Share

Pameran Seni

Author: Andika
last update Last Updated: 2021-09-06 13:34:04

"Bagaimana teman-teman, sudah bawa karyanya masing-masing kan?" tanya Dimas yang sekarang sedang di depan kelas dengan lagaknya sebagai ketua kelas. Semua murid X MIPA 7 sudah mempersiapkan karya terbaiknya untuk dipamerkan termasuk Dimas. Dirinya membawa sebuah lukisan yang masih ditutup oleh kain putih sehingga tidak ada yang tahu apa yang ditulisnya.

"Sudah Dim, eh kamu ngelukis apa itu dim?" tanya Roni yang sudah sangat penasaran dengan lukisan Dimas. Pasalnya ia yang sering ke rumah Dimas saja tidak pernah diberitahu perihal lukisan tersebut. Lukisan itu selalu disembunyikan Dimas ketika Roni datang ke rumahnya. Dan kali ini pun juga masih di rahasiakan, padahal pameran sudah sebantar lagi.

"Oke, sekarang kita punya waktu satu jam untuk mendesain ruang kelas kita agar menarik sebagai ajang pameran seni nantinya," ucap Dimas sambil membawa kain batik yang besar. Ia ingin menutupi sekeliling dinding kelasnya dengan kain batik yang didominasi dengan warna hitam dan kuning keemasan itu.

Semua siswa pun bergotongroyong mendesain ruang kelasnya itu. Dari memasang kain batik di sekeliling dinding, memindahkan meja dan kursi, hingga menata karya-karya terbaik mereka untuk dipamerkan.

Berbeda dengan teman-temannya yang meletakkan karya seninya di dalam kelas, Dimas malah meletakkan lukisannya di luar kelasnya. Tepat di samping depan pintu kelasnya, sehingga semua orang yang akan masuk ke kelas X MIPA 7 akan melihat lukisan Dimas itu.

"Lukisanku akan menjadi lukisan selamat datang untuk para tamu yang akan mengunjungi kelas kita," begitu ucap Dimas bak seniman profesional kepada Roni yang selalu mengikuti Dimas dan sangat penasaran dengan lukisan Dimas itu. Roni tak sabar ingin melihat betapa indahnya lukisan karya Dimas itu.

Ya, Roni memang sudah mengetahui bahwa Dimas sangatlah pandai dalam menggambar. Roni sudah melihat gambar-gambar yang dibuat Dimas di buku gambar milik Dimas. Semua gambar itu terlalu indah bagi Roni dan ia tidak mungkin bisa membuat gambar seindah itu. 

"Ayolah buka," paksa Roni kepada Dimas. Kali ini Roni yang memiliki wajah oval dengan kulit coklat dan hidung besarnya itu memasang wajah memelas kepada Dimas. Tangannya mencoba memegang pundak Dimas, menepuk bahunya dengan pelan.

"Iya iya, ini mau aku buka," ucap Dimas sedikit mengeraskan suaranya. Sontak semua murid mendekat ke Dimas. Ternyata semua teman-teman Dimas penasaran dengan lukisan Dimas termasuk Refita sekalipun. Dimas pun melihat Refita juga antusias ingin melihat lukisannya dan akhirnya memutuskan untuk membuka kain putih tersebut.

"Oke, halo teman-teman sekalian, pameran seni kelas X MIPA 7 resmi dibuka," Dimas berteriak dengan sangat keras. Berharap tidak hanya teman kelasnya yang mendengar, namun seisi sekolah mendengar suaranya. Dimas pun membuka lukisannya sebagai tanda bahwa pameran seni kelas X MIPA 7 sudah dimulai. 

"Haaaaaah," semua tercengang dibuatnya. Pasalnya mereka melihat lukisan yang sangatlah indah. Apalagi lukisan itu ialah lukisan wajah Refita yang sangatlah manis. Wajahnya tersenyum dengan dekik di pipinya. Mata merona, dan pipi chabinya pun tergambarkan begitu natural. Kerudung yang dilengkapi dengan broos berbentuk bunga mawar memberikan bingkai yang indah pada wajah Refita itu. Tidak lupa ia menambahkan kacamata bulat Refita yang serasi dengan wajahnya yang juga bulat. Sebuah lukisan sang maestro yang benar-benar sempurna di mata teman-temannya.

