Untungnya, pikiran itu menghilang begitu saja kala Qiara mulai bekerja.
Selama dua hari, Oma Hesty bahkan mengawasi kerja Qiara dengan cermat.
Qiara dapat melakukannya! Bahkan, Alista sangat nyaman dan tidak rewel di dekat Qiara.
“Qia, kamu bisa kalau ditinggal sendiri?” tanya Oma Hesty tiba-tiba saat Qiara yang tengah menidurkan cicitnya.
Gadis itu tampak sedikit bingung.
Meski demikian, Qiara akhirnya berbicara, “Oma kalau mau istirahat, bisa istirahat. Apa Qia mau buatin sesuatu dulu?”
Ya, selain standby 24 jam mengurus bayi Alista, Qiara juga mengerjakan pekerjaan rumah dan juga memasak untuk dirinya sendiri dan Oma Hesty.
Richard?
Atasannya itu tidak pernah makan di rumah. Sarapan di rumah saja sangat jarang. Itupun hanya segelas susu dan juga telur rebus.
Di sisi lain, Oma Hesty menggelengkan kepalanya. “Enggak. Maksudnya, Oma akan pulang ke rumah, di sini sangat sumpek. Sempit. Kalau ada apa-apa kamu bisa hubungi saya. Dan ingat, saya pegang semua identitas kamu. Jagain Alista dengan benar,” ujarnya dan langsung mengambil tas jinjing di kursi.
Qiara menahan diri untuk tidak membelalakan mata.
Penthouse sebesar ini dibilang sempit?
Jangan-jangan kamar kost Qiara yang dulu tidak sampai ¼ kamar mandi milik Oma Hesty di rumahnya, ya?
“Qiara?”
“Ba-baik, Oma,” ucap Qiara tersadar dari lamunan, “Oma jangan khawatir, Alista aman sama Qia.”
Oma Hesty tampak mengangguk puas. “Bagus. Bilang sama Richard, kalau Oma pulang. Kamu juga jangan sampai telat bangun. Siapin sarapan buat Richard sama jangan keburu tidur, kalau Richard belum pulang,” titah Oma Hesty yang berhenti di ambang pintu.
Qiara mengulas senyuman dan mengangguk sebagai jawaban.
Setelah Oma Hesty pergi bersama dua pengawalnya, Qiara lantas menoleh pada bayi yang terlelap di dalam box bayi tersebut.
“Cantiknya….” lirih Qiara. Dia begitu senang merawat Alista. Tak pernah rewel, bahkan ia mampu menyelesaikan pekerjaan rumah dengan baik.
Hanya saja, Qiara menemukan Alista mulai kembung saat ruangan begitu dingin.
Sesuai dengan ucapan Oma Hesty, AC pun dimatikan Qiara.
Sekarang, masalahnya tinggal satu.
Qiara mudah gerah! Padahal, dia masih harus merapikan penthouse.
“Tapi, Pak Richard selalu pulang tengah malam dan pergi pagi-pagi sekali,” bimbang gadis berwajah tirus itu.
Qiara berjalan menuju lemari yang ada di kamar Alista. Mengganti pakaiannya dengan pakaian yang sedikit terbuka. Tentu untuk mengurangi rasa gerahnya.
Hot pant dan tang top menjadi pilihan Qiara.
Ya, ia akan mengenakan itu. Mengingat majikannya tak ada di rumah, dan hanya ada dirinya dan juga bayi Alista.
Sambil bersenandung, Qiara mencepol rambutnya. Menoleh sekilas pada bayi mungil yang terlelap di dalam box bayi, lantas ia keluar tanpa menutup pintu.
Alasannya, supaya ia bisa mendengar tangis Alista sewaktu bayi itu terbangun.
Qiara mengambil kemoceng dan mulai membersihkan meja di ruang TV.
Senyum Qiara mengembang saat melihat sebuah bingkai foto berada di meja tersebut. Wajah tampan Richard begitu mempesona. Lesung pipi di sebelah kiri terlihat sangat manis dengan pose bersedekap dada. Tubuh kekar yang dibalut dengan sweater turtle neck dengan latar belakang jalanan.
