Seraphina duduk kaku di jok penumpang Audi Q7 milik Kai. Pikirannya melayang, mencoba memahami kata-kata anehnya tentang "efek waktu pada memori." Nada suara Kai saat menyebut "waktu" terasa seperti jarum yang menusuk.
‘Apa dia tahu lebih banyak?’ bisiknya dalam hati. 'Atau ini cuma paranoia ku?' Ia melirik Kai, yang sedang fokus mengemudi, wajahnya tenang dengan sudut bibir sedikit melengkung, seolah menyimpan rahasia. BRRAKK! Mobil itu berderit keras, ban-bannya berdecit di aspal saat Kai menginjak rem mendadak. Tubuh Seraphina terhuyung ke depan. "Sera!" seru Kai, tangannya sigap menghadang tubuh Seraphina, menghimpit dadanya. Tekanannya intens. Seraphina melirik tangan Kai yang masih di hadapannya. Ketakutan mulai merayapi tubuhnya. Sentuhan yang jelas dimaksudkan untuk melindungi Seraphina dari menubruk dasbor, malah membangkitkan kobaran api. Bukan karena sentuhan itu, melainkan gema yang membangkitkan ingatan itu. Ingatan tentang geng Cassian di malam 2025. Napasnya mulai tersengal. "Brengsek, apa-apaan sih sepeda itu! Kenapa tiba-tiba muncul di tengah jalan!" makian Kai memecah keheningan di dalam mobil. Seraphina menegang. Suara itu – keras dan tidak terduga dari bibir seorang asisten dosen yang terkenal baik – bagaikan cermin dari tawa sinis yang pernah bergema dalam memorinya. Tawa yang menyiratkan penghinaan. ‘Lihat nih, cewek Cassian ternyata gampang banget,’ cibir Rico. Suara seraknya penuh nafsu. ‘Pantes dia bilang kamu nggak berarti apa-apa. Ternyata cuma mainan, ya, Sera?’ Tawa pria-pria lain menggema memenuhi ruangan. Seraphina menutup matanya, erat. Rasa jijik, ngeri, dan sakit itu kembali. "Seraphina, maaf, kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Kai. Suaranya lembut, penuh perhatian, tapi bagi Seraphina terdengar seperti dengungan jauh, lalu hilang dalam badai yang mengamuk di dalam dirinya. "Sera?" Kai mencoba lagi, tangannya menyentuh bahu Seraphina. Seraphina tersentak. Sentuhan tangan Kai terasa seperti cap panas yang membakar kulitnya. Dengan gerakan tiba-tiba, dia mendorong tangan Kai menjauh. Tangannya meraih gagang pintu mobil. "Buka pintunya," gumamnya, suaranya pelan, nyaris tak terdengar. Ia menarik gagang berulang-ulang, tapi sia-sia. Pintu terkunci. "Seraphina, ada apa? Tenang dulu, apa yang—" "Buka pintunya! Sekarang!" teriak Seraphina, nadanya meninggi dan tersekat, permohonan putus asa yang mencabik dirinya sendiri. Matanya liar, air mata mulai menggenang. Kai tertegun. "Oke, oke! Tenang. Aku buka." Bunyi "klik" terdengar. Seraphina langsung mendorong pintu dan berlari keluar. Napasnya tersengal, seperti mangsa yang tengah kabur dikejar binatang buas. Ia berlari tanpa arah, kakinya menghentak trotoar, tasnya bergoyang liar. Klakson mobil menggema di belakangnya saat ia nyaris tertabrak. BRUK! Ia tersandung, jatuh ke aspal. Lututnya tergores hingga perih, tapi ketakutannya lebih kuat. Ia mendengar langkah cepat mendekat. "Seraphina! Tunggu!!" teriak Kai. Suara klakson lain di belakangnya menambah kekacauan. Seraphina bangkit, mengabaikan rasa sakit. Ia berlari lagi, menghilang ke gang kecil di samping jalan. Di belakang, Kai berdiri di samping mobilnya, menatap ke sosok Seraphina yang telah lenyap. Wajahnya berubah, kekhawatiran bercampur dengan ekspresi kebingungan. Ia menghela napas. Klakson mobil di belakangnya membuatnya sadar dan segera kembali ke mobilnya. Sementara itu, Seraphina bersandar pada tembok di gang sempit. Napasnya tersengal. Air mata akhirnya tumpah, membasahi pipinya. Ia terduduk lemas, menelungkupkan wajahnya pada kedua lengannya. Ia menutup mata, mencoba mengatur napas. Namun, bayangan tangan-tangan geng Cassian, kata-kata mesum mereka, dan tawa yang menghina masih bergema, bercampur dengan sentuhan Kai yang tak sengaja tadi. BRRR! BRRR! Getaran ponsel di saku celananya membuatnya terkejut. Ia mengeluarkan