Dimas sekarang tersenyum begitu percaya diri. Lagaknya gagah bak seorang pangeran yang ingin melamar kekasihnya. Ia melihat Refita yang tampak tersenyum bahagia dan sedikit malu-malu.

"Ciee, ini loh pak ketua melukis wajahmu Ref," kata Roni diikuti dengan teman-temannya yang juga berteriak "Cieee,". Kini semua murid kini mengalihkan pandangannya kepada Refita dan ia nampak malu harus menjadi pusat perhatian teman-temannya.

"Sudah sudah, ayo semua kembali pada posisinya masing-masing, tamunya sudah mulai datang, segera berada di samping karya seninya masing-masing ya," Dimas mencoba menyelamatkan Refita yang kini sedang dipandangi teman-temannya. Dimas tahu jika Refita sangat pemalu dan tidak ingin menjadi pusat perhatian. Berbeda dengan dirinya yang memang terbiasa menjadi pusat perhatian.

Semua murid pun bergegas ke posisinya masing-masing. Berdiri di samping karya seninya masing-masing. Dimas pun bak seorang pahlawan yang telah menyelamatkan Refita dari serangan rasa malu.

"Terimakasih ya," ucap Refita dengan sedikit malu dan senyum manis sebelum ia memasuki kelas meninggalkan Dimas. Dimas pun merasa bahagia dengan Refita yang sudah tidak ketus lagi kepada Dimas. Sepertinya rencana Dimas kali ini berhasil. Ia berhasil memberikan hadiah terbaik untuk wanita pujaannya itu.

"Iya," jawab Dimas sopan dengan memasang wajah senyum semringah kepada Refita.

"Eh dim, aku mau berdiri dimana ini," tiba-tiba Roni menyela. Ia bingung akan berdiri di posisi mana. Lantaran Roni membuat lampion dari stick es krim, dimana lampion tersebut diletakkan di atap juga sebagai penerang kelas itu.

"Oh iya ya, ya udah, kamu di luar aja sama aku, nemenin aku sambil nyambutin tamu-tamu undangan nantinya," Dimas pun memberikan buku daftar hadir tamu kepada Roni. Kini Dimas pun dapat bernafas lega karena ia tidak harus menyambut tamu-tamunya dan dapat fokus mempresentasikan lukisannya itu. Roni pun kini harus menjadi penerima tamu dengan tugas utama meminta tamu untuk mengisi daftar tamu undangan yang diberikan Dimas ke Roni tadi.

"Wah, lukisannya bagus sekali, ini wajah Refita ya, cantik sekali, lain kali lukis wajah ibu dong," kata Bu Sandra sambil merasakan tangannya ke lukisan Dimas itu. Bu Sandra memuji karya milik Dimas yang sangat indah itu. Bahkan ia menggoda agar Dimas bisa melukis wajahnya di lain kesempatan.

"Iya Bu, tapi kalo yang wajah ibu berbayar ya Bu," Dimas balik menggoda Bu Sandra. Kini Dimas memberikan embel-embel bayaran jika harus melukis wajah Bu Sandra. Ya, itu hanya sedikit guyonan yang dibuat Dimas. Tapi jika Bu Sandra mengiyakan ya lumayan juga sih.

"Kamu bisa aja Dim, ya udah tak lihat yang lain dulu ya," ucap Bu Sandra sambil berjalan memasuki kelas. Sebagai wali kelas wajar jika Bu Sandra merupakan pengunjung pertama waktu itu. Guru-guru yang lain pun menyusul setelah Bu Sandra selesai melihat pameran itu. Selanjutnya disusul oleh beberapa siswa dari kelas sebelah juga. Secara bergantian pun, murid-murid X MIPA 7 juga mengunjungi kelas lain untuk melihat karya-karya yang lain.

"Tidak ada yang bikin lukisan sebagus Dimas ya," ucap Cherry kepada Refita. Cherry merupakan teman dekat Refita yang selalu bersama dirinya sepanjang mereka mengelilingi kelas melihat pameran seni di sekolahnya. Refita hanya tertunduk malu dan sedikit mengangguk mengiyakan ucapan Cherry. Dia juga mencubit lengan Cherry mengisyaratkan untuk tidak membahas Dimas lagi.