Qiara menebak, itu berada di luar negeri, karena di belakang potret itu beberapa orang lewat mengenakan mantel dengan rata-rata berwajah oriental.
Namun, sampai saat ini ia tak pernah melihat wajah Rihard seceria ini.
Ke mana perginya?
Qiara menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lantas meletakkan bingkai foto itu di meja lagi. Ini bukan ranahnya, bukan?
Kemoceng yang diapit oleh ketiaknya itu kembali ia pergunakan untuk mengusap beberapa koleksi barang antik milik Richard. Tentu sembari bersenandung.
Kriet!
Qiara terlonjak saat mendengar pintu terbuka.
Kemoceng yang sedang dia bawa jatuh di lantai, saat melihat Richard pulang di siang hari dengan pakaian kusut. Bahkan toga kancing bajunya sudah terbuka.
“Apa Alista tidur?”
Qiara yang gugup hanya mengangguk sebagai jawaban.
Hanya saja, kenapa Richard menatapnya cukup lama?
Deg!
Qiara baru menyadari, jika ia tengah mengenakan pakaian yang sedikit terbuka!
Oma Hesty menangis dengan memeluk Inara. Ia sudah sangat takut atas apa yang telah menimpa Qiara. Diculik, dipaksa berlari dalam keadaan hamil pula. Air matanya menetes dengan tangan mengusap perut buncit Qiara. “Oma benar-benar takuy, Qiara,” rintih Oma Hesty. “Bersyukur sekali cicit oma dan kamu baik-baik saja.” Qiara mengulum senyuman. Ia terharu akan perhatian Oma Hesty. Kepalanua menggeleng dengan lemah dengan mata berkaca-kaca. “Semuanya sudah lewat, Oma. Qiara baik-baik saja, kok.” Oma Hesty menyeka air matanya sendiri. Ia tak menyangka, jika hati Qiara sebesar ini. Bahkan ia tak mau menuntut Hana lebih kejam lagi. “Mulai sekarang, kamu harus tinggal sama Oma. Oma seriusan takut kalau ada apa-apa sama kamu lagi, Qiara.” Belum sempat Oma membalas, pintu kamar terbuka perlahan. Richard masuk sambil menggendong Alista—bayi mungil berusia sembilan bulan dengan pipi tembam dan mata bulat besar yang langsung membesar begitu melihat Qiara. “Ma…” Alista mengoceh sambil me
Mobil Richard berhenti dengan kasar di depan IGD rumah sakit. Richard langsung menggendong Qiara dan berlari menuju pintu masuk. Para petugas medis langsung menyambut mereka dan membawa Qiara ke dalam ruangan.Richard menjelaskan kepada dokter tentang apa yang terjadi pada Qiara, tentang penculikan dan pelarian yang menegangkan yang baru saja mereka alami. Dokter mendengarkan dengan saksama, lalu meminta Richard untuk menunggu di luar. "Kami akan melakukan yang terbaik untuk Ibu Qiara," ujar dokter dengan tenang.Richard terdiam di kursi tunggu, tangannya mengepal erat. Dia merasa panik, takut, dan tidak berdaya. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika sesuatu terjadi pada Qiara dan calon bayinya.Richard terduduk lemas, matanya terpejam. Dia berdoa dengan sungguh-sungguh, memohon agar Tuhan melindungi Qiara dan calon bayinya. "Ya Tuhan, tolong lindungi Qiara dan calon bayi kami. Berikan kami kekuatan untuk melewati masa-masa sulit ini," bisik Richard dalam h
Dor Richard terperanjat. Bunyi ledakan membuatnya ternganga, tak percaya. Haidar tertembak di bagian lengan kiri. Namun, nampaknya pria itu tak menyerah, ia membalas dengan satu tembakan yang berhasil tepat sasaran. Buru-buru Richard menghampirinya. “Haidar, kamu enggak apa-apa?” Richard sangat panik. Suara sirene mobil aparat mulai terdengar, beberapa petugas turun dari mobil, mengejar para pelaku, termasuk Denis. Richard berjongkok di samping Haidar, tubuh sahabatnya itu terkulai lemas dengan darah yang mengalir dari luka tembak di lengannya. Detak jantung Haidar terdengar lemah, dan napasnya tersengal-sengal. Richard berusaha menenangkan Haidar, "Tenang, Haidar. Ambulans sudah dalam perjalanan."Polisi yang membantu mengevakuasi Haidar, segera mengamankan lokasi kejadian. Penjahat yang menembaki Haidar berhasil ditangkap. Richard merasa lega, tetapi keprihatinannya terhadap Haidar tetap tak tergoyahkan.Richard mengambil ponselnya dan menghubungi ambulans. "Halo, saya
