Hana berguling dari tidurnya. Ia ingin menikmati hari liburnya setelah kemarin bekerja bagai kuda pacu di kantor. Namun, dahi mulus gadis itu berkerut saat ada sesuatu yang mengganjal di antara kakinya. Mengurangi kenikmatannya tertidur. Segera ia memasukan tangannya ke dalam celana.
‘Apa ini? Panjang, tapi bukan pisang karena berurat, tapi juga bukan pare karena hangat, berarti senter yang baru dinyalain. Apaan sih? Apa juga ini kenyal-kenyal semacam bola-bola squishy sev*n elev*n?’
Mata gadis itu langsung terbuka lebar, masih dalam keadaan horizontal, Hana mengintip sesuatu di dalam celananya.
Dahi gadis itu berkerut, sesuatu yang tidak familiar di matanya. ‘Apa itu? Daging tumbuh kah? Secepat ini dalam waktu semalam? Sebentar, sepertinya aku pernah melihatnya, melihat ini di pelajaran biologi.’
DEG!
“AAAAAAA!” jerit Hana sambil terlonjak dari atas kasurnya tapi teriakan itu langsung terhenti, hal yang aneh lainnya terjadi lagi pagi ini, menurut Hana. ‘Kenapa suaraku seperti ini?’ batin Hana mendengar suaranya yang bariton. ‘Tenggorokan tidak sakit, tapi suaraku berat sekali. Tunggu sepertinya suara ini mirip suara seseorang.’
“TIdak! TIDAK! TIDAKKK!!” Hana mencoba menarik rambutnya, kebiasaan saat ia tertekan. Tapi tangannya tak bisa memberengut sedikitpun surainya itu. “Eh?” gumam gadis yang seharusnya berambut panjang sepinggang itu.
“Kenapa juga kepalaku juga terasa ringan? Rambut! Rambutku kemana?” Hana nyaris menangis menyadari rambutnya berpotongan pendek yang hanya terasa empat inci saja dari kulit kepalanya ketika ia merabanya. Semua hal ini menambah keanehan pagi hari ini.
Dengan panik Hana mencari kaca di kamar mandinya, tapi begitu melihat seseorang di kamar mandinya gadis itu berteriak lagi.
“AHHH!!! Pak Bos ngapain Bapak di sini?!!” jerit Hana bertanya.
Tapi sosok Axel itu malah balas menatapnya dengan pandangan tak kalah takut dengan dirinya. Sampai akhirnya Hana sadar satu hal, sosok pria yang merupakan bosnya itu ada di dalam bingkai kacanya. Dengan tangan gemetar Hana mencoba menyentuh sosok Axel yang juga memajukan jari telunjuknya. Mereka sekarang bersentuhan. ‘Ini pinggiran kaca? berarti itu adalah pantulan diriku?’
“Loh?!” Kali ini Hana bingung kemudian meraba-raba tubuhnya sendiri. ‘Ini bukan tubuhku?! Ini badannya Pak Bos!!’
Pundak lebar dengan lengan berotot tapi tak terlalu besar, perut dengan tonjolan layaknya roti sobek. ‘Abs yang sempurna, tinggi, dan tubuh atletis! Ini benar-benar tubuh Pak Bos!’
Hana mendekatkan diri pada kaca, seraut wajah tampan dengan hidung mancung dan rahang siku-siku balas menatapnya balik.
“Aduh! Apa yang terjadi?” umpat Hana sambil memperhatikan mata Axel Harrison. ‘Pria ini memiliki mata khas pria-pria di animasi dua dimensi yang besar, tajam, dan berwarna abu terang karena keturunan ras campuran, aku tahu ini sejak lama sih tapi semakin diperhatikan memang semakin tampan.’
Sebuah gedoran dari arah pintu kamar Hana membuat gadis itu kembali terlonjak kaget.
“Hana!” Suara Lina, tetangga sebelah kamar kos gadis itu terdengar di balik pintu kamar berwarna biru cerah itu. “Hana! Aku mau ambil catokan rambut yang kamu pinjem!”
Hana mendengkus mendengar hal itu. ‘Huft, kukira apa!’. Segera ia mengambil catokan rambut di atas nakas samping tempat tidur.
“Hana!” teriak tetangga kosnya lagi.
“Iya Lin bentar!” jawab Hana dengan suara ngebass-nya. Diulangi, dengan suara ngebass nya. Menyadari keanehan di suaranya dan apa yang sedang terjadi pada tubuhnya, keringat dingin mengalir di pelipis Hana. Pelipis Hana dalam tubuh Axel.
