LOGINNina berusaha membuka mata yang terasa berat. Dan setelah matanya menangkap cahaya, ia membuka matanya lebar.
“Nina, syukurlah kau sudah bangun.” Nina menoleh ke sumber suara dan menemukan Rahayu duduk di sisi ranjang di sampingnya. Wajah wanita paruh baya itu tampak cemas. Nina berusaha bangun untuk duduk di tengah sakit kepala yang kembali terasa. Rasanya ia ingin pingsan saja bahkan selamanya agar sakit kepalanya sirna. “Jangan memaksakan diri,” ucap Rahayu seraya membantu Nina bangun menegakkan punggungnya. “Jam berapa sekarang, Tante?” tanya Nina dengan suara parau. Ia ingin segera pulang berharap dengan begitu mengurangi beban pikiran. Melihat keluarga Ash membuatnya tidak tenang. “Ini sudah malam, kau mau pulang? Menginap saja di sini, ya,” kata Rahayu sambil menggenggam tangan Nina. “Ta- tapi ….” “Tidur di kamarku.” Sebuah suara tiba-tiba terdengar membuat Nina dan Rahayu menoleh dan menemukan Riyon berdiri di depan pintu kamar Ash. Riyon mengambil langkah dan berhenti di depan ranjang tempat Nina berada. “Aku yang akan menikahimu. Tidur di kamarku.” Mata Nina membulat sempurna. Apa ia tak salah dengar? Ataukah, apakah ia sedang bermimpi sekarang? Riyon, kakak Ash mau menikahinya? Di luar kamar, Ash berdiri di sisi pintu sambil mengepalkan tangan. Hanya mendengar ucapan kakaknya saja sudah membuatnya sakit, bagaimana jika melihat kakaknya dan Nina menikah nanti? Ash memukul dinding kemudian keluar dari persembunyiannya. Dengan lantang ia pun mengatakan, “Biarkan Nina tidur di sini. Nina adalah tamuku. Kakak tidak berhak menyuruh Nina tidur di kamar kakak. Kalian belum menikah!” Riyon setengah membalikkan badan dan menatap Ash yang berdiri di ambang pintu. “Tapi dia berhak tidur di kamarku. Aku ayah bayi yang dia kandung.” “Sudah cukup!” Suara lantang Rahayu menghentikan ketegangan yang terjadi antara kakak beradik itu. “Nina tidak akan tidur di kamar ini, atau kamarmu, Riyon! Nina akan tidur dengan ibu!” Ucapan lantang Rahayu membuat Riyon dan Ash terdiam. Padahal, Riyon ingin Nina di kamarnya untuk bicara lebih dalam mengenai masalah ini. Begitupun dengan Ash, ia ingin Nina di kamarnya agar mereka bicara dari hati ke hati, memintanya memilihnya jika kedua orang tuanya memintanya menikah dengan kakaknya. Rahayu membantu Nina turun dari ranjang dan membawanya keluar dari sana, meninggalkan kamar Ash. Ia berjalan bersama Nina melewati Riyon juga Ash. Setelah Nina dan Rahayu pergi, hanya tinggal Riyon dan Ash yang masih berdiri dalam posisi sampai tiba-tiba Ash mengambil langkah maju dan mencengkram kerah baju Riyon “Apa yang kakak inginkan?! Biarkan aku menikahi Nina!” teriak Ash tepat di depan wajah Riyon. Riyon hanya diam, bahkan menatap Ash dengan ekspresi wajah yang datar. Mana mungkin ia membiarkan Ash menanggung kesalahannya? Meski hubungannya dengan Ash tidak terlalu hangat, tapi ia menyayangi Ash sebagai adiknya. Hanya saja, sifat dinginnya yang memang sejak lahir telah melekat, membuatnya tak bisa bersikap layaknya seorang kakak seperti orang lain pada umumnya. Perlahan cengkraman Ash mulai mengendur hingga akhirnya terlepas saat ia berteriak. “Agh!” Ash berteriak saat melepas cengkramannya dengan kasar lalu membalikkan badan. Ia tak pernah bisa melawan kakaknya. Sejak dulu hingga sekarang, hanya melihat ekspresi dingin kakaknya sudah membuatnya menciut. “Kenapa kakak! Kenapa harus kakak?!” teriak Ash saat ia kembali berbalik menghadap sang kakak. “aku yang mencintai Nina, aku yang lebih dulu mengenalnya, kenapa harus kakak yang menghamilinya? Kenapa bukan orang lain? Kenapa?!” Ash menepuk keras dadanya, meluapkan