แชร์

18

ผู้เขียน: Pipipiii
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-05-14 20:00:43

Langkah Anya terdengar cepat saat ia mulai berjalan lebih dulu, meninggalkan Rio yang masih terdiam di tengah jalan setapak. Udara sejuk sore hari tak lagi menenangkan, justru terasa semakin membuat suasana menjadi janggal. Anya menunduk, wajahnya masih memerah, pikiran kalut bercampur antara malu, bingung, dan... sesuatu yang tak ingin ia akui.

"Anya, tunggu," Rio mengejarnya, tapi tidak dengan tergesa. Nada suaranya lebih tenang, lebih hati-hati.

Anya menoleh sebentar, lalu kembali melangkah. "Kita... kita pulang saja. Sudah cukup jalan-jalannya."

Rio mengangguk pelan, menyesuaikan langkahnya di samping Anya. Mereka berjalan dalam diam, hanya suara daun-daun yang tertiup angin menemani langkah mereka. Beberapa kali Rio melirik ke arah Anya, namun ia tak menemukan celah untuk bicara. Ia tahu, kalau dipaksa, semuanya akan lebih buruk.

Namun sesampainya di lobi apartemen, langkah Rio terhenti. Dari kejauhan, ia melihat dua sosok berdiri menunggu. Kevin, de

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทล่าสุด

  • Dari Hutang Jadi Cinta   21

    Pagi itu, udara di rumah tua itu terasa lebih pengap dari biasanya. Anya duduk di ruang tamu dengan wajah lelah, memegang ponselnya. Ia menunggu Rio mengangkat telepon yang sudah ia hubungi beberapa kali.“Anya?” suara Rio akhirnya terdengar dari seberang, lembut tapi penuh perhatian.“Aku... aku ingin bicara tentang tempat tinggal. Aku nggak tahan di sini lagi, Rio. Aku dan Ibu harus pindah, jauh dari Darman.”Rio terdiam sesaat. “Kamu serius, Nya? Kenapa? Apa ada masalah?”Dengan nada lelah, Anya berkata di telepon, “Darman masih mau manfaatin keadaan Ibu supaya kamu terus yang urus. Aku nggak mau Ibu cuma jadi alat buat dia dapat keuntungan, Rio.”Rio mengerti kekhawatiran Anya. “Aku bisa siapkan apartemen dekat rumah sakit. Aku akan atur semuanya. Kamu dan Ibu bisa tinggal di sana dengan perawat.”“Aku takut kalau aku bilang gitu, Darman akan marah. Dia bisa paksa aku untu

  • Dari Hutang Jadi Cinta   20

    Langit sore tampak mendung saat mobil hitam berhenti di depan rumah tua bercat pudar itu. Anya membuka pintu mobil perlahan, menatap bangunan yang tak pernah benar-benar ia rindukan. Aroma tanah basah dan kenangan pahit menyambutnya.Tanpa menunggu lama, Kevin turun dan membuka pintu mobil untuknya. “Silahkan, Nona,” katanya sopan. “Saya menunggu di luar. Anda bisa menghubungi Tuan Rio kapan saja kalau butuh sesuatu.”Anya hanya mengangguk, lalu menarik napas dalam sebelum melangkah ke dalam rumah. Begitu masuk, sosok Darman sudah menunggunya di ruang tamu. Senyumnya lebar, seperti seseorang yang baru saja memenangkan sesuatu.“Selamat datang kembali,” katanya penuh semangat. “Akhirnya kamu pulang juga.”Anya hanya menatapnya datar. “Aku di sini untuk Ibu. Bukan untukmu.”Tapi Darman tertawa kecil. “Tentu, tentu. Tapi apa pun alasannya, kamu tetap pulang. Dan itu sudah cukup.”

