"Hai Refita," Dimas mencoba menghubungi Refita melalui pesan di W******p. Sudah dua Minggu ini mereka tidak saling chating. Ya, itu semua karena Dimas yang seenaknya menunjuk Refita menjadi sekretarisnya. Rencana ngerjain tugas bareng pun juga gagal karena Refita yang selalu bergegas pulang ketika jam pelajaran berakhir. Hubungan mereka mulai renggang, namun di kelas mereka masih tetap menjalankan tugasnya sebagai ketua dan sekretaris dengan baik.
Refita tak kunjung membalas, membacanya pun tidak. Sepertinya Dimas harus ngobrolin hal serius agar Refita mau menanggapi. Tapi sepertinya Dimas kehabisan ide. Ia pun lebih memilih meletakkan HP nya dan memulai untuk melukis di canvas yang sudah ia persiapkan di kamarnya.
"Hai pak ketua, kamu jadi bikin lukisan untuk pameran kelas?" sebuah pesan W******p yang sedikit mengagetkan Dimas. Ia mengira bahwa Refita membalas pesannya. Eh, ternyata pesan itu dari Roni, teman satu kelasnya yang akhir-akhir ini sering main ke rumah Dimas.
"Iya Ron, tapi ini masih mau aku kerjakan lukisannya," jawab Dimas membalas pesan W******p dari Roni. Sekolah Dimas memang akan melaksanakan event besar yakni kegiatan pameran. Kegiatan pameran ini akan diikuti semua kelas dari kelas X hingga kelas XII. Setiap kelas boleh memamerkan apa saja dari patung, lukisan, hingga design pakaian sekalipun.
Kebanyakan teman-teman Dimas memilih patung karena mudah dibuat, tinggal menuang adonan cor nya di cetakan, lalu jadilah patung. Namun Dimas lebih memilih lukisan karena ingin memberikan yang terbaik bagi kelasnya. Dimas ingin menyajikan sebuah karya indah yang memiliki makna dan memberikan kesan yang mendalam. Hanya saja, sekarang Dimas sedang buntu mau melukis apa.
"Wah, asik banget nih, aku boleh ke rumahmu nggak, mau lihat gimana kamu ngelukisnya," ujar Roni mencoba memohon untuk diperbolehkan ke rumah Dimas. Setiap Roni mulai W******p, ya pasti ujung-ujungnya minta ijin untuk pergi main ke rumah Dimas.
"Waduhh, sekarang jangan dulu dah Ron, di rumah lagi banyak orang, ibu sama temen-temennya lagi arisan," sanggah Dimas, ia mencoba ngeles supaya Roni nggak ke rumahnya. Pasalnya, Dimas ingin fokus melukis hari ini dan sedang tidak bisa diganggu oleh siapapun. Dimas juga kurang suka jika lukisannya dilihat-lihat saat masih dalam proses pembuatan. Bukan kurang suka sih, tapi malu. Jadi, jika Roni datang ke rumahnya, mungkin Dimas tidak jadi melukis hari itu.
"Walah, nggak papa ws Dim, nanti aku langsung masuk kamarmu saja, mereka kan di ruang tamu dim," paksa Roni dalam W******p. Entah mengapa Roni jadi lengket banget sama Dimas. Roni kayak nggak bisa satu hari saja nggak ke rumahnya Dimas. Satu hari nggak ke rumah Dimas, bagaikan kulitnya di serang kutu dan jamur, gatel.
"Duh, aku mau ngelukis Ron, aku kalo ngelukis gk bisa klo ditemenin, maunya sendiri, biar bisa fokus dan hasilnya nanti maksimal, nanti kalo udah selesai lukisannya aku kabari deh," jawab Dimas yang akhirnya jujur kepada Roni.
"Oalah, iya dah, nggak papa, semangat ngelukisnya ya Dim, aku ini juga lagi mau nyusun stik eskrimku," jawab Roni yang akhirnya melegakan Dimas. Dimas pun menaruh HP nya dengan perasaan lega dan mulai untuk melukis.