perasaannya yang tak dapat dijelaskan dengan kata. “harusnya kakak diam saja, harusnya kakak membiarkan aku yang menikahinya!” Riyon bergeming, hanya menatap Ash tanpa mengatakan apapun. Ia merasa Ash tak pantas mendapatkan Nina. Ash lebih pantas mendapatkan wanita yang lebih baik dari Nina, wanita yang bukan bekasnya atau bekas orang lain. Hanya saja, ia tak bisa mengatakannya, tak bisa mengutarakan maksud dan tujuan. Ia selalu merasa terdapat tembok pembatas antara dirinya dan Ash. Dan ia sadar, tembok pembatas itu diciptakan sendiri olehnya. Brugh! Kedua kaki Ash mencium lantai. Ia seolah tak sanggup menahan perasaannya hingga kakinya terasa lunglai tak mampu menahan berat tubuh. Ia menangis, sayangnya, tangisannya itu tak mampu membuat Riyon luluh. “Kau tak pantas menggantikan tugasku. Cari lah wanita lain yang lebih pantas denganmu.” Hanya kalimat itu yang Riyon ucapkan sebelum ia pergi meninggalkan ruangan. Sementara, Ash masih tenggelam pada rasa sakit dan kecewa. Ia tak menyadari maksud ucapan kakaknya. Yang ada di kepala hanya Nina, dan Nina. Tanpa Riyon dan Ash sadari, seseorang memperhatikan dan mendengarkan pertengkaran mereka dari luar kamar. Ia pun berjalan mendekat berniat menjadi penengah. Namun, sebelum itu terjadi tiba-tiba langkahnya terhenti. Salim mengurungkan niat untuk menjadi penengah antara kedua putranya saat ia berpikir, mungkin kehadirannya justru membuat situasi semakin memanas. Ia pun membalikkan badan terlebih saat melihat Riyon berbalik dan melangkah keluar kamar. Di tempat lain, Nina kini telah berada di kamar Rahayu. Rahayu benar-benar mengajak Nina tidur bersamanya dan menyuruh suaminya tidur di kamar Riyon atau Ash, atau di sofa. “Sudah, jangan terlalu memikirkannya, Nin. Ingat, kau sedang hamil,” tutur Rahayu saat menuntun Nina duduk di tepi ranjang. Nina menatap Rahayu yang duduk di sampingnya dengan senyuman begitu tipis. Ia tak mengira calon ibu mertuanya begitu baik dan memperhatikannya. “Ibu tahu ini tidak mudah, tapi percayalah kau bisa melewati ini semua.” Nina tak tahu harus mengatakan apa. Ia bahkan bingung saat Rahayu menyebutnya sebagai ibu, seolah menuntunnya memanggilnya demikian. “Sejujurnya, ibu juga bingung siapa yang harus menikahimu. Ash sangat mencintaimu, tapi kau mengandung anak Riyon.” Andai saja Rahayu tahu, Nina pun lebih bingung. Meski belum yakin akan perasaannya pada Ash, tapi ia menerima ketulusannya. Namun, ia harus menerima kenyataan ia mengandung anak Riyon, kakak Ash sendiri. Rahayu mengusap lembut kepala Nina, menyentuh rambutnya hingga ujung dan menatapnya seperti seorang ibu kandung. “Ibu tidak bisa menentukan pilihan. Bagi ibu, mau kau menikah dengan Riyon atau Ash, ibu tetap menerimamu sebagai menantu ibu. Tapi, ibu harap kau menentukan pilihanmu setelah memikirkannya dengan matang, memikirkan jangka panjang bahkan setelah cucuku lahir nantinya.” Nina terdiam selama beberapa saat, memikirkan apa yang calon ibu mertuanya katakan. Ia lalu bertanya, “Tan, kenapa … kenapa Tante dan Om menerimaku?” “Tan? Panggil ibu, Nina. Ibu kan calon ibu mertuamu,” tutur Rahayu. “Ta- tapi ….” “Bagi ibu, asal anak-anak ibu bahagia dengan wanita pilihannya itu sudah cukup. Ibu tidak mau menyuruh mereka mencari wanita seperti apa atau bahkan menjodohkan mereka,” ujar Rahayu menjawab pertanyaan Nina sebelumnya. Nina menatap Rahayu dengan pandangan tak terbaca, ia tak mengira di zaman seperti ini ada orang tua sebaik dan sepengertian sepertinya. “Tapi … aku tidak punya apa-apa, bukan siapa-siapa. Aku juga–” “Sst ….” Telunjuk Rahayu menempel di bibir Nina, memintanya berhenti