“Hana?” sebuah panggilan dengan nada bertanya terdengar dari balik pintu.
‘Mati aku! Mati aku! Mati aku!’ ulang Hana berkali-kali di kepalanya. ‘Bagaimana ini? Orang-orang bisa berpikir aku menyelundupkan pria ke kamar kos ku! Mati aku!’
“Hana?” panggilan yang lebih lirih keluar dari mulut Lina, seolah gadis di depan pintu kamar Hana itu curiga.
Deringan gawai milik Hana semakin menambah suram suasana sabtu pagi gadis itu.
Bos Neraka calling…
Dengan sigap Hana mengangkat telepon itu, mengabaikan Lina yang tampaknya sudah beranjak dari depan kamarnya. ‘Syukurlah sepertinya ia tak jadi ambil catokan rambutnya, karena ada hal yang lebih penting harus aku lakukan dahulu!’
“Ha-”
“Apa yang kamu lakukan dengan tubuhku!” teriak suara seorang gadis di seberang sana. Suara yang sangat familiar di telinga Hana, suara yang membuatnya menjadi juara dua kontes menyanyi karaoke dangdut radio. ‘Suaraku sendiri… berarti, jiwa pak bos ada ditubuhku!’
“Pak…,” lirih Hana. “Aku enggak tahu apa-apa pak sungguh! Kenapa bisa gini….” Hana mulai terisak dengan suara Axel yang bariton, perpaduan isak tangis dan suara bariton itu menghasilkan, nada pengamen banci perempatan yang bening menusuk telinga.
“Jangan menangis dengan ragaku! Astaga! Kamu dimana?” tanya suara di ujung sana terdengar sangat kesal.
“Di kosan, Pak,” jawab Hana di sela-sela isak tangisnya.
“Ya sudah kita ketemu di cafe-.”
“Enggak bisa, Pak!” sela Hana sebelum bosnya selesai memberi instruksi. “Aku enggak mungkin keluar kamar sepagi ini dengan tubuh Bapak.”
Terdengar decak kesal entah untuk keberapa kalinya dari lawan bicara Hana. “Ya sudah, kalau begitu saya ke kosanmu sekarang!” tandas Axel tanpa basa basi langsung mematikan percakapannya dengan Hana di telepon begitu saja. Khas Axel sekali.
Hana mengembuskan napas. Sedikit lega karena bos nya akan ke sini, setidaknya ia lebih tenang jika harus memecahkan masalah aneh yang terjadi pagi ini berdua.
Sambil duduk di depan meja riasnya yang sekarang terasa sangat kecil, gadis itu menoleh ke arah kaca riasnya. Wajah lelaki tampan yang sembab setelah selesai menangis terlihat jelas. ‘Tuhan, kenapa ia menangis mewek seperti ini saja masih terlihat tampan, di mana letak keadilannya?’ batin Hana sambil terkagum-kagum melihat seraut wajah tampan tapi mempesona yang menangis di depan meja riasnya.
Gedoran keras membuat jantung Hana kembali terlonjak kaget.
“Siapa kau di dalam sana! Keluar!”
“Heh! Keluar kau!
Kembali bunyi gedoran bertalu-talu seperti nada jantung Hana memenuhi seisi kamar gadis itu, diiringi teriakan teman-teman kosannya. Bahkan beberapa dari mereka ada yang membawa panci dan penggorengan untuk menambah ramai suasana.
“Hana! Buka pintunya, atau ibu akan buka pintu kamarmu dengan kunci cadangan!” perintah ibu kos hana di luar kamar dengan massa siap bertempur di belakangnya.
Hana dengan wajah tampan Axel terlihat pucat pasi dan terlihat masih duduk membeku di depan meja rias.