Dimas masih bingung dengan apa yang dilukisnya. Tangannya kanannya sudah memegang kuas, dan tangan kirinya sudah memegang cat air. Namun Dimas tak kunjung mendapatkan ide. Ia pun mulai melihat canvas di depannya dan tiba-tiba terbersit lah sebuah ide. Ia membayangkan bagaimana jika canvas ukuran A3 itu dihiasi oleh senyuman wajah Refita yang manis.
Dimas mulai mengingat bagaimana manisnya Refita saat ia pertama kali tersenyum kepadanya. Dimas mulai mengangkat kuasnya dan melukiskannya pada canvas di depannya. Kuasnya nampak menari-nari dengan anggun, setiap coretan di canvasnya terlihat semakin indah dan semakin jelas bentuk yang akan dibuatnya.
Memang melukis itu tidak mudah, Dimas membutuhkan banyak waktu untuk menyelesaikan lukisannya. Namun kini, ia telah menyelesaikan sketsa wajah Refita lengkap oleh senyum manisnya dengan dekik pipi yang menjadi ciri khasnya. Dimas butuh istirahat setelah seharian melukis dan akan melanjutkan lukisannya itu esok hari.
Masih banyak aksen yang perlu ditambahkan pada lukisannya sehingga lukisannya akan nampak semakin indah. Namun, Dimas sudah nampak puas dengan kerja kerasnya hari ini. Akhirnya ia berhasil memulai lukisannya dengan ide yang cukup brilian. Mungkin nanti Refita juga akan senang dengan lukisan yang dibuat Dimas dan hubungan mereka pun menjadi baik kembali.
"Ha, semoga nanti Refita bisa senang dengan lukisan yang aku buat," kata Dimas dalam hatinya sembari membaringkan badan ke tempat tidur dengan kedua tangannya menyanggah kepalanya. Dimas begitu senang hari ini, dirinya dibuat senyum-senyum sendiri oleh imajinasi liarnya. Dirinya terus membayangkan bagaimana jika nanti ia berhasil membuat lukisan yang indah, dan Refita melihat itu.
"Ah, lalu bagaimana jika tebakanku salah?" Dimas terbangun dari tempat tidurnya. Dia tiba-tiba panik sendiri seperti takut akan terjadi sesuatu yang buruk padanya. Dimas memikirkan bagaimana kejadian pemilihan sekretaris itu berulang lagi.
Waktu itu, Dimas berpikir bahwa keputusannya menjadikan Refita sebagai ketua kelas akan disambut baik dengan Refita. Eh malah sebaliknya, Refita marah sejadi-jadinya kepada Dimas. Hal itu juga takut terulang kembali pada acara pameran nanti. Dimas takut jika ia memperlihatkan lukisan Refita nan manis itu, ia malah mendapatkan reaksi yang kurang mengenakkan dari Refita.
"Ah, sudahlah, setidaknya lukisan ini bisa aku konsumsi sendiri jika nanti tidak aku pamerkan," Dimas pun akhirnya melupakan pikiran buruknya itu. Dimas berpikir untuk terus melanjutkan lukisannya itu entah nanti jadi dipamerkan atau tidak. Jika tidak jadi ia pamerkan karena takut mendapatkan tanggapan negatif dari Refita, setidaknya lukisan itu bisa ia tempel di dinding kamarnya dan dapat terus ia pandangi sepanjang waktu.
Dimas pun membaringkan tubuhnya kembali dan memejamkan matanya, ia mencoba untuk tidur sejenak mengistirahatkan tubuh dan otaknya itu.
"Kring.. kring.. ," suara bel rumah sontak mengagetkan Dimas yang sedang tertidur. Dia melihat jam di Hp-nya.
"Waduhh, kok tiba-tiba udah jam segini sih," kata Dimas sambil melihat jam di Hp-nya yang menunjukkan jam setengah tujuh malam. Tau sendirilah, jam segitu ibunya baru pulang dari pasar. Dan kini tubuhnya belum mandi, jadi siap-siaplah Dimas untuk mendapatkan amarah dari ibunya.
