Home / Romansa / CEO adalah Maut / BAB 3 - Bertemu lagi

Share

BAB 3 - Bertemu lagi

Author: LoVelly09
last update Last Updated: 2024-08-20 06:44:39

“Cari aja tempat mebel lain!” Suara keras Tante Lina membuat Vanilla memanjangkan leher ke depan kios makramenya. Wanita paruh baya dengan rambut yang digelung tinggi serta dress panjang tali spaghetti itu mematikan panggilan diikuti raut wajah kesal. “Udah dibilang nggak jual, masih aja ngeyel. Dasar brengsek!”

Meletakkan beberapa hiasan dinding makrame ke dalam kardus sebelum berjalan mendekati sang tante. Vanilla ingin tahu apa yang menyebabkan Tante Lina marah-marah di pagi hari.

“Tante kenapa?” tanya Vanilla setelah mengikat rambutnya menjadi satu bagian.

“Ini, pegawainya Aditama. Tante udah bilang nggak ada barang, masih aja ngeyel! Ya emang Tante masih ada stok, tapi nggak sudi jual buat Aditama!” Vanilla terdiam sesaat. Sejak peristiwa itu, Tante Lina memang sangat membenci semua hal yang berhubungan dengan keluarga Aditama. Bahkan tidak akan menjual produk mebelnya kepada perusahaan Aditama. Meskipun sudah bisa dipastikan ia akan meraup banyak keuntungan jika bekerjasama dengan perusahaan tersebut. “Dipikir kita butuh duit dari mereka apa? Dasar sialan!”

“Udah, Tante.” Vanilla meraih tangan Tante Lina dan mengusapnya. Gerakan dari sang keponakan kontan membuat Tante Lina menoleh lalu mengusap wajah Vanilla. Tiba-tiba kedua mata wanita paruh baya itu berlinang air mata.

“Kamu harus bahagia, Van. Apa pun yang terjadi, Tante akan selalu ada buat kamu dan Zayn,” celetuk Tante Lina.

Vanilla mengulas senyuman. “Aku tahu. Udah ah, masih pagi jangan buat suasana melow.”

Tante Lina ikut tersenyum, lantas buru-buru mengusap air mata yang belum sempat menetes. Ia memanjangkan leher dan mendapati beberapa kardus dengan huruf tegak bersambung ‘Lovely handicraft’ tersemat di setiap bagian.

“Mau nganter pesenan?” tanya Tante Lina.

“Iya, Tan. Biasa ke The Heights,” jawab Vanilla ikut menoleh ke arah lima kardus yang belum terisi penuh.

“Oh kamu masih ada kerjasama di The Heights? Tante denger mau ada pergantian manajemen di sana,” sambung Tante Lina sambil menyelipkan helaian poni panjangnya ke belakang telinga.

“Iya katanya gitu. Tapi di sana lumayan ramai, kok. Penjualan souvenirku juga bagus. Cuma manajemennya aja yang bermasalah,” terang Vanilla.

“Ck! Emang manajemen keluarga itu gampang kena masalah. Semua pada ikut campur dan nggak mau kalah. Ya udah, biar Tante bantu.”

Memasukkan makrame ke dalam kardus sesuai dengan ukuran dan warna yang berbeda. Hiasan yang dibuat oleh Vanilla banyak digemari oleh penduduk lokal maupun wisatawan asing. Bahkan tidak jarang, Vanilla mengirimkan hasil kerajinan tangannya ke beberapa negara tetangga.

Sebab Vanila tidak hanya membuat hiasan dinding saja. Ia juga ahli dalam membuat seni simpul untuk keranjang, topi, rompi, gorden, penghias keramik, tas hingga keranjang untuk menggantung tanaman. Pun ia tidak menyangka hobi yang sudah ditekuni sejak remaja akan menjadi sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhannya bersama sang putra.