bicara jika hanya untuk merendahkan dirinya. “ibu sudah mengatakannya padamu, kan? Ibu tidak peduli semua itu, yang terpenting adalah kebahagiaan anak-anak ibu. Tapi ….” Rahayu menggantung ucapannya saat ia teringat sesuatu, teringat jika Nina bukan lagi calon pengantin Ash. Padahal kebahagiaan Ash adalah Nina. Nina terdiam, ia seolah dapat menebak apa isi kepala Rahayu sekarang, seakan bisa menebak apa yang dia pikirkan. Tiba-tiba Nina menjadi murung, ia merasa bersalah. “Ah, sudah, Nin. Ini sudah malam, sebaiknya kita beristirahat.” Melihat waktu semakin larut, Rahayu mengajak Nina beristirahat sekaligus untuk mengakhiri pembicaraan. Semakin membicarakan masalah Riyon dan Ash, membuat kepalanya semakin berdenyut ngilu. Dan pasti Nina pun merasakan itu. Di lain sisi, Riyon telah berada di kamarnya, telah berbaring menatap langit ruangan. Ia tidak bisa tidur memikirkan Nina. Dan semakin memikirkannya, semakin membuatnya teringat kegiatan panas mereka malam itu. Meski telah berlalu sebulan lebih, tapi rasanya kegiatan panas itu baru terjadi kemarin. Ia masih mengingatnya dengan jelas, mengingat desahan Nina, mengingat saat wanita itu menggelinjang kala ia menjelajahi tubuhnya, juga mengingat teriakan Nina saat ia merobek selaput daranya. Riyon memejamkan mata, ia harap ia segera terlelap agar semua ingatan itu sirna. Tapi, semakin ia berusaha, semakin ia tak bisa. Pada akhirnya Riyon menyerah. Ia kembali menatap langit ruangan dengan lengan bertengger di jidat. Sementara itu di kamar Ash, ia pun masih terjaga. Ia tak mengira kebahagiaan yang telah berada di depan mata, hancur dalam sekejap. Kenapa harus kakaknya? Kenapa? Adalah pertanyaan yang terus berputar dalam kepala. “Agh!” Ash berteriak sambil menjambak rambutnya frustasi. Rasanya ia ingin membawa kabur Nina, menjalani hidup hanya berdua jauh dari kakaknya bahkan keluarganya. Tok! Tok! Perhatian Ash mengarah pada pintu saat terdengar ketukan dari luar. “Ash, kau belum tidur?” Salim berjalan memasuki kamar dan duduk di sebelah Ash yang duduk di tepi ranjang. “karena Nina tidur dengan ibumu, ayah tidur di sini.” Ash hanya diam. Ia masih sedikit kesal dengan ayahnya karena justru menyuruh kakaknya menikahi Nina. “Kenapa … kenapa ayah menyuruh kakak menikahi Nina?” tanya Ash yang tertunduk sambil menahan air mata. Ia tak peduli disebut cengeng. Salim menatap Ash dari posisi kemudian Hela napas panjangnya terdengar. Ia lalu mengatakan, “Kau pasti membenci ayah. Ayah tahu kau sangat mencintai Nina, jika tidak, kau tak mungkin berbohong pada ayah dan ibu bahwa anak yang dia kandung adalah anakmu. Tapi … anak yang dikandungnya adalah anak kakakmu, harusnya yang bertanggung jawab adalah kakakmu, bukan dirimu.” “Tapi aku tak peduli, Yah! Aku tak peduli mau anak itu anak kakak atau bukan, aku tetap mencintainya. Aku sudah lama memendam perasaan padanya, Yah. Sudah sangat lama aku mencintainya. Sudah sangat lama,” Ash berucap lirih di akhir kalimat disertai derai air mata. Ia ingin ayahnya mengerti bahwa ia hanya ingin bersama Nina. “Jika begitu, kenapa baru membawa Nina ke rumah ini?” Ash mengalihkan muka dari ayahnya. Ia kembali tertunduk dengan kedua tangan menjambak rambut. “Karena aku terlalu pengecut. Aku terlalu pengecut mengungkapkan perasaanku. Aku takut jika mengatakannya, hubungan kami yang baik-baik saja akan buruk, dia akan menjauhiku.” “Dan setelah apa yang Nina alami, kau berani mengatakannya? Kenapa? Apa karena kau ingin menjadi pahlawan? Kau berpikir dengan menjadi pahlawan dia akan membalas perasaanmu?” Ash terdiam, merasa tertohok dengan ucapan ayahnya. Salim menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan sedikit kasar. Meski sedikit menyesal dengan kata-katanya yang terasa pedas, tapi semua untuk kebaikan Ash. Ia tetap berpendirian bahwa Riyon lah yang berhak menikahi Nina. Keesokan harinya, Nina bangun di waktu yang begitu pagi, bahkan terhitung masih fajar. Ia sengaja, ia ingin meninggalkan rumah Ash, bahkan berencana pergi mengasingkan diri. Nina berjalan mengendap menuju pintu di tengah lampu yang belum menyala. Ia harap asisten rumah tangga di rumah itu sudah bangun dan mulai mengerjakan pekerjaan mereka, jadi ia bisa meminta tolong untuk membukakan pintu. Kriet … Jbles …. Nina menutup pintu kamar Rahayu dengan hati-hati, tak ingin membuat suara sekecil apapun. Dan setelah berhasil menutup pintu tanpa ada tanda-tanda Rahayu bangun, ia sedikit bernafas lega. Sekarang, tinggal menemukan asisten rumah tangga untuk membantunya keluar dari rumah besar itu. “Mau ke mana kau?” Nina tersentak hingga terjingkat. Ia menoleh kaku dan perlahan dan menemukan seseorang berdiri beberapa langkah di depannya. Orang itu pun mendekat, dan semakin mendekat membuat jantung Nina seakan berhenti berdetak, terlebih setelah orang itu berdiri tepat di hadapannya."Nin, kau … mau ke mana?”Dengan raut wajah penuh tanya, Ash menatap Nina menunggunya menjawab sambil sesekali melirik koper di balik kaki Nina.Nina mulai sedikit gugup setelah dibuat begitu terkejut dengan keberadaan Ash.“Ah, ini ….” Nina berusaha mencari jawaban, tapi ia tak bisa menemukannya dengan segera.Ash mendorong Nina pelan dan masuk ke dalam rumah kemudian menutup pintu.“Jangan bilang kau mau kabur?” tanya Ash menuduh seraya menahan koper Nina.Nina tak menjawab, mau berbohong rasanya percuma sebab, Ash pasti tak akan percaya.Ash mendongak saat ia mengembuskan napas panjang dari mulutnya. Ia lalu menggenggam tangan Nina yang memegang troli koper dan melepaskannya.“Kenapa, Nin? Kenapa kau mencoba kabur?”Tangan Nina gemetar, merasakan tangan Ash yang gemetar.“Apa karena kakakku? Ah, atau … bagaimana kalau kita kabur bersama-sama? Kita bisa pindah jauh dari sini, menikah, dan memulai kehidupan yang baru.”Nina segera mengangkat kepala menatap Ash. Padahal ia berniat kab
Riyon menatap Nina dengan raut wajah yang dingin dan sorot mata setajam elang, seakan Nina adalah ular kecil yang menjadi calon santapannya.Nina menelan ludah susah payah kemudian menunduk mengalihkan pandangan. Ia seakan tak mampu menatap mata tajam Riyon lama-lama.“Aku … mau pulang,” ucap Nina dengan suara pelan.“Tidak punya sopan santun.”Tubuh Nina menegang, ulu hatinya seolah dicubit mendengar ucapan Ruyon.“Kau datang ke sini baik-baik, dan ingin pergi dengan cara seperti ini?”Nina menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Ia tahu caranya mungkin salah, tapi ia tak punya pilihan lain. Ia ingin kabur dari masalah ini.Tiba-tiba Nina mengangkat kepala menatap Riyon dengan keberanian. “Bagaimana jika kita selesaikan masalah ini sekarang? Aku akan pergi, kita tidak perlu menikah, dan aku tidak akan menikah dengan Ash,” ucap Nina dengan tegas. Ia sudah memikirkannya dan itu lah keputusan yang diambilnya.Riyon menatap Nina dalam diam, ia kemudian meraih tangan Nina dan menariknya.“A-
