*Happy Reading*
Nyonya Sulis kritis!
Saat jatuh di kamar mandi. Kepalanya memang terantuk pinggiran bathub di bagian belakang.
Nyonya Sulis harus menjalani operasi karena adanya pendarahan hebat di bagian kepala. Meski begitu, kondisinya masih dinyatakan kritis setelah menjalani operasi.
Ina tidak bisa menjelaskan dengan detail kondisi nyonya Sulis. Karena banyak sekali penjelasan dokter yang dia tidak mengerti.
Yang Ina mengerti adalah, bahwa Nyonya Sulis kritis dan Sean terpukul sekali melihat kondisi ibunya.
Kasihan sekali. Pria itu benar-benar tampak kacau sejak mengantar Ibunya ke Rumah sakit, dan makin kacau saat mendengar vonis sang Dokter. Pun Ina dengan rasa bersalahnya.
Bagaimanapun, Ina merasa punya andil pada kondisi Nyonya Sulis. Karena keputusannya kemarin, yang membuat kesehatan Nyonya Sulis drop dan ....
"Bagaimana
*Happy Reading* Jadi dia Rara. Istri kedua Sean dan ... ibu dari Keandra. Putra semata wayang seorang Sean Abdilla. Astaga! Ternyata dia lebih cantik dari yang Ina bayangkan selama ini. Tidak! Sebenarnya kedua istri Sean memang cantik. Baik itu alm istri pertama atau yang ini, keduanya masuk kategori wanita sangat cantik bagi Ina. Namun kalau harus dibandingkan. Tentu saja yang ini lebih cantik. Apalagi dengan senyum manis yang terus dipertontonkan wanita ini sejak tadi. Ina jadi tidak mengerti lagi, kenapa Sean bisa menyia-nyiakan wanita ini? Kurangnya apa? Cantik, dapet. Lembut, dapet, perhatian, dapet. Baik, dapet. Udah kasih anak, pula, iya kan? Kok, bisa di sia-siain? Sean nyari yang kayak gimana lagi, coba? Aneh banget! Dasar manusia gak bersyukur! "Ina!" Ina yang tanpa sadar kembali larut dalam lamunan pun, karena senyum seo
*Happy Reading* "Astaga! Mama?!" seru Sean lantang, saat melihat kondisi Mamanya. Pria itu pun bergerak cepat ke arah tombol, dan memencetnya dengan tak sabaran. "Suster! Tolong Mama saya?!" teriaknya lagi, entah pada siapa. Dia melakukannya berkali-kali, dan seperti orang kesetanan seraya melirik Mamanya. Ya, Tuhan. Apa yang terjadi? Ina yang memang tidak mengerti apapun hanya bisa terdiam di tempatnya. Seperti orang linglung dan bingung harus melakukan apa. Untungnya, tak lama setelahnya seorang Dokter dan beberapa perawat pun masuk. Lalu segera menyuruh Ina dan Sean keluar Ruangan segera. Awalnya, Sean tentu saja tidak mau menuruti titah tersebut. Karena pria itu ingin menunggui dan memastikan kondisi Mamanya. Perlu beberapa perawat menghadang Sean, kemudian memaksanya keluar dari Ruangan tersebut meski dengan wajah kalut sekali. "Oh, Gosh!" geramnya kesal, sambil menyugar rambutnya dengan kasar
*Happy Reading* "Menikah hari ini?" beo Ina cepat. Saat akhirnya Sean memberitahukan apa yang diucapkan Mamanya. Setelah berada di luar Ruang rawat sang Mama. Sean mengangguk dengan pelan setelah menghela napas pendek. Ina lalu menggaruk belakang lehernya tanpa sadar, karena menurutnya permintaan ini aneh sekali. Kenapa harus hari ini, sih? Di Rumah sakit pula? Kayak gak ada hari esok dan ... "Oh, Tuhan! Jangan-jangan ini pertanda!" Seketika batin Ina pun berseru seakan memberikan sebuah kecurigaan. Demi apa? Ina jadi takut jika hal ini benar-benar pertanda dari Nyonya Sulis dan memang permintaan terakhirnya. Lalu, harus bagaimana Ina sekarang? "Bagaimana? Kamu setuju, kan?" tanya Sean lagi, karena tak segera mendapat jawaban dari Ina. Namun Ina tetap belum memberikan jawaban dengan segera. Gadis itu malah memilih melirik kaca besar yang menampilkan kondisi Nyonya Sulis, yang masih terbaring
*Happy Reading* Sean kacau! Sean kalut! Sean pilu! Saat akhirnya dokter menyatakan, jika Mamanya tidak bisa di selamatkan, dan sudah dinyatakan meninggal dunia. Sean bahkan meraung tanpa tahu malu di depan semua orang, dan menangis pilu tanpa perduli apapun. Rasanya, separuh jiwanya ikut mati dengan kepergian sang Mama. Hatinya patah, jiwanya gelisah mengetahui sang Mama tak akan bisa menemaninya lagi. Benar kata orang, kematian orang tua, adalah patah hati terbesar untuk seorang anak. Karena orang tua adalah cinta pertama semua anak. Bukankah, cinta pertama itu tak akan pernah tergantikan? Karenanya, saat ini Sean merasa hidupnya hancur sehancur-hancurnya. Bahkan, rasanya lebih hancur dari kehilangan hak asuh Keandra, juga kehilangan Audy, istri kesayangannya di masa lalu. Bumi yang di pijaknya terasa goyah, dan seluruh tulang seakan ikut terenggut dari tubuhnya. Mama! Sean harus bagaimana menja
