Dex dan Jack pergi ke sekolah tempat Amelia dan Ronald dulunya menimba ilmu. Meski berasumsi terlalu jauh, tapi kedua detektif muda ini tetap menjalankan perintah Raksa."Aku heran, kenapa dia tidak memerintahkan kita untuk menyelidiki tempat kerjanya saja bukankah itu lebih memungkinkan dan lebih update?" Dex menggerutu di perjalanan.Jack menyeringai sinis, "jika tidak begitu bukan bos kan namanya?"Dex tergelak, "tapi asumsinya yang terlalu jauh, Jack!""Hmm, tidak juga aku rasa. Pembunuhan ini bermotif dendam, aku sepaham dengan dia. Dendam tidak terjadi begitu saja, perlu waktu yang cukup panjang untuk membuat seseorang berbuat nekat.""Perlu pemantik untuk memicu satu kejadian kan?" Dex melanjutkan."Tepat sekali, kejadian terdekat bisa jadi menimbulkan dendam yang sifatnya masif tapi itu terjadi karena kesalahan fatal dan biasanya dilakukan cepat tanpa perhitungan jelas. Tapi dua kejadian ini menurutku begitu rapi." Jack berkata semakin lirih sambil membayangkan runutan cerita
Dex menajamkan pandangan ke arah ruangan gelap -dimana penampakan sosok hitam terlihat- samar terlihat siluet manusia di dalam sana. Ia memicingkan mata tapi seketika lututnya lemas.Sepasang mata merah menyala membalas tatapannya. Dex gemetar, ingin berteriak tapi malu dengan profesi. Ia tak ingin dilihat lemah oleh rekan kerjanya. Apalagi Jack, detektif satu angkatannya itu paling kesal jika membahas perhantuan."Hei, ada apa? Kenapa kau menatap terus ke arah itu?" Tepukan Jack memutuskan Dex dari tatapan si mata merah."Kau lihat disana Jack?" tanya nya dengan terbata.Jack meneropong sesuai arah pandang Dex, ia mengernyit heran lalu berpaling menatap Dex. "Kau terlalu banyak berhalusinasi kawan! Ayo masuk dan jangan biarkan dirimu terjebak dalam ilusi hantu konyol!" Lagi-lagi Jack menarik lengan baju Dex agar mengikutinya masuk ke ruangan kepala sekolah. Seorang lelaki dengan rahang tegas, rambut klimis -dengan kebotakan di bagian tengah kepala- terlihat duduk memperhatikan layar
Selagi Dex dan Jack memeriksa keterkaitan Amelia dan Ronald, terjadi keributan di hunian mewah tempat lokasi terbunuhnya Ronald. Para penghuni apartemen ketakutan dan merasa mendapat teror hantu Ronald yang iseng membuka dan menutup lift. Tentu saja hal ini berimbas pada harga sewa apartemen dan merugikan sang pemilik."Brengsek! Gara-gara dia aku harus mengalami kerugian! Kalau begini tidak ada yang mau menyewa atau tinggal di apartemen ini!" Pria gemuk dengan rambut ikal dan berkacamata melemparkan sejumlah kontrak sewa dan jual beli apartemen di gedung miliknya."Apakah yang menjual kembali apartemen kita juga banyak sayang?" Wanita cantik berpakaian khas Chinese dengan belahan samping yang begitu tinggi hingga nyaris memperlihatkan seluruh tungkai indahnya itu bertanya seraya mencondongkan tubuhnya pada si pria gemuk bermarga Han."Tentu saja! Mereka takut dan merasa hantu Ronald itu melakukan teror setiap malam. Bahkan tak ada yang berani menaiki lift sialan itu meski aku sudah
Usai membayangkan keliaran pikiran mereka tentang pak Han dan Mira, keduanya kembali mengobrol ringan. Ditemani kudapan ringan waffle double cheese dengan saus karamel."Apa kau tidak mencurigai kekasih Ronald? Bisa jadi dia pelakunya karena dendam. Sering terjadi bukan jika pembunuhan kejam justru dilakukan oleh pasangan sejenis?" Alex masih penasaran dengan kenyataan bahwa Ronald menyimpang."Curiga pasti ada, tapi itu bukan ranah ku, kawan! Tapi melihat bagaimana temanku itu terpukul, rasanya tidak mungkin jika dia pelakunya."Dahi Alex berkerut, "Setiap orang bisa menjadi tersangka, termasuk temanmu! Seorang psikopat pintar membuat alibi demi menutupi perbuatannya!"Danny menghela nafas panjang. "Aku harap Kevin bukan orang seperti itu! Aku mengenalnya sejak kecil, meski dia berbeda aku yakin bukan dia pelakunya.""Semoga saja. Tapi itu memang pembunuhan terkeji yang pernah aku lihat. Kau tau bau anyir darah bahkan masih tercium meski kami sudah berusaha menghilangkannya dengan be