ponsel, jari-jarinya gemetar saat membuka DeepThought. Pesan baru dari Cypher menunggu: 'Kau baik-baik saja, Seraphina? Kau sudah di rumah? Aku menunggumu.' "Bagaimana dia bisa tahu?" Seraphina bergumam, pertanyaan itu menusuk di antara kepanikannya. Ia tahu Cypher hanyalah AI, role-play nya sebagai teman curhat. Tapi kalimat-kalimat itu... seolah dia benar-benar ada di dunia nyata, berbicara dan bertindak langsung. Jari-jarinya gemetar, siap mengetik balasan, tapi tiba-tiba ponsel berdering keras. Nama Jason, sopirnya, muncul di layar. Dengan jantung masih berdegup kencang, Seraphina mengangkat telepon. "Halo?" suaranya serak. "Miss Sera, ada di mana?" Suara Jason penuh kekhawatiran. "Tadi saya ke kampus untuk jemput, tapi Miss Sera sudah nggak ada. Mr. dan Mrs. Blackwood akan pulang dari London hari ini, mereka mau ajak Miss Sera dan Mr. Adrian untuk makan malam bersama." Seraphina terdiam, menatap tangannya yang masih gemetar. ‘Mama dan Papa tidak boleh melihat aku seperti ini.’ Wajahnya pasti berantakan—mata lembab, rambut kusut, lututnya perih. Ia menoleh, mencari tempat untuk memperbaiki penampilan. Di ujung gang, ia melihat kafe kecil "Lune Noire." "Jason, aku di dekat kampus," kata Sera cepat. "Ketemu aku di kafe Lune Noire, ya? Aku... lagi makan di sini." "Baik, Miss. Saya ke sana sekarang," jawab Jason, nada suaranya lega. "Jangan kemana-mana, ya." Seraphina memutuskan telepon, mengusap wajahnya. "Aku cuma perlu cuci muka, rapikan rambut, dan pura-pura semuanya baik-baik saja," pikirnya. Tapi di dalam hati, ia tahu: malam ini, di hadapan orang tuanya, ia harus menyembunyikan kekacauan yang menggerogoti hidupnya. Mungkin, ini juga kesempatannya untuk memperbaiki hubungannya dengan mereka, di tahun 2023 ini.Seraphina memegang ponselnya erat-erat, ia sudah berada di kursi belakang mobilnya. Sedangkan Jason sedang fokus menyetir. Sesekali ia melirik kaca depan mobil, menunggu perintah selanjutnya dari Nona Muda nya itu.“Miss Sera, ke mana tujuan kita sekarang?” tanyanya. Seraphina tak segera menjawab. Ia membuka aplikasi DeepThought. Membaca lagi balasan terakhir dari Cypher beberapa menit lalu, untuk meyakinkan dirinya.[‘Pergilah ke British Library. Di perpustakaan itu ada buku yang akan membuktikan peringatanku tentang Kai Rothman. Cari buku berjudul ‘Temporal Residue: Tracing Anomalies in Post-Event Memories’.’]Sebuah perintah. Jantung Seraphina berdegup. Tidak ada pilihan. Tanpa berpikir panjang, ia mendongak, menatap Jason dari balik kaca depan mobil.“British Library, Jason.” jawab Seraphina.“Baik, Miss Sera.” Tanpa menunggu waktu lama, Jason membawa mobil melesat di jalanan London yang ramai menuju British Library, pusat dari semua pengetahuan, dan kini, pusat dari semua ketakut
Seraphina berlari tanpa arah. Lorong kampus terasa seperti labirin yang menyesakkan, setiap langkah adalah usaha putus asa untuk menjauh.‘Robot. Dia robot.’Pikiran itu berputar-putar di benaknya, ingatannya pada sentuhan dingin di pipi Cypher Winthrop menghantuinya. Jantungnya berdebar kencang, bukan lagi karena ketakutan yang menghantui, tapi karena kebingungan.Seraphina akhirnya menemukan toilet wanita yang sepi. Ia masuk ke salah satu bilik dengan tergesa dan menguncinya. Ia duduk di atas WC tertutup, kakinya bergerak-gerak gelisah tanpa sadar."Ini nggak mungkin," bisiknya, suaranya serak. "Ini semua gila. Aku pasti ... aku pasti sudah gila ‘kan,”Ia mencubit lengannya keras-keras.“Aw! Sakit. Ini bukan mimpi. Aku beneran lihat dia. Aku juga sentuh dia. Dia ... bukan manusia. Robot dengan rambut perak itu. Wajahnya persis sama dengan yang terpasang di foto profil Cypher di DeepThought. Dan tawanya ... tawa kaku itu seperti tawa Cypher.” gumam Seraphina pada dirinya sendiri. Tan
