เข้าสู่ระบบSudah tiga hari sejak Ardian dan Bu Nayla resmi pindah ke rumah Suzy, Rumah itu dulunya terasa lapang dan nyaman. Kini, setiap sudut terasa sempit seperti ada sesuatu yang belum sempat ia mengerti, namun cukup kuat untuk mengubah napasnya jadi berat. Suzy duduk di tepi ranjang, memandangi pintu kamarnya yang tertutup. Di seberang lorong, ada kamar tamu yang kini menjadi milik Ardian. Kakak tirinya. Atau… setidaknya, begitu orang dewasa menyebutnya.
Dia mendengar langkah kaki berat melewati depan pintunya. Langkah yang berbeda dari biasanya. Lebih tenang, lebih tegas. Itu Ardian. Suzy menggigit bibir, mencoba mengalihkan perhatian ke layar laptop. Tapi paragraf esainya tak bergerak sejak dua puluh menit lalu. Bukan karena ia malas, melainkan karena sosok itu masih bersarang di pikirannya. Tapi setiap kali mereka tak sengaja berpapasan, pandangannya seperti menyimpan badai yang siap meledak kapan saja. Ardian tidak pernah memanggil Pak Dion dengan sebutan “Papa”. Melainkan “Paman Dion” katanya siang itu, dengan nada yang datar dan hati-hati, saat pria itu menawarinya teh hangat. Suzy menangkap tatapan aneh dari Papanya antara maklum dan terluka. Tapi Pak Dion tidak banyak bicara. Ia hanya mengangguk dan menaruh cangkir di meja, lalu masuk ke ruang kerja. “Mereka perlu waktu, Suzy ” kata Bu Nayla pelan. Suaranya hangat, namun wajahnya menyimpan luka yang belum sembuh. Suzy hanya mengangguk. Tapi hatinya bertanya, “waktu untuk apa? Untuk menerima? Atau untuk melupakan bahwa mereka bukan keluarga sungguhan?” Malam harinya, Suzy turun ke dapur mengambil air. Lampu remang di ruang makan menyisakan bayangan yang panjang di lantai keramik. Saat membuka kulkas, ia mendengar pintu kamar belakang terbuka pelan. Langkah itu lagi. Ia tak menoleh, tapi bisa merasakan tatapan Ardian menembus kulit punggungnya. Diam-diam, jantungnya mempercepat irama. “Kamu belum tidur?” Suara itu rendah, berat, dan dalam. Suzy menoleh perlahan. “Lagi haus” jawabnya singkat. Tatapan mereka bertemu. Di bawah cahaya temaram, mata Ardian tampak berbeda seperti lelah, tapi menyimpan sesuatu. Sesuatu yang tidak dia tahu apakah seharusnya dia lihat. “Mau ku tuangkan airnya?” tanya Ardian tiba-tiba. Suzy mengangguk, sedikit terkejut. Pria itu berjalan mendekat, mengambil gelas dari tangan Suzy dan mengisinya dengan gerakan tenang. “Terima kasih.” Ucap Suzy. “Sama-sama.” Sahut Ardian. Lalu situasi senyap kembali. Suara jam dinding terdengar sangat keras. Suzy mengangkat gelas ke bibir, tapi tak jadi meneguk. Ardian masih berdiri di dekatnya, terlalu dekat. Tapi entah mengapa dia tidak mundur. Mungkin karena udara di antara mereka bukan cuma udara. “Rumah ini…” Ardian membuka suara. “Punya aroma berbeda.” Lanjut Ardian. Suzy menoleh. “Aroma?” “Ya. Kayak wangi sabun dan bunga. Lembut. Tapi anehnya bikin susah tidur.” Lanjut Ardian. Suzy tertawa kecil, gugup. “kok bisa? Mungkin karena kamu belum terbiasa.” “Mungkin,” gumam Ardian, lalu dia berjalan pergi. Tapi sebelum ia benar-benar menghilang di balik lorong, ia menoleh. “Satu lagi.” Kata Ardian. “Apa?” sahut Suzy. “Aku nggak pernah suka rumah orang lain.” Ardian memberi pernyataan. Kalimat itu menggantung lama di kepala Suzy bahkan setelah Ardian menghilang. Kata “orang lain” itu seperti pisau yang perlahan mengiris batas kenyamanan yang dulu ia miliki. Keesokan harinya, saat sarapan, suasana meja makan terasa lebih dingin dari biasanya. Pak Dion berusaha mencairkan suasana dengan bercerita soal masa mudanya di SMA. Tentang betapa dulu ia dan Bu Nayla sempat satu kelas di kelas IPA 3. “Takdir lucu, ya,” katanya sambil tertawa kecil. “Kami dipertemukan lagi setelah masing-masing terluka.” Suzy tersenyum kecil. Tapi ia bisa merasakan tubuh Ardian mengeras di kursi sebelahnya. “Nggak semua pertemuan itu romantis, Pak” ucap Ardian tiba-tiba. “Kadang cuma mengulang rasa sakit yang belum selesai.” Suzy menoleh cepat. Pak Dion terdiam. “Ardian” Bu Nayla menegur pelan. “Maaf ma” ucap Ardian, bangkit dari kursinya. “Aku nggak lapar.” Ia pergi meninggalkan meja makan yang hening. Suzy bisa melihat