“Mom! Mommy!” Teriakan dari Zayn seperti alarm bagi Vanilla. Hentakan kaki kecil bocah berumur tiga tahun tersebut membuat sang ibu mendongakkan kepala.

“Ya, Sayang!”

Zayn turun perlahan dari tangga kayu yang sengaja dibuat landai oleh Vanilla. Kios Vanila terdiri dari dua lantai. Untuk bangunan di lantai dua, dimanfaatkan untuk kamar dan studio makrame. Terkadang Vanilla harus lembur untuk menyelesaikan pesanan seorang diri. Berulang kali Tante Lina menyarankan untuk merekrut pegawai, tetapi Vanilla belum bisa mempercayakan produk kerajinan tangannya kepada orang lain.

“Mommy, aku mau ikut,” ujar Zayn sambil menyeret selimut bergambar Batman yang sudah kumal. Well, Vanilla harus berusaha keras setiap membujuk Zayn untuk melepaskan selimut agar bisa dicuci. Bocah itu memang tidak bisa terlepas dari selimut Batmannya sejak bayi.

“Ikut kemana? Udah sama Grandma, aja,” celetuk Tante Lina sambil melakban kardus makrame.

Zayn menggeleng cepat sampai membuat rambut tebalnya bergoyang. Pipi gembul Zayn juga ikut bergetar karena gerakan tersebut. “No no no! Aku mau ikut sama Mommy. Mommy ‘kan udah janji mau beliin gelato.”

“But not now (Tapi nggak sekarang), Sayang.” Vanilla mengusap puncak kepala sang putra dengan salah satu tangan yang penuh dengan tas makrame berukuran sedang.

“Mommy udah promise to me.” (Janji denganku ) Bibir tebal Zayn mengerucut. Menggemaskan sekali.

Menghela napas sambil melihat sang putra yang kini duduk bersila dengan tangan terlipat di depan dada. Wajahnya berlipat kesal.

Vanilla mengulum senyum. “Oke, Zayn boleh ikut.”

“Yeay! Yippy!” Mendengar kalimat persetujuan dari sang ibu, Zayn lantas melompat kegirangan. Ia menggoyangkan bokongnya yang montok sambil terus melompat.

Bagi Vanilla, Zayn adalah alasannya bertahan selama ini. Ia tidak peduli dengan semua hal buruk yang menimpa. Asalkan ada Zayn semua akan bisa dilewati.

“Permisi, paket!” Suara dari seorang kurir membuat Vanilla dan Tante Lina menoleh bersamaan. “Paket untuk Bu Vanilla.”

“Paket untuk saya? dari siapa?” tanya Vanilla sambil mendekati kurir tersebut.

Satu buket bunga mawar merah yang dipadukan baby breath menciptakan senyuman tipis di bibir Vanilla, seakan sudah tahu siapa pengirimnya.

“Silahkan tanda tangan di sini, Bu,” pinta kurir tersebut setelah mengulurkan buket mawar merah.

Setelah memberikan tanda terima, Vanilla mencari kartu ucapan yang terselip di antara kelopak bunga mawar merah tersebut. Senyum Vanilla semakin merekah ketika membaca rangkaian kata manis yang tertulis untuknya.

‘Selamat hari jadi yang ke tujuh, Sayang. Aku tidak sabar menjadi bagian dari kehidupanmu seutuhnya. Tadi aku bingung karena nggak ada bunga yang bisa menyamai cantiknya kamu, jadi aku pilih mawar yang jadi favoritmu. Aku merindukanmu, Vanilla.’

Senyum Vanilla semakin merekah setelah menghidu aroma bunga mawar yang wangi itu. Vanilla cukup penasaran dengan siapa yang membantu Gavin merangkai kalimat dalam kartu ucapan tersebut. Mengingat Gavin adalah pria yang sulit mengungkapkan isi hati.

