Pagi itu matahari bersinar cerah. Langit biru membentang tanpa awan, seolah menjadi pertanda baik untuk hari yang baru.
Alina melangkah keluar dari mobil ayahnya dengan semangat membuncah. Ia memilih turun beberapa meter sebelum gerbang sekolah seperti biasa, tak ingin menarik perhatian. Namun langkahnya kali ini lebih ringan, lebih cepat. Ia bahkan bersenandung pelan dalam hati. Hari ini hari pengumuman nilai ulangan matematika. Mata pelajaran yang paling ditakuti sebagian besar siswa mayoritas, tapi justru salah satu favorit Alina. Di Dalam Kelas “Alina Intan Putri, 98. Nilai tertinggi di kelas,” ucap Pak Rulu, guru matematika mereka, sembari menuliskan hasil ulangan di papan tulis. Alina membeku sejenak. Ia hampir tak percaya mendengar namanya disebut. Seruni yang duduk di sampingnya langsung menepuk pelan bahunya. “Gila! Kamu jenius ya ternyata!” bisik Seruni dengan suara kagum. Alina tersenyum malu. “Ah, nggak juga… cuma kebetulan soalnya nyambung sama materi yang aku suka.” “Humble banget sih,” Seruni mendesah. “Tapi sumpah, kamu bikin aku semangat belajar. Nanti ngajarin aku ya?” “Boleh banget.” Ucap Alina sambil tersenyum. Dari barisan bangku sebelah kanan, sepasang mata mengamati dengan tatapan berbeda. Reva, si pemilik geng yang selalu tampil sempurna dengan seragam rapi, rok sedikit lebih pendek dari standar, dan make up tipis di wajahnya, tampak sedang mengunyah permen karet sambil memperhatikan Alina dari ujung mata. “Baru juga pindahan, udah sok jenius,” gumamnya lirih. Tiga temannya yang duduk tak jauh darinya, Vani, Della, dan Mitha, saling bertukar pandang. Mereka tahu benar, kalau Reva mulai menunjukkan gelagat "tidak suka", maka biasanya akan ada ‘drama’ dalam waktu dekat. Waktu Istirahat – Kantin Sekolah Langit mulai mengeruh, angin bertiup lembut seolah ikut mengiringi langkah-langkah para siswa menuju kantin. Alina dan Seruni berjalan sambil bercakap ringan. “Kamu mau makan apa, Lin?” Tanya Seruni. “Aku pengin nasi goreng sih. Tapi kayaknya antri banget ya.” Jawab Alina. “Ayo cari tempat duduk dulu aja. Nanti aku aja yang antriin,” kata Seruni sigap. “Seruni, kamu baik banget,” ucap Alina sambil menepuk pelan lengan temannya itu. Mereka mendapat tempat duduk di pojok kantin, cukup strategis untuk mengamati seluruh ruangan tanpa terlalu terlihat. Dan di sanalah ia melihatnya. Kevin. Duduk dengan tenang di meja ujung, mengenakan jaket sekolah yang disampirkan sembarangan di kursi. Rambutnya sedikit berantakan, tampaknya ia habis latihan ringan sebelum istirahat. Tangannya memainkan botol air mineral, sementara pandangannya lurus ke depan. Jantung Alina berdebar keras. Tanpa sadar, senyum kecil muncul di wajahnya. Ia tak bisa menjelaskan perasaan itu, tapi melihat Kevin (meskipun dari kejauhan) selalu menimbulkan desir hangat di dadanya. “Woi,” Seruni kembali dengan nampan berisi dua piring nasi goreng. “Ngapain senyum-senyum sendiri?” Tanya nya. Alina langsung tersadar dan mengambil salah satu piring. “Nggak… nggak apa-apa kok.” “Kamu liat Kevin lagi ya?” goda Seruni. Alina tertawa kecil, “Ketahuan ya hihi...” “Lin, kamu tuh bener-bener kayak di film-film. Suka diem-diem, ngintip-ngintip. Tapi ekspresinya jujur banget.” Ucap Seruni. “Ya gimana ya… aku juga bingung. Rasanya aneh. Tapi enak,” Alina menggigit sendoknya. Namun senyum itu tak bertahan lama. Dari arah pintu kantin, muncul Reva dengan langkah anggun tapi percaya diri. Ia melangkah menuju meja Kevin tanpa ragu, seperti mengklaim wilayah yang sudah menjadi miliknya. Ia duduk di seberang Kevin. “Hey, kamu belum makan?” tanya Reva sambil menyibakkan rambut panjangnya. Kevin menoleh sebentar, lalu kembali memandangi botolnya. “Nggak, belum lapar.” “Latihan