tatapan kecewa di wajah Papanya, dan kesedihan yang disembunyikan Bu Nayla dengan menyeruput teh terlalu cepat. Malam itu, hujan turun deras. Suzy terbangun karena suara petir, dan perasaan gelisah yang sulit dijelaskan. Ia keluar dari kamar dan melihat lampu ruang tamu masih menyala. Ardian duduk di sana, memandangi jendela yang berkabut. “Kamu belum tidur juga?” tanya Suzy pelan. Ardian menoleh. Tatapannya kali ini… berbeda. Lelah. Tapi juga seolah meminta dimengerti. “Aku mimpi buruk,” katanya tanpa diminta. “Ayahku. Dia datang… dan memaki Mama. Seolah semuanya salah Mama.” Suzy menelan ludah. Ia berjalan pelan, duduk di sofa yang berseberangan. Ardian melanjutkan, “Ayahku itu nggak cuma pergi. Dia hancurkan hidup Mama dan tentunya aku.” “Sekarang… ada pria lain yang mendampingi Mama, pura-pura jadi kepala keluarga.” “Asal kamu tau, Papa bukan orang jahat…” bantah Suzy dengan lembut “Mungkin. Tapi aku nggak bisa percaya begitu saja.” tepis Ardian dengan penuh pertimbangan. Keheningan panjang. Suzy mengeratkan jaketnya. Udara malam menusuk. Tapi ada sesuatu yang lebih dingin dari hujan di luar sana: jarak di antara mereka. Tapi jarak itu mulai retak. Karena Suzy bertanya “Apa kamu benci aku juga?” Ardian menoleh cepat. “Bukan kamu yang kupertanyakan. Tapi… keberadaanmu. Kamu pengingat bahwa Mama memilih untuk membuka lagi hatinya. Dan aku belum siap melihat itu.” Suzy mengangguk pelan. “Oke.. itu hak kamu, yang jelas aku turut bahagia Papa menemukan pendamping sebaik Mama Nayla aku akan senantiasa jaga mereka karena aku paham betul bagaimana Papaku meratukan Almh. Mama kandungku. “kalau kamu... terserah sih aku gak maksa kamu juga untuk nerima Papa sekaligus Aku, kalau kamu mau berlarut-larut hidup dalam masa lalu yaaa silahkan Ardian.” Sekejap, tatapan mereka bertemu. Untuk pertama kalinya, tanpa perisai. Dan sesuatu mengalir di antara mereka bukan cinta, bukan nafsu, tapi sesuatu yang jauh lebih berbahaya: keterikatan. Dan saat kilat menyambar di langit, Suzy sadar satu hal. Mereka seakan sedang berdiri di tepi jurang. Dan belum satu pun dari mereka mundur. Malam itu, bukan hanya hujan yang turun. Tapi juga batas-batas yang perlahan mulai runtuh.Udara pagi di Dusun Girilaya terasa lembap dan segar. Embun masih menempel di daun jati, menampakkan kilau halus ketika sinar matahari menembus sela pepohonan. Angin lembut berdesir membawa aroma tanah basah sisa hujan semalam.Namun di antara barisan pohon jati yang berdiri kokoh di tepi jalan setapak, seseorang sedang memperhatikan dalam diam.Dia adalah Linda, sepupu Hellen yang serakah sekaligus istri kedua Pak Wisnu, ayah kandung Ardian. Wajahnya teduh tapi matanya tajam menyimpan sesuatu antara rasa ingin tau dan ambisi. Ia memegang ponsel di tangannya, memperbesar layar kamera, mengamati tiga orang di depan rumah besar milik Ana.“Jadi benar disini tempat tinggal Mira… dan kau... Hellen juga di sini, sudah mulai berkhianat kau ya sama saudarimu ini yang sudah membantumu, ku pastikan kali ini kamu berhutang budi sama aku”, gumamnya pelanSudah beberapa hari yang lalu, Linda menguntit Ardian dan Suzy diam-diam. Ia selalu ingin tahu sesuatu yang besar, sesuatu yang berkaitan denga
Hujan baru saja reda ketika mobil Pak Tommy berhenti di depan rumah besar di Dusun Girilaya. Bangunannya berdiri anggun di antara pepohonan jati, terekspos dengan jendela kayu tinggi yang membuatnya tampak klasik dan tenang. “Ini rumah saya,” kata Ana sambil tersenyum kecil. “Terima kasih sudah menolong saya tadi." Hellen turun lebih dulu, lalu membantu Ana keluar. “Ruma Mbak Ana besar juga ya, untuk tinggal sendiri." Ana tertawa ringan. “Iyaa... sepi sekali. Tapi saya sudah terbiasa kok" Hellen ikut tersenyum sopan. “Kalau begitu, kami pamit dulu. Semoga lukanya cepat sembuh.” “Sebentar,” tahan Ana. “Hujan sebentar lagi turun lagi. Masuk dulu saja. Saya buatkan kopi. Tidak enak membiarkan tamu pergi tanpa jamuan.” Pak Tommy menatap Hellen, lalu mengangguk kecil. “Baiklah, sebentar saja.” Di dalam rumah, suasana hangat. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara. Dinding ruang tamu dipenuhi bingkai foto pemandangan laut dan ladang teh. Di meja kecil dari kayu jati,