*Happy Reading* "Aku menikahinya demi Mama. Karena sekarang Mama sudah tidak ada. Maka ... kamu boleh pergi sekarang, Ina. Saya sudah tak membutuhkanmu lagi." Degh! Tubuh Ina seketika membeku mendengar penuturan Sean barusan. Khususnya kalimat terakhir, yang sukses membuat hatinya hancur lebur seketika. Padahal, Ina tahu itu benar adanya. Tetapi, kenapa rasanya sesakit ini ya, saat mendengarnya langsung? "Apa maksud Kakak?" Bukan Ina yang membalas ucapan Sean, tapi Rara yang ikut merasa terkejut dan seakan bisa merasakan luka Ina yang tidak bisa di sampaikan gadis itu. "Ya ... Maksud saya, karena kini Mama sudah tidak ada. Maka saya sudah tidak membutuhkannya dan akan segera menalak--" Plak! Belum sempat Sean menyelesaikan ucapannya. Sebuah tamparan keras sudah melayang ke arah wajahnya, membuat cetak merah di salah satu pipi Sean. Pelakunya adalah Rara, yang begitu murka mendengar ucapan mantan suaminya
*Happy Reading* "Kami pulang duluan, ya, bro! Rara tidak boleh terlalu lama ada di sini," ucap Ken, berpamitan saat melihat orang di pemakaman sore itu sudah semakin sepi. Acara pemakaman memang sudah selesai semua sejak beberapa menit lalu. Namun Sean yang masih berduka enggan beranjak dari makam sang Mama, tanpa memperdulikan apapun lagi. Bahkan, saat semua pelayat berpamitan dan pergi satu persatu, Sean tetap diam dan mengabaikan semuanya. Hanya Mbok Darmi dan Ina yang mengucapkan terima kasih, sebagai basa basi semata. Tanpa persetujuan Sean, Rara dan Ken memang sudah mengenalkan status Ina pada semua tamu yang datang. Karena toh, keberadaannya di sana lumayan asing, dan tentu saja menimbulkan tanya dari orang-orang yang mengenal keluarga Abdilla. "Kakak juga jangan lama-lama di sini. Langitnya sudah mendung dan sepertinya akan segera hujan." Rara pun ikut menimp
*Happy Reading* Sean menggeram kesal seraya mengepalkan tangan dengan erat. Setelah itu, menyugar rambutnya kasar dan .... "Menyebalkan!" umpatnya kemudian, sebelum melenggang pergi begitu saja, meninggalkan Ina di pusara sang Mama. Awalnya, Ina hanya mengerjap bingung melihat itu. Terdiam seraya mengikuti langkah Sean dengan ekor matanya. Namun, saat Melihat Sean tiba-tiba berhenti melangkah, dan meliriknya cepat. Glek! Tanpa sadar, Ina pun menelan salivanya kelat. Bersiap menerima makian apapun yang akan dimuntahkan pria itu lagi. "Mau sampai kapan kamu di sana? Katanya mau pulang?" tanya Sean dengan suara yang lebih rendah dari sebelumnya. Kembali, Ina mengerjap bingung di tempatnya, sebelum kemudian tersenyum manis saat mengerti maksud Sean. "I-iya, Pak," sahut Ina dengan riang. Seraya melangkah mengikuti Sean. Melihat Ina sudah melangkah menghampiri, Sean pun meneruskan langkah dengan tegap dan cepat. Benar
*Happy Reading*"Pagi, Den.""Pagi," sahut Sean dengan ramah, seraya menghampiri pembantu senior di Rumahnya, yang sedang menata sarapan pagi ini di meja makan.Saat baru saja sampai, mata Sean tiba-tiba melirik ke dapur, tepatnya ke kursi bar, tempat di mana Ina biasa duduk sambil menemani Mbok Darmi memasak.Anehnya, hari ini kursi itu kosong, dan .... kemana gadis itu?"Non Ina sepertinya tidak bisa menemani aden sarapan pagi ini." Mengerti akan apa yang dicari sang majikan muda. Mbok Darmi pun menjelaskan tanpa harus ditanya terlebih dahulu."Kenapa?" tanya Sean, entah sadar atau tidak, seperti sangat penasaran dengan keterangan Mbok Darmi barusan."Non Ina sakit, Tuan.""Sakit?" Beo Sean, lebih cepat dari yang dia sadari."Iya, badannya panas sekali tadi pas saya cek. Menggigil juga meski sudah pakai selimut tebal. Sepertinya Non Ina demam karena kehujanan kemarin. Makanya tadi setelah minum obat, saya suruh a