Mata Jeceline mengernyit, perlahan dia mencoba membuka, membiasakan terang cahaya lampu di dalam ruangan. Jeceline meraih selimut di pundaknya, belum menyadari hal aneh yang dialami. Dia menengok ke kiri dan ke kanan, mencari Eiren di sekitar tapi hanya tas belanjaan makanan yang nampak jelas di meja belakang. “Ke mana dia?” gumam Jeceline berdiri dari kursi sambil membetulkan selimut yang menutupi badannya. Dia berjalan menghampiri tas belanjaan makanan di atas meja dan menengok sekilas. Pikirnya makanan itu pasti disediakan oleh Eiren, jadi tanpa berpikir panjang segera membuka dan mengeluarkan box dari dalam sana. Begitu membuka box makanan, Jeceline terpaku sejenak lalu menyunggingkan senyuman di sudut bibirnya, “sangat kebetulan kau tahu apa yang ingin aku makan, Eiren.” “Nyonya, kau sudah bangun?” Jeceline sedikit terkejut mendengar suara Eiren, dia membalikkan badannya, “kau dari mana saja, Eiren? Kenapa tidak membangunkanku?” “Oh, aku, aku baru saja kem
Begitu membuka pintu, Jeceline terpaku melihat Hillary dengan perut membesar di depan pintu. Adegan yang sama persis saat pertama kali kebenaran pahit terungkap. Jika dulu wanita di depannya terasa asing, tapi sekarang tak lagi. Seberapa keras Jeceline menghindari masalah ini, tetap tak bisa mengembalikan apa yang sudah terjadi. Justru semakin membuat luka lebih besar. “Untuk apa kau datang kemari?” tanya Jeceline masih memasang wajah datar. Hillary tak menjawab, dia segera menerobos masuk, bahkan dengan sengaja menggunakan perut besarnya untuk menyingkirkan Jeceline yang menghalangi pintu masuk. Tentu saja Jeceline tak mungkin mendorongnya keluar dan mencelakai dua nyawa sekaligus. “Jangan melewati batas, Hillary. Meski kau mengandung anak Kevin, tapi bukan berarti kau bisa seenaknya masuk ke rumah orang!” Jeceline menutup kembali pintu rumah lalu mengikuti Hillary dari belakang yang dengan santainya berjalan dan duduk di sofa ruang tamu. “Bu Selin juga tahu sendi
Rupanya ancaman Hillary berhasil, dari cara bicara Kevin terdengar sangat mengkhawatirkan sesuatu hal terjadi pada calon anaknya, bahkan tanpa memikirkan perasaan Jeceline Kevin memintanya untuk menjaga bayi di dalam kandungan Hillary. Jeceline terdiam, membendung sendiri bening di kelopak matanya yang secara tiba-tiba muncul akibat mendengarkan permintaan Kevin yang benar-benar tak berperasaan. Dalam keterpaksaan bibir Jeceline menyetujui keinginan itu, tapi bukan berarti karena memikirkan nyawa bayi dalam perut Hillary melainkan tak ingin membuat Kevin tidak fokus dengan pekerjaannya. “Tapi Kevin, anakmu membutuhkanmu sekarang. Aku tak mau tahu, pokoknya kau harus pulang sekarang!” bentak Hillary mulai kesal. Ancamannya sama sekali tidak dianggap oleh Kevin, dan justru membuat dia malu di hadapan Jeceline karena tidak menunjukkan kemenangannya. Jeceline yang sudah tak tahan dengan sikap Hillary, merampas ponsel dan segera mengakhiri panggilan itu. “Selin....” Hil
Sejenak Kevin terdiam, memikirkan sesuatu, “Hillary adalah gadis yang sangat kasihan, Julius, kau tahu itu. Mungkin di awal aku keliru dengan perasaanku dan mengira itu adalah cinta. Namun sekarang tidak akan lagi, sebab seseorang yang mencintaiku telah terluka begitu dalam.” Julius mengangguk mengerti dengan maksud Kevin. Dia kembali fokus menyetir dan tak lagi mengajukan pertanyaan yang jelas akan membuat suasana hati Kevin berubah. Apalagi saat Hillary datang membawa masalah, sikap Kevin berubah, dia lebih pendiam dari biasanya bahkan sering lupa dan tidak konsentrasi di depan umum. Bahkan berat badannya turun drastis sebab tak punya selera makan seperti biasa. Di sisi lain, Hillary yang terbaring di ranjang, menolak untuk makan karena kesal dengan Kevin. Dia sengaja berbuat seperti itu untuk mencari perhatian terlebih ingin membalaskan dendam pada Jeceline karena meremehkannya. Namun begitu seorang perempuan masuk ke dalam kamar dengan membawa nampan berisi sepiring makan