besok masih lanjut, kan? Jangan lupa kamu janji ngajarin aku teknik lay up yang kemarin,” ujar Reva dengan suara manja. Kevin hanya mengangguk kecil. Tidak banyak bicara, tapi Reva tampak tetap nyaman berada di sana. Alina terdiam. Tangannya menggenggam sendok, tapi tak lagi semangat menyuap makanan ke mulutnya. Seruni melihat perubahan di wajah sahabatnya itu. “Hey, kamu oke?” Alina menarik napas. “Aku… aku nggak ngerti. Tapi rasanya nggak enak aja lihat mereka duduk bareng.” Seruni mencondongkan tubuhnya. “Kamu cemburu ya?...” “Bukan… aku nggak berhak cemburu. Dia bukan siapa-siapa aku kok ehh...” “Perasaan nggak perlu izin buat muncul, Lin.” Ucap Seruni semakin menyudutkan nya. Alina menatap kembali ke arah Kevin. Tatapannya tak berubah, begitu dingin. Namun ada ketenangan yang aneh dalam ketidaktertarikan Kevin terhadap Reva. Itu satu-satunya hal yang menenangkan Alina sore itu. Setelah Pulang Sekolah – Di Kamar Alina duduk di meja belajarnya, membuka buku latihan matematika. Namun isi kepalanya bukan tentang angka. Ia membuka jurnal kecilnya, lalu menulis: Hari ini aku tahu satu hal baru. Cinta bisa datang diam-diam… tapi cemburu bisa lebih dulu bicara. Mungkin aku belum siap, tapi hatiku sudah berani melangkah lebih jauh dari logikaku. Ia menutup buku, menatap langit sore dari jendela kamarnya. Di luar sana, awan mulai berwarna oranye. Matahari perlahan tenggelam. Dan Alina sadar… cerita barunya di sekolah ini baru saja dimulai.Pagi itu, langit Jakarta tampak mendung. Alina berjalan menuju sekolah dengan semangat yang masih tersisa dari momen kemarin, saat Kevin untuk pertama kalinya menemaninya masuk gerbang sekolah. Jantungnya masih bisa merasakan degup bahagia, pipinya sempat memerah kembali kala mengingat cara Kevin menatapnya. Namun pagi itu semua terasa berbeda. Begitu memasuki halaman sekolah, pandangan Kevin yang biasanya hangat kini seakan mengiris tajam. Tatapan itu bukan tatapan yang sama seperti kemarin. Tidak ada lagi senyum tipis yang selama ini diam-diam membuat Alina terpaku. Tak ada anggukan kecil, tak ada sapaan ringan. Kevin berlalu begitu saja dengan acuh dan dingin. Seolah mereka tak pernah saling mengenal sebelum nya. Alina menghentikan langkah. Sejenak ia berpikir, apa yang sedang terjadi? Seruni sudah menunggunya di depan kelas. "Pagi, Lin!" seru Seruni ceria. Tapi raut wajahnya segera berubah saat melihat ekspresi Alina yang kebingungan. "Hey, kamu kenapa? Mukamu kayak abis li
Pagi itu suasana sekolah terasa berbeda. Bisik-bisik mulai terdengar di sepanjang koridor. “Eh, itu yang namanya Alina, kan?” “Iya, yang katanya ngerebut Kevin dari Reva…” “Muka sih polos, tapi kelakuan ternyata manuver ya?” Alina berjalan perlahan di antara kerumunan. Kepalanya tertunduk. Di dalam dadanya, ada rasa asing yang mengganjal: malu, bingung, dan marah dalam hati. Seruni menghampiri dan menarik tangannya masuk ke kelas. “Kamu oke, Lin? kenapa mereka tahu dan menggunjing mu?” “Enggak tahu, Aku bahkan nggak tahu aku salah apa.” “Gosip itu nyebar dari tadi pagi. Katanya kamu suka pamer-pamer kedekatan sama Kevin. Katanya kamu ‘bermuka dua’.” Alina menggeleng cepat. “Aku nggak pernah cerita ke siapa pun. Bahkan ke kamu aja soal perasaanku ke Kevin…” Seruni mengepalkan tangan. “Berarti ini pasti dari Reva!” Siang Hari – Komunitas Perpustakaan Sesi membaca sore hari biasanya menjadi pelarian terbaik Alina. Tapi kali ini, suasana di dalam ruang baca terasa canggung. Ta
