Awan tertawa sembari berkacak pinggang dengan satu tangan saja saat mendengar rengekkan Sonya, wanitanya ini benar-benar membuat dirinya ingin mencekik dan memeluknya di waktu yang sama."Kamu maunya apa Sonya?" tanya Awan sembari memijiti bagian tengah keningnya sembari tertawa karena melihat Sonya yang sedang mengerucutkan bibirnya."Nggak ... nggak mau apa-apa," jawab Sonya sembari melipat tangannya di dada dan mengalihkan pandangannya kesal. Entah kenapa Sonya merasa kesal karena Awan yang tidak peka pada dirinya, suatu hal yang bukan sifat Awan, menurut Sonya."Beneran?" tanya Awan sembari mendekati Sonya, Awan sadar kalau kaki Sonya keseleo dan terlihat kesulitan berdiri dengan baik."Iya ... nggak apa-apa, udah sana urus sana si Miska," ucap Sonya sembari memutar bola matanya geram, rasa cemburu benar-benar membakar dirinya. Kelebatan wajah Awan yang sedang berbincang dengan Miska membuat Sony
Sonya kaget saat Awan mencium bibirnya, menyesap dan menggelitik bagian dalam bibirnya dengan sangat ahli. Berciuman dengan Awan adalah sebuah sensasi yang sangat Sonya sukai, ia suka saat Awan menggelitik lidahnya dan langit-langit mulutnya. Iya ... Awan adalah pencium ulung, dia hebat dalam berciuman dan tentu saja bercinta, Sonya mengakuinya."Ah ... Awan," desah Sonya saat menyadari kalau pakaiannya sudah tersingkap ke atas dan tangan Awan sudah meremas payudaranya dengan ahli. Tubuh Sonya meremang saat merasakan cubitan di bagian putingnya, Awan dengan ahlinya menarik bagian inti dadanya itu ke atas dan ke bawah memberikan gulungan kenikmatan yang membuat Sonya memajukan dadanya, berharap mendapatkan kenikmatan lebih banyak lagi."Kamu nggak harus cemburu sama siapa pun, Sonya," bisik Awan sembari mengelus tubuh Sonya di balik pakaiannya, tangannya bergerak ke bagian punggung
Sonya berjalan di lorong dengan suara sepatu hak tingginya yang khas. Ia berbelok ke ruangan ICU, saat Sonya membuka pintu ruangan manik matanya dengan cepat melihat seorang wanita paruh baya yang sedang berbaring dan mengenakan ventilator."Hai Bu Sekar," panggil Sonya sembari menarik kursi dan duduk di samping ranjang rumah sakit. Tangannya spontan memijat tangan Sekar, wanita yang selalu Sonya datangi setiap harinya hanya untuk melihat keadaannya sebentar atau menceritakan hari-hari Sonya."Bu ... aku cek bentar, yah." Sonya melihat tanda vital Sekar yang terlihat stabil."Bu ... aku mau cerita lagi, boleh?" tanya Sonya pada Sekar setelah mencek tanda vitalnya, sudah menjadi kebiasaan Sonya mendatangi Sekar dan bercerita mengenai kehidupannya hari itu. Entah kenapa Sonya suka melakukannya walaupun Sonya tahu kalau dia hanya berkomunikasi satu arah tapi, dia menyukainya."Hari ini aku ketemu
"Apa? Kamu nggak salah?" tanya Sonya kaget mendengar penuturan Lizna.Lizna terus menangis di pelukan Sonya sembari menggelengkan kepalanya beberapa kali, hatinya pedih saat akan mengungkapkan itu. Sesungguhnya keputusan itu adalah keputusan yang sangat berat untuk dirinya."Kamu tahu konsekuensinya? Kamu tahu kalau ventilator itu dicabut Bu Sekar tidak akan mungkin bertahan Lizna." Sonya mulai panik, dia tidak bisa membayangkan kalau Sekar tidak bisa selamat setelah ventilatornya dicabut."Aku tahu, Dok, tapi ... aku sama Ayah sudah ikhlas." Lizna mengusap air matanya, suaranya terdengar tercekat saat mengatakan kata ikhlas. Sebenarnya ia tidak tega melakukan ini semuanya tapi, keadaan dan kondisi ekonomi tidak memungkinkan kalau ibunya harus terus dirawat di sana."Lizna ... tolong jangan gegabah, kalau ini masalah ekonomi aku bisa bantu. Aku ...." Sonya bingung kata apa yang harus ia ucapkan agar