Nina berusaha membuka mata yang terasa berat. Dan setelah matanya menangkap cahaya, ia membuka matanya lebar.“Nina, syukurlah kau sudah bangun.”Nina menoleh ke sumber suara dan menemukan Rahayu duduk di sisi ranjang di sampingnya. Wajah wanita paruh baya itu tampak cemas.Nina berusaha bangun untuk duduk di tengah sakit kepala yang kembali terasa. Rasanya ia ingin pingsan saja bahkan selamanya agar sakit kepalanya sirna.“Jangan memaksakan diri,” ucap Rahayu seraya membantu Nina bangun menegakkan punggungnya.“Jam berapa sekarang, Tante?” tanya Nina dengan suara parau. Ia ingin segera pulang berharap dengan begitu mengurangi beban pikiran. Melihat keluarga Ash membuatnya tidak tenang.“Ini sudah malam, kau mau pulang? Menginap saja di sini, ya,” kata Rahayu sambil menggenggam tangan Nina.“Ta- tapi ….”“Tidur di kamarku.”Sebuah suara tiba-tiba terdengar membuat Nina dan Rahayu menoleh dan menemukan Riyon berdiri di depan pintu kamar Ash.Riyon mengambil langkah dan berhenti di depa
Riyon masih mematung saat ingatan malam itu berputar dalam kepala. Tentu ia masih mengingat dengan jelas wajah wanita yang menikmati malam panas dengannya.“Riyon … Riyon? Ada apa?”Riyon tersentak saat suara Rahayu menginterupsi pendengaran. Ia pun segera melanjutkan langkah dan duduk di kursi kosong dekat kursi yang ibunya duduki dan berhadapan dengan Nina.Nina menundukkan kepala. Senyuman dan wajah hangat yang sebelumnya ia tunjukkan, kini lenyap entah ke mana dan Ash menyadarinya.“Nin, ada apa? Kau baik-baik saja?” tanya Ash dengan memegang bahu Nina. Dan ia pun terkejut merasakan bahu Nina sedikit bergetar.“Ri, kenalkan. Dia Nina, calon istri adikmu,” ujar Rahayu memperkenalkan Nina.Riyon hanya diam. Ia bahkan tak mengalihkan pandangan dari Nina. Ia tak percaya, dunia ini begitu sempit. Tak ada yang mengira, wanita yang menghabiskan malam dengannya adalah calon istri adiknya.“Nina, ini kakakku, Riyon. Dan Kak, ini Nina, calon istriku,” ujar Ash memperkenalkan Nina.Nina tak
Riyon memasuki ballroom hotel bintang 5 itu dengan penuh wibawa. Ia datang sebagai tamu undangan dalam acara ulang tahun perusahaan tempat Nina bekerja yang diadakan di sana. Acara itu dihadiri banyak tamu undangan, bukan hanya seluruh karyawan perusahaan tapi juga para kolega dan kenalan pemilik perusahaan.Di sisi lain, Nina berjalan anggun memasuki ruang acara. Penampilannya yang memukau membuat beberapa pasang mata mengarah padanya. Bukan hanya rekan kerja, tapi juga tamu undangan lainnya. Rambut sebahunya ia sanggul rendah dengan menyisakan sedikit anak rambut bergelombang yang membingkai wajahnya. Hiasan rambut berbentuk bunga sakura warna putih yang menghiasi surai hitamnya itu kian mempercantik tatanan rambutnya, membuatnya terlihat semakin manis. Make up tipis yang terpoles di wajah justru membuatnya tampak cantik alami. Meski hanya memakai gaun sederhana berwarna khaki, tak mengurangi kesan anggun darinya.Seorang pria menghampiri Nina setelah tak berhenti memperhatikannya
"Kalau begitu, bagaimana dengan tawaranku kemarin? Menikahlah denganku, Nin. Aku tahu kau tak akan melakukan sesuatu pada kandunganmu, kau wanita yang baik. Jadi, izinkan aku membantumu, kita bisa membesarkannya bersama-sama.”Nina terdiam, tak mengira Ash kembali menanyakan hal yang sama. “Tapi Ash ….”“Tidak ada tapi, Nin. Bukankah sudah kukatakan? Aku menerimamu apa adanya karena aku mencintaimu. Aku tidak ingin menyesal lagi di kemudian hari. Sudah cukup aku menyesal karena memendam perasaanku selama ini.”“Ta- tapi … bagaimana dengan orang tuamu? Keluargamu? Bagaimana jika mereka tahu kalau–”“Bilang saja itu adalah anakku. Aku akan katakan bahwa bayi dalam perutmu adalah darah dagingku,” potong Ash tanpa ragu. Ia tak masalah mengakui jabang bayi dalam perut Nina adalah anaknya asal ia dan Nina bisa menikah. Ia tak ingin melihat Nina menderita, bahkan tak ingin melihat Nina hidup bersama pria lain selain dirinya. Tak peduli Nina mengandung anak orang tak dikenal, ia akan menerim