"Kamu nggak keliling Dim?" tanya Roni ke Dimas. Mereka berdua sedang berada di depan kelas sedangkan seisi kelas sudah kosong karena semua teman-temannya sedang berkeliling melihat pameran di kelas-kelas lain.

"Nggak," jawab Dimas singkat. Dirinya sedang duduk di samping lukisannya dan tersenyum bahagia nampak seperti sedang menikmati hidup. Mungkin akan tambah lebih nikmat jika ditambah secangkir kopi yah.

Singkat cerita pameran seni pun berakhir. Lukisan milik Dimas berhasil menjadi karya terbaik di sekolahnya dan berhasil membawa kelasnya sebagai juara 3 lomba pameran kelas di sekolahnya. Dimas dan teman-teman kelasnya pun nampak bangga dan bahagia atas hasil yang mereka raih hari ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta yang hilang   Obrolan dengan Mita

    "Pagi kak," ucap Mita kepada Dimas saat baru datang di ruko Dimas. Mita melambaikan tangannya tanda sapaannya kepada Dimas dengan wajah tersenyum ramah. Kini Mita sudah bukanlah gadis cuek dengan muka datar yang selama ini Dimas kenal. Mita sudah menjadi gadis ceria dengan muka yang ekspresif. Entah apa yang sudah terjadi dengan Mita, tapi Dimas tetap mencoba bersikap biasa saja. "Pagi Mita, sini, duduk," Dimas pun menjawab salam Mita dengan ramah. Ia memberikan sebuah kursi supaya Mita dapat duduk disitu. "Paman yang kemarin belum kesini?" tanya Mita. Ia kembali menanyakan Rusli yang memang sampai sekarang belum juga datang. Kini Mita pun jauh lebih asik untuk mengobrol dengan sedikit berbasa-basi. "Belum Mit, sudah tiga hari ini paman nggak kesini," jawab Dimas. Raut mukanya pun sedih dan kepalanya tertunduk lesu. Sepertinya Dimas sudah merasa rindu kepada Rusli dan ingin segera bertemu dengan Rusli. Sikap Mita yang tidak cuek lagi itu pun membuat Dimas mau

  • Cinta yang hilang   Kesepian

    "Siang," sapa Mita kepada Dimas yang sedang melamun. Mita melambaikan tangannya tepat di hadapan Dimas yang pandangannya sangat kosong. Mita pun memberikan sedikit senyuman manis kepada Dimas. "Eh, siang, mau ambil lukisan ya?" ucap Dimas kaget. Ia pun terbangun dari lamunan panjangnya. Dimas pun sedikit kaget dengan Mita yang tak biasanya memberikan senyum tepat di depannya. "Iya," jawab Mita singkat. Dimas pun segera mengambil lukisan milik Mita yang sudah dibungkus dengan bingkisan yang menarik. Ide membungkus lukisan pesanan ini merupakan ide dari Rusli agar pelayanan Dimas terlihat lebih menarik. "Paman pelukis yang kemarin mana ya?" tanya Mita kepada Dimas. Dimas kali ini benar-benar heran kepada Mita. Tumben sekali Mita mau berbasa-basi menanyakan hal yang berada diluar tujuan utamanya, yaitu mengambil lukisan. "Eh, sudah dua hari paman Rusli tidak kesini," jawab Dimas. Sebenarnya sedari tadi Dimas melamunkan Rusli yang tak kunjung datang. Bias