Dimas langsung ke kamar mandi, mencuci mukanya dan membasahi rambutnya. Dimas berusaha untuk terlihat segar sehingga ibunya mengira bahwa ia sudah mandi. Selanjutnya ia bergegas membukakan pintu setelah mengelap mukanya dengan handuk.
"Malem Bu, maaf lama, barusan ketiduran Bu," sapa Dimas dengan memohon maaf karena lama membukakan pintu.
"Iya gak papa, mandi gih, lihat tanganmu penuh dengan cat," Jawab sonya yang selanjutnya menyuruh Dimas untuk mandi. Dimas pun sedikit merasa aneh. Ibunya kini menjadi sedikit lembut, kata-katanya halus, dan tidak ada tamparan saat ibunya melihat Dimas belum kunjung mandi. Ibunya malah tersenyum, sepertinya sang ibu bangga ketika melihat tangan Dimas dipenuhi dengan cat air. Sonya berpikir bahwa Dimas sedang berjuang keras untuk melukis hari ini. Dimas pun mandi dengan perasaan bahagia. Sekarang, selain terbayang oleh senyum manis Refita yang terlukis di canvasnya, ia juga terbayang oleh senyum bangga ibunya.
"Pagi kak," ucap Mita kepada Dimas saat baru datang di ruko Dimas. Mita melambaikan tangannya tanda sapaannya kepada Dimas dengan wajah tersenyum ramah. Kini Mita sudah bukanlah gadis cuek dengan muka datar yang selama ini Dimas kenal. Mita sudah menjadi gadis ceria dengan muka yang ekspresif. Entah apa yang sudah terjadi dengan Mita, tapi Dimas tetap mencoba bersikap biasa saja. "Pagi Mita, sini, duduk," Dimas pun menjawab salam Mita dengan ramah. Ia memberikan sebuah kursi supaya Mita dapat duduk disitu. "Paman yang kemarin belum kesini?" tanya Mita. Ia kembali menanyakan Rusli yang memang sampai sekarang belum juga datang. Kini Mita pun jauh lebih asik untuk mengobrol dengan sedikit berbasa-basi. "Belum Mit, sudah tiga hari ini paman nggak kesini," jawab Dimas. Raut mukanya pun sedih dan kepalanya tertunduk lesu. Sepertinya Dimas sudah merasa rindu kepada Rusli dan ingin segera bertemu dengan Rusli. Sikap Mita yang tidak cuek lagi itu pun membuat Dimas mau
"Siang," sapa Mita kepada Dimas yang sedang melamun. Mita melambaikan tangannya tepat di hadapan Dimas yang pandangannya sangat kosong. Mita pun memberikan sedikit senyuman manis kepada Dimas. "Eh, siang, mau ambil lukisan ya?" ucap Dimas kaget. Ia pun terbangun dari lamunan panjangnya. Dimas pun sedikit kaget dengan Mita yang tak biasanya memberikan senyum tepat di depannya. "Iya," jawab Mita singkat. Dimas pun segera mengambil lukisan milik Mita yang sudah dibungkus dengan bingkisan yang menarik. Ide membungkus lukisan pesanan ini merupakan ide dari Rusli agar pelayanan Dimas terlihat lebih menarik. "Paman pelukis yang kemarin mana ya?" tanya Mita kepada Dimas. Dimas kali ini benar-benar heran kepada Mita. Tumben sekali Mita mau berbasa-basi menanyakan hal yang berada diluar tujuan utamanya, yaitu mengambil lukisan. "Eh, sudah dua hari paman Rusli tidak kesini," jawab Dimas. Sebenarnya sedari tadi Dimas melamunkan Rusli yang tak kunjung datang. Bias