Tujuh hari yang lalu, Vanilla menerima ajakan pernikahan dari Gavin. Sekarang mereka tengah sibuk mempersiapkan acara pernikahan yang akan digelar dua bulan mendatang. Setelah empat tahun bersabar, akhirnya Gavin akan menjadi teman hidup yang dipilih oleh Vanilla.

***

Kaki kecil Zayn melangkah mengikuti Vanilla yang sedang membawa satu kardus masuk ke dalam toko oleh-oleh The Heights Hotel. Bangunan yang dibuat dengan dinding kaca secara keseluruhan itu tampak mencolok di sebelah lobi hotel dengan aneka oleh-oleh khas Bali. Semuanya tertata apik di etalase. Produk yang dibuat oleh Vanilla termasuk yang paling laris. Bahkan dalam satu bulan, Vanila bisa mengirimkan 200 biji makrame ke sana.

“Selamat sore, Mbok Rai,” sapa Vanilla kepada seorang wanita paruh baya dengan rambut yang digelung rapi serta busana kebaya warna ungu muda.

“Eh, Vanilla. Kok bawa sendiri? Biar dibantu Jaka,” ujar Mbok Rai sambil celingukan mencari keberadaan salah satu staf hotel itu.

“Bli Jaka udah di mobil aku, bawain kardus yang lain,” terang Vanilla.

“Oh, ya sudah kalau begitu.” Perhatian Mbok Rai lantas tersita pada Zayn yang berdiri di belakang Vanilla sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling pelataran hotel. Akuarium berukuran besar yang terpasang dekat dengan meja resepsionis menarik perhatian bocah tersebut. “Zayn! Kok tumben ikut.”

Vanilla menoleh ke arah sang putra setelah meletakkan kardus di lantai. “Zayn, salam dulu sama Niyang.”

Patuh dengan perintah sang ibu, Zayn maju beberapa langkah lalu mengulurkan tangan mungilnya. Tidak hanya itu saja, ia juga mencium punggung tangan Mbok Rai sebagai bentuk rasa menghormati.

“Uh, pinternya Zayn ini.” Mbok Rai mengusap kepala Zayn gemas. Lalu ia teringat nota pembayaran bulan lalu yang belum diberikan kepada Vanilla. “Oh iya, Van. Ini nota bulan kemarin.”

Merasa perhatian sang ibu sedang tercurahkan pada hal lain, Zayn berlari kecil ke arah akuarium besar yang membuatnya penasaran. Ada ikan warna hitam yang panjang menarik rasa ingin tahu bocah itu.

Setelah beberapa menit berlalu, Vanilla baru tersadar jika sang putra tidak berada di dekatnya. Ia menoleh ke kanan kiri untuk mencari keberadaan bocah tersebut. Beranjak dari duduknya, Vanilla menelusuri ruang toko oleh-oleh untuk mencari Zayn. Namun, sang putra tidak tampak di area toko tersebut.

“Zayn!” panggil Vanilla mulai panik.

“Kenapa, Van?” tanya Mbom Rai setelah meletakkan beberapa kardus makrame ke gudang belakang toko.

“Mbok Rai lihat Zayn nggak ya?” Mata Vanila tidak bisa berhenti mengedar ke sekeliling. Ia sangat ceroboh hingga lalai menjaga Zayn agar tetap dalam pandangan. Sementara itu Mbok Rai ikut memanjangkan leher untuk mencari keberadaan Zayn.

“Itu Zayn, ‘kan?” Mbok Rai menunjuk ke arah meja resepsionis. Kepala Vanilla menoleh ke arah yang sama lalu berlari kecil untuk menghampiri sang putra.

Baru beberapa langkah, kaki Vanilla berhenti. Kedua kelopak matanya terbuka lebar setelah mendapati sosok yang tidak ingin dilihat sepanjang hidupnya. Saraf Vanilla seakan berhenti sesaat ketika pria yang paling dibenci itu sedang berlutut dengan satu kaki dan berhadapan dengan Zayn. Hati Vanilla terasa bergemuruh seketika.

