Share

Tenda Yang Besar

"Beruntungnya Bu Gendis, lihat Tendanya saja sebesar itu. Pasti kali ini dia punya menantu kaya dan tidak pelit, beda sama istrinya Bayu."

Aku tak membalas gunjingan orang kepadaku. Biar mereka puas dulu, baru nanti pada menjilati ludah masing-masing.

"Risma kamu nyumbang berapa? Atau jangan-jangan tidak menyumbang ya? Kami tau kau pelit dan serakah mana mungkin mau menyumbang kan."

Aku tak menjawab hanya tersenyum saja, toh mereka hanya berniat mengejek, bukan benar-benar ingin tau aku menyumbang berapa ke mertuaku itu.

"Kalau sudah tau tidak usah banyak tanya Mbak, bersiap saja uang dua puluh ribu lalu bawa keluarga besarmu makan enak. Jarang-jarang kan makan daging, kebanyakan bayar koperasi keliling begitu ada pesta kemaruk."

Aku tersenyum sinis hampir semua orang disini tau siapa wanita ini. Hampir setiap hari dikejar kreditan, kalau ada pesta semua keluarganya dibawa, nyumbang paling banyak duapuluh ribu.

"Itu bukan urusanmu yang penting kami menyumbang tidak sepertimu rakus harta suami."

Masih mengejekku, dia pikir aku akan kalah tidak akan. Kali ini aku beri dia sedikit kejutan.

"Lebih baik menguasai harta suami mbak, daripada dinikmati wanita lain. Aku kasih tau ya, tidak ada suami bodoh yang mau hartanya habis dimakan kredit keliling. Kalau gak sadar juga tunggu dijadikan janda kau mbak."

"Risma...tutup mulutmu kalau tidak aku robek sekalian."

Melihatnya berteriak tidak membuatku takut, tapi malas melayani kalau sudah pakai menangis segala. Aku meninggalkannya dengan melambaikan tangan, sehingga membuatnya makin kesal.

"Lepaskan, biar aku beri pelajaran perempuan tidak tau diri itu."

Mendengar dia berkata seperti itu kembali aku menoleh dan menjulurkan lidah. Membuatnya kesal berusaha mengejar tapi di cegah teman baiknya.

Diperjalanan pulang aku jadi penasaran, sebesar apa sih tenda yang dipasang mertuaku itu. Sehingga membuat orang satu wilayah tempat tinggalku sampai begitu takjub melihatnya.

Nanti sore aku akan jalan-jalan melewati rumah mertuaku. Kepo saja ingin tau seperti apa, persiapan mereka yang ingin membuat pesta pernikahan.

"Risma!"

Aku berbalik ingin melihat siapa yang memanggil barusan. Mengamati wanita berpakaian mahal yang berdiri merentangkan tangannya.

"Da...Dania....!"

Aku berteriak dan menghambur kepelukannya. Satu-satunya teman yang menikah dengan pria kota, sepertinya dia bahagia tidak seperti temannya ini.

"Apa kabar?Lama tidak bertemu kau makin cantik dan terlihat kaya."

Dania tertawa dia memukul bahuku, seolah apa yang aku katakan hanya basa-basi.

"Suamimu lebih berhasil daripada suamiku lagi. Tidak usah merendahkan diri begitu."

Aku tersenyum miris bahkan teman baikku juga tidak percaya, kalau aku tidak sedang merendahkan diri ini.

"Sudah ke rumahku dulu kita ngobrol, lama tidak bertemu rindu tau."

Aku menarik tangan Dania dan membawanya ke rumah, agar dia tau dimana teman baiknya tinggal selama ini.

"Bapak dan ibumu apa kabar? Pasti makin sukses usaha mereka. Aku dengar peternakan mereka berkembang pesat, begitu juga usaha penjualan pupuk yang dikelola adikmu, kalian termasuk orang terpandang dong sekarang dikampung kita."