"Aku tidak menyangka, paman bisa melukis," ucap Dimas kepada pamannya. Kini Rusli sedang melukis di rukonya, tempat Dimas biasa melukis. Rusli sebenarnya sudah tidak ingin melukis lagi, tapi kini dirinya harus menuruti permintaan Dimas yang memaksanya untuk melukis. "Ah, paman ya cuman bisa melukis, nggak jago," begitulah jawab Rusli merendah. Dimas pun hanya tersenyum karena memang Rusli bukanlah pelukis biasa. Bahkan lukisan yang Rusli buat saat ini pun benar-benar indah di mata Dimas. Sebuah lukisan yang menggambarkan suasana luar angkasa yang begitu menakjubkan dengan beebagai bintang yang tersebar di sana. "Oh iya, kemarin gadis itu tidak jadi datang ya?, Kapan dia mau kesini?" lagi lagi Rusli menanyakan tentang Mita kepada Dimas. Semenjak ketidakdatangan Mita di acara pameran itu, Rusli selalu menanyakan kapan Mita akan ke rukonya. Rusli seperti tak sabar ingin melihat bagaimana sosok gadis yang berani membayar mahal lukisan Dimas itu. "Eh, gak tau juga
"ini adalah karya paling berkesan bagi saya, lukisan wajah seseorang yang sangat saya cintai," terang Dimas kepada orang-orang yang melihat lukisannya. Kini Dimas dengan gagah memamerkan semua lukisannya. Tangannya menunjuk lukisan wajah Refita itu sebagai lukisan yang paling berkesan baginya. "Yang ini bagus ya kak," ucap salah seorang anak muda. Ia sepertinya sangat menyukai sebuah seni, khususnya seni rupa. Pengamatannya begitu detail, matanya berkeliaran menyusuri setiap aksen yang ada pada ruangan tersebut, hingga ia menemukan satu lukisan yang sangat hidup baginya. Lukisan tentang sebuah kelas yang diisi oleh banyak siswa yang sedang melakukan kegiatannya masing-masing. Itu adalah lukisan Dimas yang menggambarkan suasana kelasnya dulu. "Iya kak, itu adalah suasana kelas saya dulu, ketika saya masih SMA," begitu terang Dimas. Ia memang benar-benar melukisnya dengan nyata. Setiap wajah yang tergambar memiliki detail yang sangat bagus, dari lekuk tubuh, rambut hin
"Pagi Dim," sapa Rusli yang baru saja datang ke ruko tersebut. Tangannya menenteng sebuah kresek berisi nasi kotak. Seperti biasa Rusli selalu datang ke ruko itu setiap pagi dengan membawakan sarapan untuk Dimas. "Pagi paman," jawab Dimas tersenyum kepada Rusli. Dirinya tengah sibuk mengerjakan lukisan pesanan Mita yang akan diambil hari ini juga. Ternyata tidaklah mudah jika harus menggunakan background pantai yang sebelumnya memang tidak pernah dilakukan Dimas. "Ada pesanan?" tanya Rusli kepada Dimas sembari tangannya meletakkan nasi kotak tersebut ke meja yang berada di tepi ruangan ruko. "Iya paman," jawab Dimas singkat karena ia begitu fokus dengan lukisannya. Dia masih mengerjakan detail-detail lukisannya seperti batu karang ataupun manusia yang sedang bermain selancar. Apalagi dia juga harus dikejar waktu. "Eh, kamu nggak mau ikut pameran lukisan di graha?" lagi kata Rusli sembari ia menyodorkan sebuah selebaran kepada Dimas. "Apa
"Halo, ini dengan Kakak Dimas?" sebuah suara yang keluar dari telepon Dimas setelah Dimas menjawab panggilan dari nomor tidak dikenal tersebut. Dimas yang semula melukis pun menghentikan kegiatan melukisnya dan meladeni telepon itu. "Iya, saya Dimas, ini dengan siapa ya?" Balas Dimas sopan dengan nada suara yang merendah. Bisa jadi itu adalah orang yang akan memesan jasa lukisannya. "Kakak dimana? Sudah tidak melukis lagi ya?" ucap orang dalam telepon itu yang sepertinya seorang gadis muda jika didengar dari suaranya. Gadis tersebut pun langsung menanyakan keberadaan Dimas tanpa sedikit basa basi. Bahkan pertanyaan tentang siapa dirinya tidak dihiraukannya. "Oh iya kak, saya sekarang masih tetap melukis kok, hanya saja sudah tidak di jalanan lagi, kalau kakak mau kesini, nanti saya kirim i alamat baru saya ya kak?" Begitulah ucap Dimas halus dengan menjelaskan kejadian sebenarnya. Dia pun tidak memikirkan siapa gadis dibalik suara itu. Nanti jika bertemu Dima