Pagi itu, sekolah seperti biasa ramai. Koridor dipenuhi siswa berlalu-lalang, suara tawa bersahutan, dan aroma dari kantin mulai menyeruak di udara. Namun bagi Alina, hari ini terasa berbeda. Bukan karena ulangan Bahasa Inggris yang katanya bakal susah, atau tugas sejarah yang menumpuk, tapi karena hatinya masih menggantung pada percakapan singkat kemarin dengan Kevin. “Ternyata kamu lebih dari yang terlihat.” Kalimat itu terus terngiang. Bahkan saat ia sedang mengisi air di botol minum sekolahnya, pipinya kembali merona saat teringat bagaimana Kevin menatapnya. “Alin, kamu tuh kenapa sih? Senyum-senyum sendiri dari tadi,” Seruni menyikut pelan. Alina hanya menggeleng, canggung. “Nggak apa-apa Run, cuma lagi ingat sesuatu aja.” “Kemarin kamu bareng Kevin. Hari ini senyum terus. Aku mulai yakin kamu nggak cuma suka baca, tapi juga suka berimajinasi,” Seruni tertawa geli. Alina ikut tertawa. “Iya deh, iya. Tapi serius, dia ternyata nggak se-cuek yang aku kira. Ada sisi dia yang l
Langit malam di Jakarta begitu tenang. Di kamar yang rapi dan penuh dengan rak buku, Alina duduk bersila di tempat tidur dengan lampu belajar menyala temaram. Ponselnya berada dalam genggaman, awalnya ia hanya berniat membuka Instagram untuk mencari akun komunitas pecinta buku yang sempat direkomendasikan oleh kakak kelas tadi siang.Namun, entah bagaimana, jari-jarinya malah mengetik:kevinDan…Boom!Akun itu benar-benar ada.Profilnya sederhana.Foto profil Kevin adalah dirinya yang sedang duduk di pinggir lapangan basket, mengenakan jersey putih dengan logo sekolah. Tak banyak yang ia unggah (mungkin hanya sekitar 15 foto) tapi semuanya seolah menyimpan pesona tersendiri bagi Alina.Ia menggulir pelan.Foto saat Kevin mengangkat piala bersama tim basket.Foto candid Kevin sedang tertawa di lapangan.Foto close-up hitam putih yang entah siapa yang ambil, namun jelas memamerkan rahangnya yang tegas dan mata tajamnya yang seolah bisa melihat isi hati.Tanpa sadar…Like.Like.Like."
Pagi itu matahari bersinar cerah. Langit biru membentang tanpa awan, seolah menjadi pertanda baik untuk hari yang baru. Alina melangkah keluar dari mobil ayahnya dengan semangat membuncah. Ia memilih turun beberapa meter sebelum gerbang sekolah seperti biasa, tak ingin menarik perhatian. Namun langkahnya kali ini lebih ringan, lebih cepat. Ia bahkan bersenandung pelan dalam hati. Hari ini hari pengumuman nilai ulangan matematika. Mata pelajaran yang paling ditakuti sebagian besar siswa mayoritas, tapi justru salah satu favorit Alina. Di Dalam Kelas “Alina Intan Putri, 98. Nilai tertinggi di kelas,” ucap Pak Rulu, guru matematika mereka, sembari menuliskan hasil ulangan di papan tulis. Alina membeku sejenak. Ia hampir tak percaya mendengar namanya disebut. Seruni yang duduk di sampingnya langsung menepuk pelan bahunya. “Gila! Kamu jenius ya ternyata!” bisik Seruni dengan suara kagum. Alina tersenyum malu. “Ah, nggak juga… cuma kebetulan soalnya nyambung sama materi yang aku suka
Hari itu, langit Jakarta tampak biasa saja. Tapi bagi Alina, hari itu terasa seperti lembar baru. Setelah percakapan singkat di kantin bersama Kevin, pikirannya tidak berhenti memutar ulang tiap detik momen itu. Senyum Kevin sang kapten basket. Tatapan dan cara dia bilang: Kalau ada yang ganggu kamu, bilang aja… Seruni sampai geleng-geleng melihat sahabat barunya yang terus melamun di kelas. “Lin, kamu senyum-senyum sendiri kayak orang jatuh cinta sama karakter anime.” Alina hanya menatap Seruni dengan ekspresi dreamy. “Gimana ya, Seruni dia tuh sangat berbeda.” Seruni bersedekap. “Ya iyalah beda. Dia Kevin, bukan guru matematika kita yang ngasih PR kayak neraka.” Alina tertawa. Tapi di balik tawa itu, muncul ide nekat di kepalanya. Sebuah cara untuk mengenal Kevin lebih dekat, tanpa terkesan terlalu mengejar. Sore Hari, Ruang OSIS dan Papan Ekstrakurikuler Setelah jam pelajaran selesai, Alina dan Seruni sengaja mampir ke papan pengumuman ekskul yang terletak di lorong m