“Keluar kalian!” teriak ketiga pria yang mengejar Qiara, Richard dan Haidar. “Mas, aku sudah gak kuat lagi,” rintih Qiara sambil memegangi perutnya sendiri. “Stt, kamu harus bersabar sayang. Kita akan segera pergi dari sini.” Richard berbisik, seraya mengusap lengan sang istri. Menenggelamkan wajah Qiara di ceruk leher. Berharap, hal seperti ini bisa membuat Qiara lebih tenang. “Tuan, Anda bisa di sini. Biar saya yang maju. Setelah saya bisa mengalihkan. Anda bisa membawa Bu Qiara,” ucap Haidar pada akhirnya. Ia tidak berani mengambil tindakan sebelumnya, karena keadaan Qiara yang tidak memungkinkan. Wanita itu hamil besar. “Berhati-hatilah,” titah Richard. Haidar mengangguk. Ia mengambil posisi, mengintip berlebih dahulu. Dirasa aman, ia berguling untuk berpindah tempat. berguling lagi, hingga sampai pada tumpukan drum berisikan oli. Brak! Sengaja Haidar menjatuhkan sesuatu, untuk mengundang atensi ketiga pria yang mengejarnya. Ia memberikan anggukan pada Richard, untuk mengam
Mobil Richard berhenti dengan bunyi decitan ban yang mengeras di atas aspal. Udara malam terasa dingin menusuk kulit, membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering. Richard melangkah keluar, tubuhnya tegap dan tangannya menggenggam erat pistol di pinggang. Di sampingnya, Hana, dengan wajah pucat pasi, mengikuti dengan langkah gontai."Kau yakin ini tempatnya, Haidar?" tanya Richard, suaranya berat dan berbisik.Haidar, dengan seragam polisi yang kusut, mengangguk pelan. "Ya, Tuan. Ini markas Denis. Aku pernah mengintai tempat ini beberapa kali. Dia sering keluar masuk dengan Hana."Richard mengerutkan kening. "Jadi, Hana memang terlibat?""Sepertinya begitu, Tuan. Aku tidak tahu pasti apa motifnya, tapi dia selalu terlihat bersama Denis kemarin."Richard menarik napas dalam-dalam. "Baiklah. Kita harus bergerak cepat. Qiara... Qiara mungkin dalam bahaya."Mereka bertiga memasuki halaman rumah yang gelap dan sunyi. Daun-daun kering berderit di bawah sepatu mereka. Richard menunjuk sebua
“Hana,” desis Richard dengan mengepalkan tangan kuat-kuat. Pria bermata lebar itu melangkah dengan pasti, menghampiri wanita yang sedang berbincang dengan teman-temannya. menyadari keberadaan Richard, teman Hana menyikut wanita itu, menunjuk Richard dengan dagunya. “Richard, kamu datang lagi?” Hana melebarkan senyuman, seolah senang akan kehadiran pria itu. “Di mana Qiara?” tanya Richard dengan rahang mengeras. Andai Hana laki-laki, mungkin ia sudah menghajarnya habis-habisan. “Qiara? Kenapa bertanya kepadaku? Aku--” “Tidak usah berkelit, Hana! Kamu satu-satunya orang yang sama sekali tidak menyukai dia. Sebuah mobil membawa istriku pergi, aku yakin, ini ada hubungannya dengan kamu. Mengaku, atau kamu akan mendapatkan akibatnya dariku ” Hana menggelengkan kepalanya, bahkan wajahnya tampak terlihat bingung. “Aku memang berencana untuk menjauhkan dia dari kamu. Tapi, mengenai hilangnya dia sekarang, sih, aku sama sekali tidak tahu.” “Bohong! Katakan, atau kau akan merasakan aki