Siang itu, matahari di Kabupaten Kiribaru bersinar redup, menembus tipis awan kelabu yang menggantung di langit. Jalanan berliku di antara perbukitan tampak sepi; hanya sesekali truk tua lewat membawa hasil panen dari desa sekitar. Sebuah mobil hitam melaju perlahan di jalur utama menuju kota kecil itu. Di balik kemudinya, Pak Tommy tampak tenang seperti biasa, sementara di kursi penumpang Hellen menatap peta di ponselnya. “Kata Kevin, Suzy dan Ardian sudah lebih dulu sampai di sini Om" Kata Hellen Baru saja Hellen memberi informasi, sesuatu melintas cepat di depan mobil sebuah sosok wanita yang menyeberang tanpa melihat. Pak Tommy membanting setir, tapi tetap brak!—benturan keras terdengar, mobil berhenti mendadak di pinggir jalan. Hellen terlonjak, jantungnya berdebar. "Astaga! Om !” Mereka berdua segera keluar. Di depan mobil, seorang wanita tergeletak di aspal dengan lutut berdarah dan siku lecet. Wajahnya pucat tapi masih sadar. “Aduh… maaf, saya tidak lihat mobil
Langit sore menggantung kelabu ketika mobil yang dikendarai Ardian menembus jalan berliku menuju Kabupaten Kiribaru. Udara di luar jendela semakin dingin, pepohonan pinus berderet rapat di sisi jalan, seolah menutup setiap celah cahaya matahari yang tersisa. Perjalanan itu memakan waktu hampir empat jam dari Cendana Timur, dan jika diukur dari Kota Cemara, tempat semua kisah ini bermula, jaraknya mencapai sepuluh jam penuh. Suzy bersandar di kursi penumpang, menatap ke luar jendela tanpa suara. Rasa lelah bercampur dengan resah—ia merasa seperti sedang menuju sesuatu yang belum bisa ia definisikan, entah kebenaran atau bahaya baru. “Masih jauh?” tanyanya akhirnya. Ardian melirik jam tangan. “Sekitar tiga puluh menit lagi. Kita istirahat di penginapan dulu malam ini. Aku nggak mau nyetir dalam kabut begini.” Suzy mengangguk pelan. Ia tahu Ardian benar. Tapi entah kenapa, setiap kali mobil melintasi jalan yang kian sunyi, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat—seperti ada sesuat
Rumah Kevin terasa terlalu hening sore itu. Jam dinding berdetak pelan, nyaris tenggelam oleh desir angin yang menyusup lewat jendela terbuka. Di meja makan, secangkir teh yang sudah dingin masih mengepulkan aroma samar daun mint. Hellen duduk di kursi paling ujung, menatap kosong pada dinding tempat bayangan sore menempel seperti noda masa lalu yang tak bisa dihapus. Dia tahu waktunya hampir habis. Rumah ini bukan lagi tempat aman. Sejak malam terakhir ketika suara langkah-langkah asing terdengar di luar pagar, nalurinya berteriak keras: “tinggalkan semuanya sebelum terlambat.” Hellen menarik napas panjang, lalu menulis di selembar kertas putih, dengan pesan: "Pak Raymond dan Bu Karin, mohon maaf yaa Hellen harus meninggalkan rumah kalian karena Hellen merasa disini sudah tak aman. Maka dari itu saya akan mencari tempat aman saat ini juga. Mohon maaf sekali bila Hellen hanya bisa membantu sampai disini, bila Bapak dan Ibu memerlukan bantuan, silahkan kirim chat dinomor ini 08
Sore itu, langit di Dusun Merbabu mulai memudar. Matahari merayap turun di balik bukit, meninggalkan semburat jingga di langit Cendana Barat. Suzy dan Ardian baru saja tiba di jalan sempit bernama Jalan Bata Merah, nomor 6 — alamat yang selama ini mereka buru dari data Hellen. Mereka berhenti di depan rumah sederhana bercat krem yang terlihat sepi. Dindingnya dipenuhi lumut tipis, dan pagar kayunya sedikit lapuk dimakan usia. Suzy menarik napas panjang. “Ini… seharusnya rumahnya, kan?” Ardian mengangguk, menatap papan nama kecil di depan pagar. “Entahlah, Kita lihat apakah benar orangnya.” Mereka melangkah perlahan ke arah rumah itu. Suara ayam berkokok dan bau tanah lembap bercampur dengan aroma kayu tua. Tak lama, pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya muncul — rambutnya disanggul rapi, wajahnya ramah. “Iya, ada apa ya, Nak?” tanyanya dengan suara lembut. “Permisi, Bu. Kami sedang mencari seseorang bernama Mira Desiana. Apa Ibu mengenalnya?” tanya Ardian sopan. Wa