Aku tidak menjawab hanya tersenyum saja, karena apa yang dikatakan Dania benar. Usaha kami berkembang pesat berkat kerja keras bapak dan adikku.

"Kapan kau pulang kabari aku, kita bisa pulang bareng, aku rindu kampung halaman kita."

Dania mulai bermain drama, hanya tiga jam sudah sampai. Gak sesulit itu kalau mau balik kampung masih satu propinsi juga.

"Jangan pulang dulu, beberapa hari lagi adik iparku menikah, kau bisa datang kalau mau. Sekalian menemani aku menghadapi keramaian di rumah mertuaku nanti."

Dania mengangguk aku senang melihatnya, karena bakal ada teman yang melindungi bapak dan ibu, saat mengahadapi keluarga mas Bayu nanti.

"Jadi keluargamu bakal datang juga? Menghadiri pernikahan adik iparmu?"

Tentu saja mereka harus datang, aku tidak mau jika harus menjelaskan dua kali. Biar mereka langsung mengetahuinya.

"Baiklah aku akan datang, lumayan bertemu keluargamu sama seperti bertemu keluargaku."

Aku memberinya gorengan yang tadi aku beli, dengan santai dia menikmatinya dan teh manis buatanku. Aku baru sadar Dania datang naik apa, tidak mungkin dari depan sana dia jalan kaki kan lumayan jauh.

"Eh...kau tadi naik apa kemari? Tidak mungkin jalan kaki bisa lecet kakimu."

Dania tertawa ternyata dia menghentikan mobilnya di depan sana, karena belum tau rumahku jadi berjalan untuk mencarinya.

Saat sedang asik bersenda-gurau dengan Dania. Tanpa salam, adik iparku datang langsung menuju kedapur, dan kembali membawa kuali besar yang biasa digunakan untuk masak saat ada kenduri.

"Letakkan ketempatnya kembali. Pakai yang lama, bukankah masih di rumah ibu belum di kembalikan."

Seperti biasa Nina tidak mau mendengar ucapanku. Dengan santai dia membawa kuali besar itu keluar, tapi dengan cepat aku menariknya hingga lepas dari tangannya.

"Tidak usah pelit, ibu mau buat dodol perlu kuali besar. Bukankah semua barang dirumah ini dibeli pakai uang mas Bayu."

Byuh...percaya diri sekali dia bicara, seolah lupa segalanya. Sedangkan seluruh isi rumah ini aku yang beli, masih merasa abangnya yang beli.

"Terserah kalau mau pakai harus mau mengembalikan. Coba hitung? Berapa banyak barang ku yang belum dikembalikan ibu setelah dipakai?"

Nina tak menjawab, dengan kesal dia pergi meninggalkan rumah, seperti saat datang perginya juga tanpa salam. Aku tersenyum tipis, saat melihat Dania menatap seolah tak percaya. Kemudian baru dia mulai memindai isi dalam rumahku.

"Kau baik-baik saja? Kenapa terlihat hidupmu berantakan, Ris?"

Aku tertawa sedih, akhirnya Dania mengetahui apa yang terjadi. Terpaksa menceritakan segalanya yang terjadi.

"Jadi selama ini kau yang mengurus semuanya tapi kok mau sih? Kau kan bisa melawan atau setidaknya menolak permintaan mereka."

Kembali aku tertawa kalau semudah itu, tidak akan aku bernasib malang begini. Apalagi karena malu kepada bapak dan ibu juga, makanya bisa bertahan tapi sekarang tidak lagi.

"Bagus aku dukung keputusanmu itu. Orang makan nangka kau harus kena getahnya, gak rela amat aku mendengarnya."

Seperti biasa ternyata Dania masih menjadi pembela setiaku. Teringat dulu bapak tidak ingin aku sekolah diluar kota, tapi Dania membantuku bicara sehingga bapak setuju aku sekolah diluar kota.

Tunggu saja Mas, pasti makin meriah pesta adikmu. Aku harap kau dan keluargamu tak kena serangan jantung.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status