Kehamilanku sudah makin menonjol dan aku mulai jarang turun ke bawah. Aku merasa si kecil sudah suka menendang nendang perutku.
Rasanya aku tidak bisa berbagi kebahagiaan dan hanya untuk diriku sendiri.
Aku merasakan perubahan emosi dan menyesali semua yang terjadi. Menyesali Dato Raf dan paling jelek lagi merasa tidak dapat memaafkan diriku sendiri.
Hanya ketika mengikuti latihan kehamilan bersama Yuriko aku bisa sedikit berkisah.
"Mungkin cuma beberapa hari lagi," ujarku kepada Yuriko.
"Kamu persiapkan taksinya," saran Yuriko."Aku telah menyiapkannya." Jawabku."Aku juga sudah merasakan hal yang sama." Berkata lagi Yuriko."Kuharap kelahiran kita sama, kalau kamu pergi bersalin, beritahu aku."
"Aku bisa mengatasi sendiri," jawabku tidak mau merepotkan Yuriko. "Tidak repot, kita bisa saling membantu." Balas Yuriko pula.***
'Malam itu, aku sudah merasakan bayiku turun.
Dokter berbicara denganku hal hal yang asing bagiku mungkin bahasa medis. Aku tidak dapat mengerti hal itu.Aku cuma bertanya."Apakah mungkin ada kesalahan?" Tanyaku."Maksud anda tidak akurat? Tidak mungkin," ujar dokter.Setelah panjang lebar penjelasan, dokter bertanya. "Apakah Anda punya alternatif?" Tanya dokter."Apa maksud dokter?" Tanyaku."Maaf, mohon jangan tersinggung. Mungkin ada lelaki lain yang bisa kita periksa. Untuk mencocokan DNA itu," kata dokter."Engkau bisa membawanya kesini." Aku tahu, dokter menyarankan agar aku membawa lelaki lain yang mungkin menjadi ayah anakku. Tentu saja ada. Lelaki itu mantan suamiku Dato' Raf. Ayah Brian yang sebenarnya. Tapi aku tidak bodoh untuk menghubungi dokter dan laboratorium itu lagi. Aku akan mulai dari awal. Aku tidak mau Dato' Raf curiga. Aku akan memberitahu Dato' Raf. Apapun yang terjadi.Dato' Raf tentu harus tahu, bahwa
Aku membawa permainan untuk Adiputra. Mungkin ayahnya sudah membelinya, karena dia seorang anak yang memiliki segalanya.Dia senang punya permainan mobil yang kubawa. "Sekarang kamu tidur, bermain besok saja,”kata ayahnya tegas. "'Iya, aku mau tidur," Adiputra melirik ayahnya.Aku meninggalkan anak itu dan sebelum pergi mengusap kepalanya. Bos Dewantara mengajakku ke Kafe terdekat. "Ayo kita minum di Kafe rumah sakit," ajak Bos Dewantara.Perutku memang sudah lapar. Mendapat makanan dan kopi cukup menyenangkan. Aku suka kopi. Dewantara juga.'"Mengapa Erika menggugat cerai?" Tanyaku."Mereka selalu tidak cocok kalau dirumah, anakku dan Erika bertentangan dan aku pusing. Adiputra tidak mau diatur, sementara Erika tidak peduli. ""Sulit juga menghadapi anak yang keras seperti Adiputra," kataku."Erika tidak menyembunyikan ketidak sukaannya, jadi hidupku jadi kacau," ujar Dewantara p
Namun aku tetap memaksa agar Ronald dan anakku memeriksa DNA, aku tidak mau ada kesalahan.Tetapi lelaki itu dan aku tampaknya cukup yakin, itu adalah anakku dan Ronald."Apakah kamu yakin pemeriksaan itu perlu?" Tanya Ronald."Aku sudah punya suami, meski dia mengatakan tidak lagi subur. ""Lelaki mungkin kesulitan kalau sudah berusia diatas 55 tahun," ujar Ronald. "Jadi kita akan memastikannya," ujarku menguatkan."Jangan ada kesalahan lagi.' "Baiklah jika itu mau kamu, aku akan menanyakan dan mencari waktu yang tepat. Aku dan anak kita akan menjalaninya." Ronald kini tertawa cerah. Seolah-olah tidak terjadi apa apa. Dia membesarkan hatiku."Aku akan menelpon kamu," ujarnya lagi. *** Ronald menelponku dua hari sesudahnya."Aku sudah konsultasi dengan dokter, kita dapat melaksanakannya. Aku dan anakku Brian,." Kata Ronald seperti dia sudah yakin itu putranya.