Hana merenggut surai pendek tetapi tebal milik Axel, kebiasaannya saat panik. Tuhan! Bagaimana ini!’“Ada apa? Ada apa?” terdengar beberapa anak kos bertanya -tanya keributan pagi ini. Kosan Hana terdiri tiga lantai, dengan jumlah dua puluh satu anak kos. “Ada yang mesum katanya, bawa cowok ke dalam kamar,” jawab seseorang di dekat jendela kamar Hana sambil mencoba mengintip pada kamar kos yang terletak di lantai dua itu. Untunglah Hana selalu mengunci pintu dan jendela kamarnya, selain itu ia juga sudah menutup gordennya rapat-rapat.“Mbak Hana mesum, gak nyangka.”“Hana kan anaknya polos masa sih?”“Iya itu buktinya gak mau buka pintu,”Rasanya gadis dalam tubuh seorang lelaki itu ingin berteriak “Fitnah!” Tapi apa daya suara Axel yang mirip penyanyi jazz pria itu malah akan semakin membuktikan bahwa perkataan teman satu kosannya itu benar. Gadis itu meringkuk bingung, berharap bos nya segera datang, bahkan napas Hana mulai sesak. Kaos spongebob kuning lunturnya yang ukuran overs
“Masuk!” perintah Axel yang membukakan pintu penumpang bugatti chiron itu. Dengan patuh Hana masuk sambil melekukkan badan di dalam mobil buatan Italia itu, sebelum Axel membanting pintu mobil itu begitu keras. Hingga si penumpang dan semua anak kos yang tadi menggiring kepergian Hana dan Axel juga ikut terlonjak kaget.Axel memutari mobil, kemudian ia duduk di kursi pengemudi. Tak lama kakinya menekan pedal gas begitu kencang dan sudah menghilang di depan para anak kos dan induk semangnya.“Eh sejak kapan Hana punya mobil keren begitu?” celetuk salah seorang anak kos. Para gadis sekarang saling menatap bingung.“Memang Hana bisa nyetir?” tanya yang lainnya menambah tanda tanya di benak mereka masing-masing.Ckit!Axel menghentikan mobilnya tepat di sebuah parkiran toko busana. “Kamu gila Hana! Kamu ngancurin imej aku dengan mengatakan aku seorang maling celana dalam, di kosan wanita! Kamu ada dendam kesumat ya sama aku Hana!” bentak Axel yang tak mampu lagi membendung amarahnya.“Ke
“Ganti nih! Risih aja lihat tubuhku pake baju kaos kurang bahan gitu,” perintah Axel sembari mengambil baju kaos yang tergantung di belakang kursi mobilnya. Sekarang mereka sudah sampai di parkiran restoran yang terkenal mahal. ‘Pak Bos aja yang bongsor!’ rutuk Hana dalam hati. Saat ia hendak mengganti bajunya dalam mobil, gerakan Hana itu sempat terhenti sejenak. ‘Aneh juga rasanya mengganti baju dengan santai di pinggir jalan seperti ini. Jadi pria memang praktis,’ batin Hana sembari mengangkat kaos yang sedang ia kenakan. Saat ia hendak mengganti celana pendeknya, tangan yang terlihat kekar berotot itu kembali terhenti. Hana melihat bosnya menatapnya sangar. “Bawahannya juga?” tanya Hana dengan hidung berkerut tampak jijik. Axel menampilkan wajah seram milik Hana. “Tentu saja! Aku benar-benar terlihat seperti banci sekarang, ganti celana dalamnya juga!” instruksi Axel lagi. Ia tak sanggup melihat dirinya mengenakan celana dalam yang mengintip sedikit dari balik hotpants. Cela
Hana melihat jam tangannya dengan gelisah, rapat yang diadakan tiba-tiba oleh General Manager tempatnya bekerja itu membuyarkan rencana Hana malam itu. Sebuah pesan masuk di ponsel gadis berkulit putih langsat dengan rambut panjang sepunggung itu. [Santai saja, aku menunggumu kok.] Hana tersenyum membaca pesan dari pacarnya itu. Andra, kepala bagian keuangan yang sedang menjalin hubungan dengan Hana baru sebulan yang lalu, dan tak ada satupun rekan sekerja mereka yang tahu. Kembali gadis berambut panjang itu tersenyum sebelum mengetikkan beberapa pesan manis untuk pacarnya itu. “Baik, kita akhiri sampai hari ini saja. Saya mau hasil kerjaan yang sudah kalian paparkan di rapat ini dilaporkan besok siang setelah waktu makan siang,” tandas Axel sembari menutup pertemuan pegawai divisi marketing. Hal itu sontak membuat Hana terlonjak girang walau dalam hati, tapi perkataan Axel selanjutnya, langsung menyerap kebahagiaan gadis itu. “Hana notulensi rapat beserta laporan tiap divisi