"Selamat pagi paman," ucap Dimas yang baru saja datang di ruko milik Rusli tersebut. Dimas membawa ransel besar yang ia tanggalkan di punggungnya dan dua kardus besar yang berisi gulungan lukisan-lukisannya. Waktu itu Rusli sedang duduk di dalam ruko yang terlihat sangat kotor karena lama tidak dipakai. "Pagi Dimas, masuk sini Dim, tapi barang-barangmu kamu taruh diluar saja, rukonya belum dibersihkan soalnya," kata Rusli menjawab salam dari Dimas. Rusli pun menyuruh Dimas untuk menaruh barang-barangnya diluar ruko saja agar tidak terkena debu saat nanti rukonya dibersihkan. "Baik paman, rukonya biar saya saja yang membersihkannya paman," ucap Dimas setelah menaruh barang-barangnya dan langsung merebut sapu yang sedari tadi dipegang oleh Rusli. "Jangan seperti itu Dimas, kali ini kita membersihkannya bersama-sama, biar cepat selesai dan kamu cepat bekerja," begitulah ucap Rusli yang kini terlihat lebih bijak daripada Dimas. Kata-katanya sangat masuk akal mesk
"Kamu sedang apa Dimas?" ucap Rusli yang menemui Dimas sedang duduk di bangku panjang di taman kota Bandung. Rusli menepuk pundak Dimas dari belakang dan Dimas pun menoleh ke arah belakang. "Eh paman, silahkan duduk paman," bukannya menjawab pertanyaan Ruslan, Dimas malah mempersilahkan Rusli untuk duduk disampingnya yakni di bangku panjang berwarna putih itu. "Kamu nggak kerja Dim?" tanya Ruslan yang heran melihat Dimas saat ini. Tak biasanya Dimas seperti ini, Dimas yang rajin bekerja kini malah hanya duduk diam di taman tanpa melakukan suatu pekerjaan apapun. Dimas tak membawa alat lukis apapun baik itu cat air, kuas maupun kanvas. "Nggak paman, saya mau cari tempat mangkal baru paman," ucap Dimas kepada Ruslan yang kini sudah duduk di sampingnya. Pandangan Dimas pun kosong seperti masih bingung dengan apa yang akan ia lakukan. Dimas sebenarnya ingin menyewa lapak saja agar tidak usah khawatir jika sewaktu-waktu ada razia. Tapi dirinya tidak punya cukup ua
"Halo nak, apa kabar nak?" tanya Sonya, ibu Dimas di telepon. Kini Dimas sedang di kamar kosnya dan sudah dua hari Dimas masih belum mendapatkan tempat untuk ia kembali bekerja sebagai pelukis lagi. Uang yang Dimas miliki pin semakin menipis dan harus segera mendapatkan pesanan lukisan ke dirinya lagi. "Iya Bu, Dimas baik Bu," jawab Dimas berusaha memberikan kabar yang menenangkan ibunya. Dimas tidak ingin membuat ibunya khawatir akan keadaannya yang sebenarnya tidak baik-baik saja. Ini merupakan telepon keduanya setelah Dimas memtuskan hidup di Bandung. Sudah hampir dua bulan Dimas ada di Bandung dan ia pun berhasil bertahan hidup dengan gaya yang sederhana. "Gimana pekerjaanmu? Banyak yang pesan?" lagi, tanya Sonya. Ia ingin memastikan bahwa anak satu-satunya dalam keadaan yang baik-baik saja. Kini Sonya pun juga masih bekerja keras di rumah dan menyisihkan penghasilannya untuk ditabung. "Lancar Bu, meskipun yang pesan nggak terlalu banyak, tapi uangnya sud