Aku mulai memikirkan Ronald dan kini masanya menuntaskan masalah ini. Aku menelponnya dengan telepon sebelumnya yang kucatat ketelpon baruku. Tak berapa lama telpon itu diangkat. Aku memerlukan menenangkan diri sebelum menjawab teleponnya."Hai, sapaku." Suara ditelpon menjawabnya dengan terkejut."Anna, kamukah itu?" Tanya Ronald seperti berteriak."Iya, " kataku."Aku cuma ingin mengucapkan selamat atas pernikahan kamu," ujarku dengan suara getir."Apa yang kamu katakan? Kamu memutuskan telepon dan sekarang berbicara tentang selamat, apa yang kamu ketahui tentang aku?" "Kamu mengatakan akan menikah dan akan memberikan undangan.""Jadi karena itu kamu memutuskan telpon dan tidak mau berhubungan denganku?""Iya." Jawabku."Aku yang salah," ujar Ronald pula."Kita perlu bicara, dimana kamu?""Apakah ini perlu?" Tanyaku."Tentu saja perlu, banyak yang aka
Adiputra dan Erika Sintya mulai bercakap cakap dan akrab. Aku membujuknya agar mencintai Erika Sintya. Anak itu tersenyum saja. Tapi ia mulai suka dengan Erika dan tidak menolak atau merajuk . Permainan ditempat wisata itu menggodanya. berdua, Erika dan aku membawa Adiputra ketempat permainan, tapi Adiputra lebih suka menempel padaku. Ayahnya Dewantara hanya melihat saja dari jauh. Sekali sekali dia ikut. Tertawa bersama ayah dan anak. Aku seperti pengasuh diantara mereka.Berjalan kemana saja, bos suka melihat tempat wisata dan perkemahan. Tapi Erika dan Adiputra tidak suka berkemah. Jadi berjalan jalan saja kearah bukit dan tempat tempat yang indah.Di siang itu kami pulang setelah berjalan dikaki bukit.Erika Sintya dan Bos Dewantara berjalan berdampingan. Aku dan Adiputra mengikuti berjalan di dekat sungai. Erika memisahkan diri dari Bos dan mendekatkan diri padaku dan Adiputra.
Adputra terbangun pagi hari dan aku membuatkan sarapan. Ayahnya menelpon dari Singapura pagi itu. Aku mengulurkan telepon ke anak itu dan mengedipkan mata memberi semangat. Dia mengambilnya dan menelponAku sengaja tidak mendengarkan percakapan mereka. Setelah memecahkan beberapa telur dalam wajan, dan menutupinya dengan penutup aku menemui Adiputra. Adiputra baru saja selesai menelpon dan menyerahkan ponsel kepadaku. "Ayah ingin berbicara," ujar Adiputra. "Ya," kataku, meletakkan telepon di telingaku. "Anna, apakah dia mengganggumu'? Pegawaiku akan datang ke sana untuk membawa Adiputra. ""Tidak apa apa, dia anak yang menyenangkan. " jawabku."Aku senang dia disini, tapi tempatku mungkin tidak bagus, aku minta maaf.""Adiputra senang disitu, aku berterima kasih. " Kata Dewantara pula."Syukurlah," ujarku tulus."Aku ingin bertemu, sepulang dari Singapura aku akan kesana." Berkata lagi