  • Cinta yang hilang   Kemampuan Melukis Rusli

    "Aku tidak menyangka, paman bisa melukis," ucap Dimas kepada pamannya. Kini Rusli sedang melukis di rukonya, tempat Dimas biasa melukis. Rusli sebenarnya sudah tidak ingin melukis lagi, tapi kini dirinya harus menuruti permintaan Dimas yang memaksanya untuk melukis. "Ah, paman ya cuman bisa melukis, nggak jago," begitulah jawab Rusli merendah. Dimas pun hanya tersenyum karena memang Rusli bukanlah pelukis biasa. Bahkan lukisan yang Rusli buat saat ini pun benar-benar indah di mata Dimas. Sebuah lukisan yang menggambarkan suasana luar angkasa yang begitu menakjubkan dengan beebagai bintang yang tersebar di sana. "Oh iya, kemarin gadis itu tidak jadi datang ya?, Kapan dia mau kesini?" lagi lagi Rusli menanyakan tentang Mita kepada Dimas. Semenjak ketidakdatangan Mita di acara pameran itu, Rusli selalu menanyakan kapan Mita akan ke rukonya. Rusli seperti tak sabar ingin melihat bagaimana sosok gadis yang berani membayar mahal lukisan Dimas itu. "Eh, gak tau juga

  • Cinta yang hilang   Pameran

    "ini adalah karya paling berkesan bagi saya, lukisan wajah seseorang yang sangat saya cintai," terang Dimas kepada orang-orang yang melihat lukisannya. Kini Dimas dengan gagah memamerkan semua lukisannya. Tangannya menunjuk lukisan wajah Refita itu sebagai lukisan yang paling berkesan baginya. "Yang ini bagus ya kak," ucap salah seorang anak muda. Ia sepertinya sangat menyukai sebuah seni, khususnya seni rupa. Pengamatannya begitu detail, matanya berkeliaran menyusuri setiap aksen yang ada pada ruangan tersebut, hingga ia menemukan satu lukisan yang sangat hidup baginya. Lukisan tentang sebuah kelas yang diisi oleh banyak siswa yang sedang melakukan kegiatannya masing-masing. Itu adalah lukisan Dimas yang menggambarkan suasana kelasnya dulu. "Iya kak, itu adalah suasana kelas saya dulu, ketika saya masih SMA," begitu terang Dimas. Ia memang benar-benar melukisnya dengan nyata. Setiap wajah yang tergambar memiliki detail yang sangat bagus, dari lekuk tubuh, rambut hin

  • Cinta yang hilang   Harga yang Terlalu Mahal

    "Pagi Dim," sapa Rusli yang baru saja datang ke ruko tersebut. Tangannya menenteng sebuah kresek berisi nasi kotak. Seperti biasa Rusli selalu datang ke ruko itu setiap pagi dengan membawakan sarapan untuk Dimas. "Pagi paman," jawab Dimas tersenyum kepada Rusli. Dirinya tengah sibuk mengerjakan lukisan pesanan Mita yang akan diambil hari ini juga. Ternyata tidaklah mudah jika harus menggunakan background pantai yang sebelumnya memang tidak pernah dilakukan Dimas. "Ada pesanan?" tanya Rusli kepada Dimas sembari tangannya meletakkan nasi kotak tersebut ke meja yang berada di tepi ruangan ruko. "Iya paman," jawab Dimas singkat karena ia begitu fokus dengan lukisannya. Dia masih mengerjakan detail-detail lukisannya seperti batu karang ataupun manusia yang sedang bermain selancar. Apalagi dia juga harus dikejar waktu. "Eh, kamu nggak mau ikut pameran lukisan di graha?" lagi kata Rusli sembari ia menyodorkan sebuah selebaran kepada Dimas. "Apa

  • Cinta yang hilang   Gadis Cantik yang Menyebalkan

    "Halo, ini dengan Kakak Dimas?" sebuah suara yang keluar dari telepon Dimas setelah Dimas menjawab panggilan dari nomor tidak dikenal tersebut. Dimas yang semula melukis pun menghentikan kegiatan melukisnya dan meladeni telepon itu. "Iya, saya Dimas, ini dengan siapa ya?" Balas Dimas sopan dengan nada suara yang merendah. Bisa jadi itu adalah orang yang akan memesan jasa lukisannya. "Kakak dimana? Sudah tidak melukis lagi ya?" ucap orang dalam telepon itu yang sepertinya seorang gadis muda jika didengar dari suaranya. Gadis tersebut pun langsung menanyakan keberadaan Dimas tanpa sedikit basa basi. Bahkan pertanyaan tentang siapa dirinya tidak dihiraukannya. "Oh iya kak, saya sekarang masih tetap melukis kok, hanya saja sudah tidak di jalanan lagi, kalau kakak mau kesini, nanti saya kirim i alamat baru saya ya kak?" Begitulah ucap Dimas halus dengan menjelaskan kejadian sebenarnya. Dia pun tidak memikirkan siapa gadis dibalik suara itu. Nanti jika bertemu Dima