  • Dari Hutang Jadi Cinta   19

    Mobil berhenti perlahan di halaman rumah sakit. Lampu-lampu neon memantul di kaca depan, menyorot wajah-wajah yang masih dibekap hening. Kevin segera turun dan membuka pintu belakang. Rio turun lebih dulu, lalu membantu Anya yang masih tampak linglung oleh isi kepalanya yang penuh.Darman turun terakhir. Ia menyesuaikan jaket lusuhnya, lalu menatap Anya dan Rio. “Ruangan Ibu kamu di lantai empat. Aku sudah koordinasi sama perawatnya. Mereka tahu kita akan datang.”Anya mengangguk pelan. Rio hanya melirik sekilas, lalu menggandeng tangan Anya ke arah pintu masuk. Mereka bertiga melangkah menuju lift, dan di sanalah Darman kembali membuka suara.“Dengar, Tuan Rio,” katanya, dengan nada yang lebih sopan namun tetap mengandung tekanan tersembunyi. “Saya tahu posisi saya tidak tepat untuk bernegosiasi dengan Anda. Tapi... saya cuma ingin Anya ada di sisi ibunya. Tidak lama, kok. Mungkin dalam beberapa minggu ke depan, sampai kondisinya s

  • Dari Hutang Jadi Cinta   18

    Langkah Anya terdengar cepat saat ia mulai berjalan lebih dulu, meninggalkan Rio yang masih terdiam di tengah jalan setapak. Udara sejuk sore hari tak lagi menenangkan, justru terasa semakin membuat suasana menjadi janggal. Anya menunduk, wajahnya masih memerah, pikiran kalut bercampur antara malu, bingung, dan... sesuatu yang tak ingin ia akui."Anya, tunggu," Rio mengejarnya, tapi tidak dengan tergesa. Nada suaranya lebih tenang, lebih hati-hati.Anya menoleh sebentar, lalu kembali melangkah. "Kita... kita pulang saja. Sudah cukup jalan-jalannya."Rio mengangguk pelan, menyesuaikan langkahnya di samping Anya. Mereka berjalan dalam diam, hanya suara daun-daun yang tertiup angin menemani langkah mereka. Beberapa kali Rio melirik ke arah Anya, namun ia tak menemukan celah untuk bicara. Ia tahu, kalau dipaksa, semuanya akan lebih buruk.Namun sesampainya di lobi apartemen, langkah Rio terhenti. Dari kejauhan, ia melihat dua sosok berdiri menunggu. Kevin, de

  • Dari Hutang Jadi Cinta   17

    Pagi itu, Anya duduk di meja makan, melirik Rio yang sedang sibuk dengan ponselnya. Tangannya masih memegang secangkir teh, tapi pikirannya jauh. Sejak pertemuan dengan Darman dan Sari, ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya, meskipun Rio seolah tak peduli dengan pembicaraan itu.“Rio,” panggil Anya pelan, suara serak.Rio menoleh sejenak, matanya sedikit terangkat. “Ada apa?”“…Bolehkah saya berjalan-jalan sebentar?” tanya Anya, menggigit bibir bawahnya. “Saya hanya ingin keluar, tidak ada maksud lain, hanya untuk mendapatkan udara segar.”Rio melirik jam tangannya sejenak, lalu menatap Anya. “Baik, tapi aku ikut. Aku perlu memastikan kamu nggak pergi kemana-mana tanpa sepengetahuanku.”Anya memberikan senyuman tipis. “Terima kasih, saya tidak akan lama.”Mereka keluar dari rumah, dan Anya mengikuti Rio yang berjalan lebih cepat. Ada rasa canggung di udara,

  • Dari Hutang Jadi Cinta   16

    Anya duduk di kursi dekat jendela, mengenakan sweater abu-abu kebesaran. Rambutnya terikat longgar, wajahnya tampak lebih segar meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Pintu terbuka pelan. Rio masuk, di belakangnya Kevin membawa koper hitam berukuran sedang.“Letakkan di kamar Anya,” ucap Rio cepat, tanpa melihat Kevin.Kevin mengangguk. “Baik, Pak.”Anya berdiri perlahan, menatap koper itu dengan heran. “Tuan… Rio. Itu apa?”“Pakaian. Kevin aku suruh beli beberapa, kamu jelas butuh lebih dari dua potong,” jawab Rio datar.Anya mengerutkan kening. “Saya bisa cuci pakaian sendiri seperti biasa.”Rio meliriknya sebentar. “Aku tahu. Tapi bukan itu maksudku. Kamu perlu istirahat, bukan kerja tambahan.”Kevin kembali setelah meletakkan koper di kamar. “Ada lagi yang perlu saya bantu, Pak?”Rio menggeleng. “Tidak. Kamu bisa pergi.”