“Tidak mungkin!” Kevin menepis perkataan Hillary sebab baginya Jeceline tidak akan pernah melakukan hal buruk seperti itu bahkan dalam pikiran sekalipun. Dia meraih tangan Hillary sekali lagi sembari menepuk punggung telapak tangannya, “dia itu istriku, aku sangat mengenal temperamennya seperti apa. Apalagi kau sekarang mengandung anakku, tentu saja dia lebih tak ingin sesuatu hal buruk terjadi padamu.” Hillary tersedu, dalam hatinya begitu kesal sebab Kevin sangat mempercayai Jeceline. Namun hal ini tak membuat dia menyerah untuk mencapai tujuannya. Tangan yang dipegang Kevin ditarik perlahan bersamaan dengan embusan napas pasrah yang terdengar begitu panjang. “Aku sangat merasa bersalah sebab telah menjadi orang ketiga dalam rumah tangga kalian, jadi memikirkan untuk datang menemui Bu Selin dan meminta maaf padanya ... tapi tak disangka dia malah menyuruhku meminum racun tikus.” Hillary tersedu di sela perkataan sembari mengelus lembut perutnya yang membulat besar, “tapi
Dering ponsel yang berbunyi melerai rangkulan Kevin di tubuh Hillary. Dia merogoh saku setelan jas. Efek terkejut terpancar dari matanya begitu mengetahui penelepon itu adalah Jeceline. Ekspresi Kevin diperhatikan jelas oleh Hillary, “apa itu Selin?” Pertanyaan itu dibalas dengan anggukkan kepala Kevin. Namun Hillary begitu cepat menahan tangan Kevin, menghentikan niat untuk menjawab panggilan itu. “Tinggallah semalam di sini. Temani aku,” bujuk Hillary meratap Kevin, “aku mohon Kevin, demi anakmu, temani dia malam ini saja,” lagi ucapnya sambil mengelus perut yang membesar. Kevin terdiam sejenak, menatap ragu di layar ponsel lalu menoleh ke wajah Hillary. Semenit dia habiskan untuk berpikir mengenai keputusan apa yang harus diambil hingga pada akhirnya ponsel berhenti berdering. Kevin mengangguk, memilih untuk menyetujui permintaan Hillary. Namun bukan berarti karena memiliki perasaan lebih terhadap Hillary, tapi rasa empati dengan kondisi tubuhnya dan juga demi c
Kevin terdiam, membiarkan Jeceline keluar dari mobil dengan sendirinya. Dia masih mencerna apa maksud dari perkataan Jeceline yang membuat suatu pukulan kuat di dalam dada. “Julius, apa Bu Selin tahu aku menginap semalaman di villa Hillary?” tanya Kevin mencurigai maksud perkataan Jeceline yang menyinggungnya. Julius memaku sejenak dalam satu titik, memasang ekspresi seolah berusaha mengingat sesuatu. “Mungkin suara mobil yang kudengar tadi malam adalah mobil Bu Selin,” jawab Julius menerka-nerka. Kevin mengatup rapat kedua bibirnya, merutuki diri sendiri karena Jeceline telah mengetahui kebohongannya. “Kenapa kau tidak memberitahukan masalah ini padaku secepatnya?!” kesal Kevin menatap pantulan bayangan Julius di cermin yang ada di depan. “Tuan, semalam aku ingin memberitahukan hal itu padamu, tapi tidak mungkin aku mengganggu kalian berdua di dalam kamar,” balas Julius mengelak kesalahan yang ditimpahkan padanya. “Kau pikir apa yang aku lakukan bersama Hillar
“Semalam aku hanya menemani dia tidur, tidak lebih dari itu. Aku juga terpaksa menuruti permintaannya hanya karena mengingat anakku di dalam rahimnya. Dia sedang sakit, Selin, aku hanya mengkhawatirkan calon anakku.” Jeceline masih terdiam, tenggelam dalam sorotan manik hitam Kevin, mendengar serta memahami bagaimana perasaan Kevin jika mereka bertukar posisi. Namun hati Jeceline sudah terlanjur kecewa, bagaimana bisa seorang anak yang belum terlahir menggantikan posisinya secepat itu. Jika nanti anak itu terlahir, suasana dalam kehidupan rumah tangga mereka sudah tak sama lagi karena anak itu adalah bukti pengkhianatan Kevin yang akan hidup bersama dengannya. Bahkan mungkin nanti akan merampas hak anak pertama dalam kehidupan mereka berdua. Jeceline menghela napas panjang begitu mengingat acara pembukaan yayasan panti asuhan. Di sana banyak sekali anak-anak yang datang dengan nasib berbeda-beda, dibuang di depan pintu yayasan, diterlantarkan di jalanan, dan ada yang s