  • Cinta yang hilang   Ruko Baru

    "Selamat pagi paman," ucap Dimas yang baru saja datang di ruko milik Rusli tersebut. Dimas membawa ransel besar yang ia tanggalkan di punggungnya dan dua kardus besar yang berisi gulungan lukisan-lukisannya. Waktu itu Rusli sedang duduk di dalam ruko yang terlihat sangat kotor karena lama tidak dipakai. "Pagi Dimas, masuk sini Dim, tapi barang-barangmu kamu taruh diluar saja, rukonya belum dibersihkan soalnya," kata Rusli menjawab salam dari Dimas. Rusli pun menyuruh Dimas untuk menaruh barang-barangnya diluar ruko saja agar tidak terkena debu saat nanti rukonya dibersihkan. "Baik paman, rukonya biar saya saja yang membersihkannya paman," ucap Dimas setelah menaruh barang-barangnya dan langsung merebut sapu yang sedari tadi dipegang oleh Rusli. "Jangan seperti itu Dimas, kali ini kita membersihkannya bersama-sama, biar cepat selesai dan kamu cepat bekerja," begitulah ucap Rusli yang kini terlihat lebih bijak daripada Dimas. Kata-katanya sangat masuk akal mesk

  • Cinta yang hilang   Harapan Baru

    "Kamu sedang apa Dimas?" ucap Rusli yang menemui Dimas sedang duduk di bangku panjang di taman kota Bandung. Rusli menepuk pundak Dimas dari belakang dan Dimas pun menoleh ke arah belakang. "Eh paman, silahkan duduk paman," bukannya menjawab pertanyaan Ruslan, Dimas malah mempersilahkan Rusli untuk duduk disampingnya yakni di bangku panjang berwarna putih itu. "Kamu nggak kerja Dim?" tanya Ruslan yang heran melihat Dimas saat ini. Tak biasanya Dimas seperti ini, Dimas yang rajin bekerja kini malah hanya duduk diam di taman tanpa melakukan suatu pekerjaan apapun. Dimas tak membawa alat lukis apapun baik itu cat air, kuas maupun kanvas. "Nggak paman, saya mau cari tempat mangkal baru paman," ucap Dimas kepada Ruslan yang kini sudah duduk di sampingnya. Pandangan Dimas pun kosong seperti masih bingung dengan apa yang akan ia lakukan. Dimas sebenarnya ingin menyewa lapak saja agar tidak usah khawatir jika sewaktu-waktu ada razia. Tapi dirinya tidak punya cukup ua

  • Cinta yang hilang   Jatuh Tempo

    "Halo nak, apa kabar nak?" tanya Sonya, ibu Dimas di telepon. Kini Dimas sedang di kamar kosnya dan sudah dua hari Dimas masih belum mendapatkan tempat untuk ia kembali bekerja sebagai pelukis lagi. Uang yang Dimas miliki pin semakin menipis dan harus segera mendapatkan pesanan lukisan ke dirinya lagi. "Iya Bu, Dimas baik Bu," jawab Dimas berusaha memberikan kabar yang menenangkan ibunya. Dimas tidak ingin membuat ibunya khawatir akan keadaannya yang sebenarnya tidak baik-baik saja. Ini merupakan telepon keduanya setelah Dimas memtuskan hidup di Bandung. Sudah hampir dua bulan Dimas ada di Bandung dan ia pun berhasil bertahan hidup dengan gaya yang sederhana. "Gimana pekerjaanmu? Banyak yang pesan?" lagi, tanya Sonya. Ia ingin memastikan bahwa anak satu-satunya dalam keadaan yang baik-baik saja. Kini Sonya pun juga masih bekerja keras di rumah dan menyisihkan penghasilannya untuk ditabung. "Lancar Bu, meskipun yang pesan nggak terlalu banyak, tapi uangnya sud

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status