"Dok ...."Sonya yang sedang diam menatap beberapa obat anestesi di tangannya kaget saat merasakan tepukan di bahunya. "Apa?""Boba?" tanya Awan sembari menyodorkan sebuah gelas dari salah satu tempat boba kesukaan Sonya. Tangan Sonya langsung terkepal, meremas obat anestesi yang ia baru ambil dari lemari khusus obat-obatan miliknya. "Terima kasih."Awan mengusap pucuk rambut Sonya sebelum duduk di hadapan Sonya, ia bersandar di kursi sembari meminum air putih dingin. Mata Awan terus melihat tungkai kaki Sonya. "Apa?" tanya Sonya yang sadar kalau Awan dari tadi memperhatikan dirinya, dengan cepat ia melihat kesekeliling ruangan perawat dan kosong. Sonya bersyukur tidak ada orang di sana."Kamu cantik," jawab Awan sembari mengedipkan sebelah matanya dan melepaskan sendal crocs, lalu mengusap tungkai kaki Sonya dengan kakinya. Sonya menutup kedua kelopak matanya, berusaha menikmati setiap sentuhan yang Awan berikan pada
Sonya menatap seorang pria berumur 60 tahun yang terbaring di meja operasi, lelaki itu adalah papa Miska. Rasanya Sonya ingin berlari kembali ke ruangannya dan mengambil obat yang Awan ambil tadi. Walaupun, Awan sudah menyadarkannya kalau apa yang akan ia lakukan tidak akan setimpal dengan resikonya, Sonya tetap saja ingin memberikan beberapa mili obat tadi ke dalam selang inpusan."Dok ...," panggil Awan menyadarkan Sonya dari lamunannya. "Inget apa yang aku bilang tadi."Senyuman dengan cepat terlihat dari wajah Sonya, mana mungkin Sonya lupa apa yang Awan beritahukan tadi apalagi cara Awan memberitahukannya benar-benar membuat Sonya meleburkan kekeraskepalaannya."Berapa berat badannya?" tanya Sonya sembari menatap Awan."Berat 75 kilogram, tinggi 180 dan umur enam puluh tahun," ucap Awan sembari membawakan obat-obatan ke arah Sonya.Sonya menatapnya dan pikirinanya kembali ribut, Sonya seolah mendengar ada seseornag yang berkata kalau lebihkan obatnya 10 mili,
"Ditunggu saja, yah, Bu, untuk kesadaran Pak Kemalnya, nanti kalau ada apa-apa pihak suster akan memberitahukan pada saya." Sonya menjelaskan pada Asha tentang situasi Kemal saat ini. "Tapi, semua tanda vital aman dan saya harap semuanya baik-baik saja.""Terima kasih, Dok," ucap Asha sembari tersenyum."Iya, kalau begitu saya permisi dulu." Sonya pamit sembari menatap Awan dan memberikan isyarat pada Awan untuk keluar dari sana. Sonya tidak suka berlama-lama di sana apalagi dari tadi Miska terus saja memperhatikan dirinya dan Awan, seolah mencari tahu apa yang terjadi antara dirinya dan Awan."Dok ...," panggil Miska saat Sonya sudah berada diluar ruangan recovery. "Iya ... ada yang bisa saya bantu?" tanya Sonya ketus, muak rasanya melihat Miska berada disekitarnya. Lonte kecil ini benar-benar membuat Sonya kesal, wajah dan cara Miska berbicara benar-benar membuat Sonya muak. Wajah Miska seolah menunjukkan wajah sebagai seorang wanita
“Sonya …,” panggil Awan di parkiran, setelah Awan meminta Sonya meninggalkan Miska. Awan sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk berbicara dengan Sonya. “Hmm ….” Sonya mengambil kunci mobilnya dari dalam tas tanpa mengalihkan pandangannya. Rasa cemburu dan kesal masih membakar dirinya. “Mau pulang?” tanya Awan.“Hmm …,” jawab Sonya sambil membuka pintu mobilnya dan melemparkan semua bawaannya ke jok belakang mobilnya tanpa melihat Awan sama sekali.“Mau bareng?” tanya Awan lagi,“Hmm ….” Sonya kembali hanya berdehem dan menutup pintu belakang mobilnya dengan keras, dia sama sekali tidak peduli jika merusak mobilnya. Kesal.“Mau boba?” tanya Awan lagi yang paham kalau Sonya sedang kesal dan marah entah pada Miska, Emir atau dirinya. Intinya wanita cantik di hadapannya itu sedang marah.Sonya menghela napasnya dan melepaskan pegangannya di gagang pintu mobil, dengan kesal ia menatap Awan. “Mana boba-nya?”