“Mommy!” Zayn yang menyadari keberadaan Vanilla berlari kecil ke arahnya. Lalu secara bersamaan, Aryan menoleh dan meluruskan tubuh menjadi berdiri. Salah satu tangan pria bertato itu dimasukkan ke dalam saku sambil terus melihat ke arah Vanilla.

Napas Vanilla terasa sesak saat melihat dengan jelas wajah pria tersebut. Tidak! Ia tidak boleh bertemu lagi dengan Aryan. Tidak boleh!

TO BE CONTINUED…. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CEO adalah Maut    Bab 51- Akhir cerita

    Aryan kamu bilang kita mau ke tempat bermain, kenapa tiba-tiba ke Singapura sih?” Vanilla masih saja mengomel saat pesawat pribadi Aryan terbang di atas awan.“Di Singapura juga ada taman bermain, Universal Studio. Lagipula Zayn happy loh, ya kan Sayang?” Aryan meminta persetujuan dari sang putra dan mendapatkannya dengan anggukan kepala.Aryan terkekeh lalu mencium Zayn dengan gemas. “Ah, anak Daddy. Zayn bisa pergi kemana aja yang Zayn mau.”“Bener Daddy?” Kedua mata Zayn membola. Ia tampak takjub saat sang ayah akan mengabulkan semua keinginannya.“Tentu saja,” jawab Aryan seraya memeluk erat sang putra.“Tapi, butuh banyak uang Daddy,” cicit Zayn.Aryan kembali terkekeh. “Daddy punya banyak sekali uang. Zayn boleh habiskan semuanya.”Melihat kedua laki-laki beda usia itu, Vanilla hanya bisa menggeleng. Zayn sangat menempel kepada Aryan, seperti

  • CEO adalah Maut    Bab 50- Menjelang Final

    Ah, pelan-pelan, Dok.” Aryan merintih kala Dokter Surya mengusap luka pada sudut bibirnya. Ia melirik pada pribadi Dokter Surya yang justru sengaja mengusap luka Aryan dengan penuh tekanan.“Ini kenapa lagi?” tanya Dokter Surya yang sudah hafal dengan kelakukan Aryan. Ia selalu membantah ucapan Aditama dan berakhir dengaan pertikaian. Iris hitamnya melirik pada Vanilla yang sedang menyiapkan kompres air dingin untuk luka lebam Aryan. “Apa karena wanita itu?”“Bukan,” jawab Aryan singkat.“Kamu dan Daddy kamu itu sama saja,” ujar Dokter Surya mengoleskan obat untuk mengurangi lebam Aryan dengan hati-hati.“Ah. Shhhh.” Dahi Aryan berkerut karena rasa perih yang ditimbulkan. “Kami sangat berbeda. Jangan pernah samakan aku dengan dia, kami sangatlah berbeda.”“Sama saja, suka menyimpan kesedihan seorang diri,” tambah Dokter Surya.Alih-alih menanggapi denga

  • CEO adalah Maut    Bab 49 - Mencintainya

    Sudah satu hari Aryan tidak memberikan kabar. Pria bertato itu bahkan tidak memperlihatkan batang hidungnya sama Sudah satu hari Aryan tidak memberikan kabar. Pria bertato itu bahkan tidak memperlihatkan batang hidungnya sama sekali. Berulang kali Vanilla menghubungi Aryan sebab tidak bisa menahan diri. Namun, hanya suara operator yang didengarnya.Tangan Vanilla memasukkan aneka sayuran ke dalam panci dengan pikiran melayang. Mengambil pisau untuk mengiris sosis sebagai campuran. Netra Vanilla melihat ke arah benda tajam itu, tetapi fokusnya terpecah. Ia terus memotong hingga tanpa sadar ujung jari menjadi sasaran.“Aw!” seru Vanilla saat permukaan kulitnya tergores. Sontak ia menghisap darah yang keluar untuk membekukannya. Ia tidak bisa membohongi diri sendiri jika keadaan Aryan kini tenang meracau benak. “Kamu dimana Aryan?”Entah mengapa hati Vanilla merasa tidak enak setiap memikirkan pria itu. Ia tidak benar-benar yakin jika Aryan akan pergi begitu saja. Vanilla merasa jika pr