Raksa duduk berhadapan dengan Donny dan Alex. Airin ditinggalkan sendiri setelah memastikan dokter kejiwaan itu tidak keberatan. Danny mengumpat dan menggerutu pada Alex karena sekretaris pak Han itu bertindak tanpa meminta persetujuan darinya."Alex, kenapa kau panggil dia kemari bodoh!" bisiknya sambil menahan senyuman pada Raksa."Hei aku memanggilnya kemari ada tujuannya kawan. Dia detektif yang menangani kasus Ronald dan aku butuh kepastian untuk menenangkan para penyewa. Setidaknya jika perkembangan kasus positif aku bisa meyakinkan mereka jika gedungku aman.""Yeah, aman tapi tidak dengan hantu!" Danny masih kesal dan jawaban Alex tidak memuaskannya.Alex mengedikkan bahu, Raksa dibuat heran dengan keduanya. "Dengar, bisakah kita bicara langsung? Aku sangat lapar kawan dan kau tahu kan … dia tak bisa menunggu lama."Raksa mengedikkan kepala ke arah Airin yang tersenyum padanya. Danny dan Alex pun memahami hal itu. "Ayo kawan ceritakan apa yang kau tahu tentang Ronald. Waktu ki
Suara benda jatuh terdengar begitu keras membuat Wulan terkejut. Jantungnya berdebar tak normal saat kembali mendengar suara rintihan wanita.Wulan penasaran, ia keluar ruangan dan mendapati troli cleaning service terguling di ujung koridor. "Siapa disana? Apa ada yang terluka?" teriak Wulan yang ragu untuk mendekat.Tak ada jawaban, hanya ada suara tangisan pilu yang menyayat hati. Suara itu menggema di koridor sepi. Wulan tak merasakan keganjilan apa pun, ia pun mendekat karena melihat seseorang tertelungkup tertimpa troli."Hei, apa kamu baik-baik saja?" tanyanya sambil berjalan mendekat.Saat baru melangkah berjalan, tiba-tiba saja lampu koridor mati satu persatu dimulai dari paling ujung. Wulan mulai dilanda ketakutan tapi ia berusaha menepisnya. Dua kali melangkah lampu besar penerang koridor itu mati begitu seterusnya hingga menyisakan empat lampu yang menerangi troli dan sosok misterius itu.Perasaan Wulan mulai tak enak, ia berusaha menghubungi rekannya melalui handy talkie.
Kehebohan terjadi sesaat setelah jatuhnya manager area dari ketinggian. Tubuh wanita single itu terkulai dengan bagian kepala terluka parah dan patah tulang di beberapa bagian tubuh. Kengerian mendadak tercipta di area yang seharusnya steril malam itu. Tak ada yang berani mendekat, pihak keamanan segera menghubungi petugas kepolisian setempat.Raksa yang baru saja terlelap tidur mendapatkan panggilan darurat untuk segera datang ke lokasi kejadian. Ia mengumpat karena harus meninggalkan Airin sendirian di malam terakhir mereka. Dokter cantik itu harus kembali ke kotanya besok karena cuti yang diberikan sudah habis.Angan-angan untuk bersama Airin terpaksa ditunda. Raksa berpamitan dengan Airin yang masih terlelap setelah pergumulan panas mereka. Dokter kejiwaan itu mengangguk lemah saat Raksa mengusiknya dengan kalimat cinta.Dengan langkah malas karena masih mengantuk, Raksa menuju mobilnya yang terparkir di halaman. Panggilan masuk kembali diterima dan kali ini berasal dari Airlangga
Raksa terbelalak saat mendengar suara lirih yang terdengar bergumam di ujung koridor. Suara yang hampir mirip dengan yang terdengar dari Handy Talkie milik Wulan. Ia memicingkan mata dan melihat bayangan merah yang bergerak cepat menghilang menembus tembok.“Dex, beri aku alat itu!”Dex memberikannya pada Raksa, chief detektif itu memusatkan konsentrasi. Kalung unik yang dikenakannya menghangat, dalam hitungan detik Raksa mencoba memasuki memori terakhir Wulan. HT yang digunakan Wulan kembali dinyalakan. Suara berisik dari frekuensi HT mengantarkan Raksa pada detik terakhir yang terekam dalam bentuk residu negatif aktif. Kepekaan indra nya dirangsang untuk bisa menyelami frekuensi yang konon sensitif dengan kehadiran makhluk tak kasat mata."Siapa disana?”Apa kau masih mengenaliku?“Jangan mendekat!”Apa kau yakin, Wulan? Aku temanmu …,"Pergi, aku tidak mengenalmu!”Suara tawa nan melengking menyakiti pendengaran Raksa. Memori terakhir yang bisa didengar saat menyelami suara HT mula