Keterkejutan Hana belum usai, ribuan tanya berkecamuk dalam hatinya.
“Maksud kamu apa?” tanya Hana dengan raut muka penuh tanya, matanya mulai menghangat.“Hana, ada tamu? Kok gak diajak masuk?” Bu Ratna berbicara dari dalam rumah, lalu menghampiri menantunya yang berdiri di depan pintu.“Loh, Neng Maida?” ujar Bu Ratna saat melihat gadis itu.Maida tersenyum. “Iya, Bu.”Hana tidak menyangka kalau mertuanya mengenal Maida. Dia semakin merasa tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi.“Sudah lama ya? Sekarang Neng Maida tambah cantik. Hayuk masuk dulu,” ujar Bu Ratna ramah.“Iya , Bu, pengen sih ngobrol-ngobrol sama ibu lagi. Tapi sekarang Maida harus kerja, tadi kebetulan aja lewat sini jadi mampir.”“Kalau begitu kapan-kapan main ke sini, ya? Sudah nikah?”“Belum, Bu.&rdBisakah cinta sejati itu dikenali sejauh mana kesucian dan ketulusannya? Apakah cinta sejati itu berarti harus bisa menyatukan dua orang yang saling mencinta?Hidup manusia sudah ditulis sejak lima puluh ribu tahun sebelum manusia diciptakan. Dengan siapa dia berjodoh, dengan siapa cinta pada akhirnya berlabuh, pun sudah ada dalam suratan takdir. Terkadang, manusia menjadi tak sadar, juga tak mampu menerima takdir yang telah digariskan-Nya. Terlebih dalam urusan cinta, sebagian manusia telah dibutakan olehnya.Dalam pepatah Arab dinyatakan : “Cintamu kepada sesuatu menjadikanmu buta dan tuli.”Ketika badai asmara yang menggelora tak lagi mampu dibendung, mata seolah tak mampu melihat mana yang baik dan buruk. Telinga menolak untuk mendengar nasihat yang benar. Dan hati tak lagi peduli bahwa akan ada orang lain yang mungkin tersakiti.Tampaknya, cinta itu telah membutakan mata dan hati Maida. Dia tak lagi peduli akan kon
Kedua lelaki itu menghampiri Hana.“Hana, bisa kita bicara sebentar?” ucap Pak Robi dengan tersenyum.Hana mengangguk. Mereka berjalan ke kantin dan memilih satu meja yang cukup sepi di belakang. Memang, saat itu bukan jadwal makan siang, jadi belum banyak pengunjung di kantin Rumah Sakit tersebut.Seorang pramusaji mengantarkan minuman untuk ketiganya. Hana sedikit gelisah, ada perasaan tak enak menjalari hatinya. Gerangan apa yang membuat pak Robi ingin bicara dengannya, Hana masih menerka.“Kamu menjenguk Maida?” tanya Pak Robi.Hana mengangguk pelan.Pak Robi tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Lelaki yang duduk di sebelah lelaki paruh baya itu menatap Hana lekat, seolah sedang memindai wajah perempuan berjilbab ungu itu.“Baik, langsung aja ke permasalahannya ya Nak Hana.” Pak Robi berhenti sejenak, lalu menyeruput kopi yang dipesan. Seraut kekhawatiran tam
Keadaan Maida semakin membaik dan sudah bisa pulang. Setelah di rumah, perempuan berambut sebahu itu lebih sering diam di balkon atau tiduran di kamar. Tak ada keinginan untuknya keluar.“Mai!”Bian datang menjenguk, membawa sekotak coklat kesukaan sepupunya.Maida yang sedang duduk di balkon hanya menoleh Bian sekilas. Pemuda tinggi tegap itu menghampirinya, lantas memberikan coklat.“Gue belum boleh makan coklat,” ujar Maida, tapi tetap saja dia membuka kotak dan memeriksa isinya.“Halah, emangnya lu sakit apaan? Lu udah sehat?” Bian menempelkan telapak tangannya di kening Maida.Maida menepis tangan Bian. “Gue gak demam.”“Mai, lu kenapa sih bisa senekat itu?” tanya Bian seraya mengambil sebungkus coklat di tangan Maida dan memakannya.“Gue juga gak tahu.”“Masa gak tahu? Aneh, Lu!”