Hana langsung mematikan hubungan telephonenya. Segera ia berlari ke parkiran tempat Andra berjanji akan menunggunya.Alangkah terkejutnya Hana ketika membuka pintu mobil Andra, ada Siska di dalamnya. Gadis itu merupakan pegawai dari divisi yang sama dengan Andra. “Ha-Hana?”“Kamu ngapain di sini Siska? Mana Andra? Kalian enggak selingkuh ‘kan?” tanya Hana dengan suara bergetar.“Aku enggak ngerti maksud kamu,” balas Siska terlihat tenang dan angkuh.“Kamu ngapain di mobil Andra?” tanya Hana lagi. “Keluar kamu dari mobil ini, sekarang,” perintah Hana, tapi suaranya masih bergetar.“Ini mobil Andra, bukan mobilmu ya!” Tolak Siska sambil menyibak rambutnya.Hana sudah tak sanggup menahan amarahnya lagi, ia menarik rambut merah bergelombang milik Siska. “KELUAR!” “Ahh! Sakit” erang Siska. “Kamu apa-apaan sih Han!” ujar wanita itu sembari menepis tangan gadis bersurai hitam lurus itu.“Asal kamu tahu ya Sis, aku sama Andra itu sudah pacaran!” jerit Hana yang bergaung sepanjang parkiran
“Hana,” panggil Axel dengan tangan terjulur ke atas ubun-ubun Hana, seakan siap mengambil paku. Gadis yang menjadi sumber tangisan itu langsung menolehkan kepalanya.“Kamu kenapa nangis?” tanya Axel yang ikut berjongkok sebelah Hana. Melihat hidung dan mata Hana yang memerah membuat Axel mengurungkan niatnya untuk pulang. Gadis itu malah semakin terisak mendengar pertanyaan Axel.‘Ah sial, harusnya aku pulang saja,’ sesal Axel dalam hati. “Baiklah kalau begitu aku balik dulu ya,” pamit Axel. Belum sempat lelaki itu berdiri, Hana menahan tangan bosnya sambil tetap menangis.“Huee...uee..uee,” ujar Hana sambil menggelengkan kepalanya. Persis suara lutung kasarung.Axel kembali duduk dengan canggung di sebelah Hana. Entah keberanian dari mana gadis itu menahan bosnya, meminta Axel untuk menemaninya. Tapi yang pasti Hana tak ingin sendiri sekarang, hatinya sangat hancur dan dia butuh teman, tak peduli walau temannya itu adalah si Raja Neraka.“Kamu diputusin pacar?” tanya Axel lagi.“H
Segera Hana dan Axel merampungkan sarapan mereka, kemudian bergegas menuju ke tempat Hana memesan cokelat kemarin.“Kamu yakin di sini tempatnya?” tanya Axel ragu.Hana yang berada disampingnya mengangguk, namun raut mukanya terlihat bingung. “I-iya, Pak,” jawabnya. “Tapi kemarin enggak begini tampilan tokonya. Minimalis cantik gitu.”Axel semakin menautkan alis tipis milik Hana. “Minimalis cantik gitu maksudmu seperti rumah hantu yang ditinggal pemiliknya perang pada zaman penjajahan Jepang begitu?” serang Axel sambil menunjuk bangunan tua yang terhimpit di antara tanah kosong. “Bahkan tak ada tetangga, pemukiman paling dekat lima ratus meter dari sini, kamu mau beli coklat valentine atau jampi-jampi jaran goyang sih, Han?”“Ya ampun, Pak. Sirik yang begitu itu. Serius kemarin bentuknya gini di media sosial,” bantah Hana sambil menyodorkan gawainya yang menampilkan sebuah akun.Axel menerima ponsel milik Hana dan menelitinya. “Alamatnya sih benar di sini, eh-.” Axel menscroll tanggal
Axel menelan salivanya, ia masih terpaku menatap layar ponsel.“Kau jawab telepon ini, dan katakan “iya” saja. Jangan berkata hal lain,” perintah Axel sambil menyodorkan gawainya ke arah Hana.Hana tampak bingung, tapi belum sempat ia menolak, Axel sudah menggeser icon di gadgetnya ke arah tombol terima.“Axel,” panggil suara di seberang sana, terdengar keras di dalam mobil ferrari itu, karena Axel menggunakan loudspeaker.Sambil menatap ragu ke arah bosnya, Hana menjawab dengan suara bariton milik Axel. “I-iya?”Axel tampak tegang, dan menatap tajam Hana. ‘Kenapa ia terlihat seperti mendapat telepon dari debt collector alih-alih ayahnya?’ tanya Hana dalam hati.Gerrard Harrison, semua orang tahu kalau ia adalah pebisnis handal yang mengukuhkan perusahaan Harrison menjadi salah satu raksasa bisnis yang bisa bertahan di zaman digital 4.0 ini. Perusahaan keluarga itu turun temurun diwariskan oleh kakek Axel, ke ayahnya Gerrard Harrison, dan tentu saja penerus selanjutnya Axel Harrison.