perban. "Hm? Mikirin apa?" ulang Arsenio, matanya menatap lurus ke mata Kirania. "Mikirin cara bunuh diri lagi?" Kirania cepat-cepat menggeleng. "E-enggak. Kira gak mikirin apa-apa," gumamnya pelan. Ia hendak menarik tangannya, tapi Arsenio menahannya dengan genggaman kuat, namun tetap terasa lembut dan tidak menyakitinya. Ia menundukkan kepala—menghindari mata Arsenio yang tak kunjung putus menatapnya intens. "Berjanjilah pada saya, bahwa kamu tidak akan melakukan hal nekad seperti ini lagi," ucap Arsen
Arsenio menangkap tangan Kirania dan menahannya kuat. "Lepas! Saya mohon jangan nekad, Non." Alih-alih melepaskannya, Kirania justru menggenggam beling itu lebih kuat sehingga semakin melukai tangan gadis itu. "Saya mohon jangan seperti ini, Non. Lepaskan belingnya, ini akan melukaimu." Sorot mata Arsenio yang sarat akan kekhawatiran juga permohonan, bertemu dengan sorot mata Kirania yang memancarkan kesedihan, rasa lelah, maupun keputusasaan yang mendalam. Air mata gadis itu berurai deras. "Semua keluarga Kira udah gak ada, Om. Semuanya ninggalin, Kira. Mama, lalu Papa. Gak ada lagi yang tersisa bagi Kira di dunia ini. Jadi untuk apa lagi Kira hidup? Lebih baik Kira pergi bersama mereka. Kira mau ketemu Papa," bisik Kirania parau, suaranya hampir tidak terdengar, tenggelam dalam tangisnya. Arsenio menggeleng tegas. "Tidak. Tuan Pradipta pasti tidak akan suka jika Non Kira menemuinya dengan cara seperti ini." "Biarkan Kira mati! Kira gak mau hidup kayak gini, Om. Gak mau
"Brengsek! Berani-beraninya kau menyentuh Nona Kira! Biadab!" maki Arsenio yang tengah memukuli Jeff dengan membabi buta. Serangan telak yang tidak terelakkan oleh Jeff yang berada di bawah kukungan tubuh besar Arsenio. “Aku sudah curiga sedari tadi ketika melihatmu masuk ke dalam kamar Nona Kira, tapi aku menahan diriku untuk tidak menerobos masuk.” Arsenio baru menghentikan pukulannya setelah wajah Jeff babak belur. Ia bangkit dari atas tubuh Jeff yang terkapar tidak berdaya, napasnya memburu hebat. Ia lantas berbalik ke arah Kirania yang menangis sesegukan di atas ranjang, menarik selimut dan menutupi tubuh Kirania yang sudah setengah telanjang itu. "Om ...." isak Kirania, seakan mengadu pada pria berusia 40 tahunan itu. "Tenanglah, Non. Semua akan baik-baik saja." Arsenio melepaskan ikatan pada tangan Kirania dengan lembut, agar tidak menyakiti gadis itu. Setelah ikatan pada tangan Kirania terlepas, Arsenio kemudian melilitkan selimut di tubuh gadis itu. Saat ia hendak men