Apa yang dirasakan seorang istri tatkala mengetahui perasaan suaminya yang masih mengharapkan perempuan lain? Tentu perih. Itulah yang tengah dirasakan Hana sekarang. Dia berusaha menerjemahkan hatinya yang kian poranda. Dicobanya menepis segala lara, akan tetapi tak bisa. Kenyataan itu bagaikan sebuah pisau yang mengiris hati.Hana berpura-pura tidur tatkala terdengar Razi membuka pintu kamar. Tak lama, terdengar dengkuran halus dari suaminya. Perempuan pemilik mata teduh itu menatap lekat lelaki yang dicintainya. Mengetahui kenyataan tentang adanya wanita lain dihatinya, membuat Hana putus asa mempertahankan rasa. 'Haruskah aku menyerah?' batinnya.Pagi menjelang. Seperti biasa mereka sarapan bersama. Hana lebih sering memainkan sendoknya, tampaknya dia sedang tak berselera. Pikirannya masih tertuju pada apa yang diucapkan Razi semalam kepada Bian. Andai dia mendengarkan ucapan suaminya hingga selesai, mungkin dia tak akan sesedih ini.&ldquo
Api mulai menjalar membakar dinding kamar. Beruntung, orang itu keburu ketahuan saat menyiramkan bensin, sehingga dia tidak sempat menyiramkan ke bagian rumah yang lain.“Hana.” Razi teringat istrinya masih di kamar, dia berlari mencari Hana tapi tak menemukannya.“Hana!” teriak Razi panik.“Hana di kamar ibu, A.” Rupanya Hana sudah bangun dan berusaha menyelamatkan mertuanya.Api sudah menjalar ke jendela. Kacanya pecah, dan api mulai membakar tirai, lalu merambat ke atap.Razi membawa istri dan ibunya keluar. Api begitu cepat menyebar hingga sudah membakar separuh kamar. Razi menyemprotkan air dengan selang dari keran yang berada di luar. Para tetangga pun berdatangan untuk membantu menghentikan amukan si jago merah. Api pun padam tanpa harus memanggil pemadam kebakaran.Tampak sebagian dinding kamar yang menghitam, dengan jendela yang tak bersisa.“
Cinta, sebuah kata singkat yang abstrak dalam kehidupan manusia. Katanya, jatuh cinta itu berjuta rasanya. Ya, begitulah yang dikatakan para pencinta. Lalu, cinta seperti apakah yang mampu membutakan mata dan mengobrak abrik hati? ●●● “Razi,” ucap Maida kala pintu terbuka. Matanya sembab, penampilannya berantakan. “Siapa, Han?” Razi menghampiri Hana yang berdiri di depan pintu. Maida menoleh kepada Razi lalu melangkah ke arahnya. “Razi, kenapa kamu melakukan ini padaku?” Maida tak lagi bisa menahan perasaannya. Tubuhnya hampir ambruk jika Razi tak menahannya. Maida menangis, meraung tak bisa menerima pilihan Razi. Hana hanya terdiam menyaksikan ulah seorang wanita di hadapannya. “Ayo masuk dulu, malu dilihat tetangga,” ujar Hana lalu masuk terlebih dahulu ke rumah. Razi mendudukkan Maida di sofa, sedang Hana pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. “Mai, ada apa sama kamu?”
Hana memerhatikan sepatu itu, dia membawanya ke rak sepatu untuk mencocokkannya dengan yang lain, tetapi tak ada yang sama.“Ini sepatu siapa?” gumam Hana, lalu meletakan sepatu itu di rak paling bawah.●●●Maida pulang dengan perasaan puas. Dia yakin pasti saat ini Hana tengah menangis karena kata-katanya. Wanita itu bersenandung di dalam mobil, sembari memutar lagu kesukaannya.Mobil Mini Cooper berwarna kuning miliknya memasuki halaman rumah yang begitu luas. Bahkan jika dibandingkan dengan rumah Razi, halaman rumahnya tetap lebih besar. Dia keluar dari mobil, dilihatnya sang mama sedang menunggu di depan pintu.“Sayang, kamu dari mana? Katanya kamu gak ada di kantor, mama hubungi juga gak bisa,” ujar Bu Regina khawatir.“Maida gak apa-apa. Papa mana?”“Papa belum pulang.”“Mas Andrean?”“Ada di kama
Hana menjerit kala melihat isi paket itu dan refleks melemparnya. Bu Ratna yang mendengar jeritan menantunya bergegas menghampiri.“Ada apa, Hana?” Bu Ratna khawatir melihat menantunya ketakutan.“Itu.” Hana menunjuk paket kardus yang baru saja di lemparnya.“Apa itu?” tanya Bu Ratna.“Tadi ada orang kirim paket.”Bu Ratna mendekati kardus itu dan mengambilnya. Bu Ratna terkejut melihat isi paket itu dan juga melemparnya.“Astagfirullah, siapa yang mengirimkan itu dan apa maksudnya?”“Hana gak tahu, Bu.”“Panggil tukang, suruh dia bantu untuk buang itu.”Hana memanggil tukang untuk meminta tolong membuangkan paket itu.“Ini teror, Bu,” ucap pak Tukang ketika melihat isi di dalam kardus.“Teror?” ucap Hana dan Bu Ratna serempak.