  • Dari Hutang Jadi Cinta   15

    Anya memandangi kerlip lampu kota dari balik jendela besar kamarnya. Malam baru saja turun, dan jalanan di bawah sana tampak seperti aliran sungai cahaya yang tak henti mengalir. Ia masih berselimut tipis di sofa kecil, memeluk lututnya sambil mengingat kembali kejadian beberapa hari terakhir. Semuanya terasa asing, sekaligus hangat.ebuah ketukan halus terdengar, cukup untuk membuat Anya langsung bangkit.“Silahkan masuk,” ucap Anya, cepat-cepat membenahi rambutnya.Rio muncul, masih mengenakan kemeja hitam dan celana abu-abu. Lengan kemejanya digulung sampai siku. Wajahnya datar seperti biasa.“Kamu sudah makan malam?” tanyanya tanpa basa-basi.Anya menggeleng pelan. "Belum, Tuan. Saya memang berniat turun sebentar lagi."Rio hanya mengangguk, lalu menoleh sedikit ke luar jendela. "Tunggu sini. Biar Marta bawa kemari.""Tidak perlu repot, Tuan. Saya bisa ke dapur sendiri."Rio mendesah pelan, lalu menatap Anya sebentar. "Aku nggak tanya kamu bisa atau nggak. Aku cuma bilang tunggu d

  • Dari Hutang Jadi Cinta   14

    Keesokan paginya, suara burung samar terdengar dari taman belakang. Anya membuka mata perlahan. Ia sempat lupa sedang tidur di kamar baru. Ia duduk di ranjang, menarik napas panjang. Badannya masih lemas, tapi jauh lebih baik dari kemarin. Beberapa saat ia hanya duduk diam, memandang keluar jendela, membiarkan pikirannya melayang tanpa arah. Ketukan pelan di pintu membuatnya tersadar. “Anya, sarapan sudah siap,” suara Marta terdengar dari luar. Tanpa banyak pikir, ia mengenakan seragam pelayannya. Rasa sungkan mulai menyesaki dadanya lagi. Ia tak ingin orang-orang di apartemen itu, terutama Marta, merasa dirinya menumpang tanpa kontribusi. "Iya, Bu. Saya segera ke bawah." Jawabnya pelan. Ia menarik napas dalam, lalu melangkah keluar kamar. Langkahnya masih pelan, tapi stabil. Begitu sampai di lantai bawah dan mendekati ruang makan, ia mendapati meja sudah tertata rapi dan Rio duduk di sana, menatap layar tablet dengan secangkir kopi di dekat tangan kirinya. Marta berdiri tak

  • Dari Hutang Jadi Cinta   13

    Langit masih mendung ketika Anya melangkah keluar dari rumah sakit, mengenakan jaket abu-abu tipis yang dipinjamkan Rio. Napasnya mengembun tipis saat angin dingin menerpa wajahnya. Ia belum sepenuhnya pulih, tapi dokter telah mengizinkannya pulang dengan syarat harus banyak istirahat.Rio berjalan di sampingnya, memegang payung yang melindungi mereka dari rintik hujan yang mulai turun. Sejak mereka meninggalkan ruang rumah sakit, kata-kata tak banyak keluar, namun suasana di antara mereka semakin tebal, penuh dengan perasaan yang sulit dijelaskan.Mobil sudah menunggu di tepi jalan. Kevin berdiri di samping pintu, sigap membukanya. Rio mempersilakan Anya naik lebih dulu.“Terima kasih,” gumam Anya pelan sebelum duduk.Rio masuk menyusul dan menutup pintu. Mobil mulai melaju perlahan meninggalkan halaman rumah sakit.“Terima kasih… karena sudah bantu rawat saya,” ucap Anya akhirnya, mencoba mencairkan suasana.

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status