  • CEO adalah Maut    Bab 48 - Aryan pergi

    BAB 48Netra Aryan terus memperhatikan sang putra yang sedang menyantap ayam goreng dengan lahap. Sesekali senyum tipis terulas di bibir Zayn yang belepotan saus tomat. Mengonsumsi makanan cepat saji adalah hal yang paling membahagiakan bagi Zayn. Sebab Vanilla hanya memberikan jatah satu kali dalam satu bulan.“Belepotan ya, Daddy?” Zayn meringis saat Aryan membersihkan bibirnya dengan tisu.Aryan menanggapi celetukan Zayn dengan kekehan. “It’s Okay. Enak?”“Enak banget, Daddy. Boleh nggak sih kalau aku makan kayak gini setiap hari?” cicit Zayn sambil terus mengunyah kulit ayam dengan bumbu yang merasuk hingga ke dalam dagingnya.“Nggak boleh, nanti Mommy marah,” jawab Aryan. “Bukannya Mommy sering buatin ayam goreng kayak gini buat Zayn?”“Iya.” Zayn menganggukkan kepala dengan antusias sebagai jawaban.“Enak mana sama ini?&

  • CEO adalah Maut    Bab 47-Sebaiknya pergi

    BAB 47Mobil Aryan sudah tiba di alamat tersebut. Ia sengaja memarkirkannya cukup jauh dari lokasi. Melihat rumah itu, Aryan tampak tidak asing dengan Villa dua lantai yang mengambil konsep tropis dengan atap mirip dan open space. Aryan seperti pernah berkunjung ke villa itu. Tetapi kapan?“Aryan, dia meneleponku!” Tangan Vanilla bergetar saat nomor tersebut menghubunginya.“Terima saja dan bilang kamu akan pergi seorang diri. Aku akan berada di belakang kamu. Okay?” terang Aryan.Vanilla mengangguk paham. Lalu ia menelan saliva dan menerima panggilan tersebut.[“Halo Vanilla, kamu tidak membawa Aryan bukan?”]“Tentu saja tidak,” jawab Vanilla mengontrol suaranya agar tidak bergetar.[“Kamu sebaiknya bergegas. Zayn sedang bermain di sini, dan kita bisa membuat negosiasi yang akan menguntungkan kita berdua. Cepatlah.”]Panggilan keduanya terput

  • CEO adalah Maut    Bab 46 - Pencarian Zayn

    Pakai mobil Tante aja, Van. Kamu lagi panik, bahaya.” Tangan Hestia langsung menarik pergelangan Vanilla untuk masuk ke dalam mobilnya. Vanilla hanya bisa menurut, otaknya seolah beku dan sulit digunakan untuk berpikir.Hestia yang dikenal jago mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi langsung melaju. Mercedes warna silver itu membelah jalanan Badung menuju ke kios Vanilla yang terletak tidak jauh dari kafe tempat pertemuan mereka.Earphone terpasang di salah satu telinga Hestia. Sesekali matanya melirik pada layar dashboard untuk memastikan sambungan telepon kepada sang putra. Hestia berdecak kesal sebab Aryan tidak kunjung menjawab panggilan tersebut.“Kemana sih Aryan,” gerutu Hestia seraya mengendalikan kemudi serta kecepatan.Dengan gesit, Hestia menyalip mobil serta motor yang menghalangi jalannya. Sementara itu Vanilla masih menggerakkan kedua kaki sebab gusar. Dalam hati ia merapalkan doa supaya hal buruk tidak mendeka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status