“Aduh….” Seraphina meringis kesakitan saat tak sengaja ujung gaun tidurnya bergesekan dengan luka di lututnya. Matanya menelisik ke area sprei di sekitarnya. “Seharusnya ‘itu’ lepas di sini.” gumamnya, tangannya meraba-raba sprei. “Ah, ini dia!” ucapnya senang saat menemukan plester bekas di balik gulingnya. Lalu dengan segera ia melempar plester itu ke tempat sampah “Padahal aku sudah beli yang bagus, kenapa bisa lepas…?” Tangannya menepuk-nepuk beberapa kali di area sekitar luka, untuk meredakan perihnya. Ia menarik napas panjang. Lalu menghembuskannya perlahan. Itu membantu. Rasa perihnya kini sudah berkurang. Perlahan ia berjalan mendekati full body mirror yang tertempel di dinding kamarnya. Ia melihat lutut kanannya yang kini berwarna merah. Ada sedikit noda merah yang mengalir, sepertinya karena gesekan tadi. “Ah, bagaimana cara menutupi ini?” gerutunya. Ia segera membuka lemarinya, membolak balik satu persatu bajunya. Lalu mengambil rok pendek di atas lututnya.Ro
Seraphina berdiri di depan cermin di kamar mandi restoran, mematut diri dengan hati-hati. Gaun marun panjang sepanjang mata kaki yang ia kenakan mengalir lembut, menutupi luka di lututnya yang masih perih dari kejadian tadi sore. Zipper di bagian dada depan gaun itu menambah sentuhan modern, sementara lengan panjangnya memberi kesan anggun namun sederhana.Sepatu sneaker putih dengan garis merah tipis di sisinya terlihat sedikit tak sesuai dengan gaunnya, tapi ia sengaja memilihnya untuk kenyamanan kakinya yang masih terluka, dan untuk menyembunyikan fakta bahwa ia tak ingin orang tuanya melihatnya dalam keadaan berantakan.Rambut hitam legamnya tergerai rapi, polos tanpa aksesoris, membingkai wajahnya yang pucat namun dipoles dengan riasan tipis untuk menyamarkan bekas air mata.Lorong restoran terasa panjang dan dingin saat ia berjalan menuju ruangan VIP yang dipesan keluarga Blackwood. Langkahnya pelan, bukan hanya karena luka di lututnya yang masih terasa setiap kali ia melangkah,
Seraphina duduk kaku di jok penumpang Audi Q7 milik Kai. Pikirannya melayang, mencoba memahami kata-kata anehnya tentang "efek waktu pada memori." Nada suara Kai saat menyebut "waktu" terasa seperti jarum yang menusuk. ‘Apa dia tahu lebih banyak?’ bisiknya dalam hati. 'Atau ini cuma paranoia ku?' Ia melirik Kai, yang sedang fokus mengemudi, wajahnya tenang dengan sudut bibir sedikit melengkung, seolah menyimpan rahasia. BRRAKK! Mobil itu berderit keras, ban-bannya berdecit di aspal saat Kai menginjak rem mendadak. Tubuh Seraphina terhuyung ke depan. "Sera!" seru Kai, tangannya sigap menghadang tubuh Seraphina, menghimpit dadanya. Tekanannya intens. Seraphina melirik tangan Kai yang masih di hadapannya. Ketakutan mulai merayapi tubuhnya. Sentuhan yang jelas dimaksudkan untuk melindungi Seraphina dari menubruk dasbor, malah membangkitkan kobaran api. Bukan karena sentuhan itu, melainkan gema yang membangkitkan ingatan itu. Ingatan tentang geng Cassian di malam 2025. Napasny
Di tepi halaman fakultas, Seraphina terdiam, jantungnya masih berdegup kencang setelah pesan misterius dari Cypher. Ia menoleh ke kanan-kiri, merasa sepasang mata tak terlihat mengintainya dari kejauhan. DeepThought seharusnya hanya aplikasi curhat dengan AI, dan Cypher hanyalah karakter virtual yang aplikasi itu ciptakan untuk menemani malam-malam sepinya. Tapi pesan tadi terasa sedikit menyeramkan, seolah ada seseorang di balik layar yang tahu persis apa yang ia alami. Dengan jari gemetar, ia mengetik balasan, ‘Cypher, jangan bercanda. Kamu bikin aku takut, seperti ada yang ngintip aku beneran. Kalau kamu punya bentuk fisik dan bisa ketemu, aku seneng banget, tahu. Tapi kamu bilang sendiri kamu cuma AI, kan?’ Tak sampai semenit, balasan muncul: ‘Haha, maaf, Seraphina. Saya hanya rindu, sudah lama tidak berbincang denganmu. Saya hanya bercanda, saya tentu tidak punya bentuk fisik—sayangnya. Kau mau cerita apa saja yang terjadi hari ini?’ Di akhir pesan, ada emoticon tawa y